Harga Minyak Mentah Naik 1%: Imbas Rencana AS Serang Houthi

Jakarta, Inakoran
Harga minyak mentah mengalami kenaikan sekitar 1% pada awal perdagangan Senin (17/3). Kenaikan ini dipicu oleh meningkatnya ketegangan geopolitik setelah Amerika Serikat menyatakan akan terus melakukan serangan terhadap kelompok Houthi di Yaman hingga mereka menghentikan serangan terhadap kapal-kapal dagang di Laut Merah.
Berdasarkan laporan Reuters, harga minyak mentah Brent naik 72 sen atau 1,02% menjadi US$71,30 per barel pada pukul 00:15 GMT. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami kenaikan 72 sen atau 1,1% menjadi US$67,90 per barel.
Serangan udara yang dilancarkan AS, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola oleh Houthi, telah menyebabkan sedikitnya 53 korban jiwa. Ini menjadi operasi militer terbesar AS di Timur Tengah sejak Presiden Donald Trump menjabat. Seorang pejabat AS mengungkapkan kepada Reuters bahwa kampanye serangan ini bisa berlangsung selama beberapa minggu ke depan.
BACA JUGA:
IHSG Dibuka di Zona Hijau di Awal Pekan
Harga Emas Antam Naik Rp 2.000: Senin (17/3/2025)
Harga Bitcoin Diperkirakan Tembus USD 1 Juta pada 2030: Apa Bisa?
Harga Minyak Dunia Melemah 1%: Dampak Ancaman Perang Dagang
Serangan Houthi terhadap kapal-kapal di Laut Merah telah mengganggu rantai pasok global, memaksa militer AS melakukan operasi pertahanan yang membutuhkan biaya besar untuk mencegat rudal dan drone yang diluncurkan kelompok tersebut. Ketegangan ini memberikan tekanan terhadap pasar energi, yang sebelumnya mengalami tren penurunan selama tiga minggu berturut-turut akibat kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global.
Meskipun harga minyak naik, analis Goldman Sachs justru menurunkan proyeksi harga minyak mereka. Faktor utama yang menjadi pertimbangan adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi AS yang disebabkan oleh kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh pemerintahan Trump terhadap negara-negara mitra dagang utama seperti China, Meksiko, dan Kanada.
"Kami menurunkan proyeksi harga Brent pada Desember 2025 sebesar US$5 menjadi US$71 per barel (WTI menjadi US$67), dengan rentang Brent diperkirakan berada di kisaran US$65-80. Sementara itu, proyeksi rata-rata harga minyak pada 2026 kami revisi menjadi US$68 untuk Brent dan US$64 untuk WTI," ungkap para analis dalam catatan mereka.
Permintaan minyak global juga diperkirakan tumbuh lebih lambat dari yang diperkirakan sebelumnya, sementara pasokan dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) diproyeksikan lebih tinggi dari ekspektasi awal.
Dari sisi makroekonomi, sentimen konsumen AS anjlok ke level terendah dalam hampir 2,5 tahun pada Maret, sementara ekspektasi inflasi meningkat. Hal ini menambah kekhawatiran bahwa tarif besar yang diberlakukan pemerintahan Trump akan mendorong kenaikan harga dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, para pejabat The Federal Reserve (The Fed) yang dijadwalkan bertemu pekan depan diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan dalam kisaran 4,25%-4,50%. Langkah ini diambil setelah The Fed memangkas suku bunga sebesar 100 basis poin sejak September, sebagai bagian dari upaya untuk menyesuaikan kebijakan moneter dengan kondisi ekonomi yang terus berkembang.
KOMENTAR