Indeks Daya Rusak Politisasi Birokrasi

Hila Bame

Thursday, 29-08-2024 | 14:13 pm

MDN

 

Oleh. : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Indeks daya rusak "politisasi"  birokrasi dalam proyeksi pilkada dikeluhkan oleh Profesor Djohermansyah, Guru Besar IPDN, mantan Dirjend Otonomi Daerah dalam tulisannya berjudul 'Nasib Pilkada" ("kompas com, 12/5/2024).

Prof Djohermansyah menulis "mandulnya pengawasan Bawaslu, lemahnya kemandirian KPU hingga perilaku koruptif kepala daerah adalah seabreg persoalan pilkada yang mungkin makin menggila", tulisnya dalam tulisan di atas

Dalam teori survey "opini publik" tidak ada jaminan apapun untuk memenangkan kontestasi politik  dengan politisasi  birokrasi bagi calon "Petahana" berkinerja buruk dan tingkat kepuasaan publik rendah (dibawah 50%).

Masyarakat sipil harus melibatkan diri mencegahnya karena politisasi birokrasi hanya menyisakan "indeks daya rusak" tata kelola pemerintahan,, sosial dan politik makin terstruktur, yaitu :

Pertama, politisasi birokrasi jelas menarik keluar institusi birokrasi dari "tupoksinya" ( tugas pokok dan fungsinya) sebagai "public service" (pelayan publik) menjadi instrument elektoral bagi "petahana". 

Birokrasi yang dibiayai dari pajak rakyat secara imparsial dan netral, lintas partai, golongan dan gender menjadi "partisan" dan berpihak. Ini sebuah "pengkhianatan" terhadap undang undang yang mengatur netralitas birokrasi dalam kontestasi politik.

Kedua, dalam Piramida sosial berkultur feodalistik birokasi dengan ASN dan pejabat yang berwenang mengatur di atasnya adalah "kelas terdidik" dengan jabatan baik fungsional maupun struktural  "teladan" bagi masyarakatnya. 

Dalam konteks itu keterlibatan ASN dalam politik "partisan" dan berpihak adalah "contoh buruk", yakni pelanggar aturan.  Pilar pilar kekuatan kultur warga dalam relasi keteladanan "ambruk" dan mereka tidak layak untuk diteladani dan dihormati.

Ketiga, implikasi politiknya pilkada sebagai "jalan politik beradab" atau dalam prinsip pemilu harus "luber" (langsung, umum, bebas, rahasia) dan "jurdil" (jujur dan adil) menjadi "rusak" terstruktur, sistematis dan massif hingga ke level RT/RW

Pilkada dalam konstruksi kecurangan seperti di atas hanya akan menghasilkan pemimpin ibarat "air kotor" yang mengalir ke pipa pipa ruang kehidupan privat rakyat, sesak dan menyesakkan.

Di sinilah pentingnya komitmen kebangsaan kita bahwa pilkada adalah kewajiban negara dalam menjamin kebebasan hak hak warga negara dalam memilih pemimpin di daerah tanpa tekanan apapun dan atas nama siapa pun.

Pengingkaran atas kebebasan hak hak pilihan politik warga justru dilakukan oleh "state aparatus" (instrument negara)! "Indeks daya rusaknya" adalah cermin "pengkhianatan" nyata  terhadap Pancasila, UUD 1945 dan regulasi turunannya, 

 

TAG#ADLAN

182195790

KOMENTAR