Indonesia Bergabung BRICS: Apa Untung-Ruginya?
Jakarta, Inakoran
Indonesia mengumumkan niatnya untuk bergabung dengan BRICS, blok ekonomi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, menegaskan bahwa langkah ini merupakan bentuk penerapan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, tanpa bermaksud memihak kubu tertentu. Keputusan ini datang kurang dari seminggu setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto, yang berkomitmen pada kebijakan luar negeri bebas aktif dan netral terhadap blok manapun.
Dalam pertemuan puncak BRICS Plus di Kazan, Rusia, Sugiono mengungkapkan bahwa ketahanan pangan dan energi merupakan prioritas yang selaras dengan program Kabinet Merah Putih. Indonesia melihat BRICS sebagai forum yang mampu memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang, atau yang sering disebut sebagai Global South.
Sugiono menekankan bahwa Indonesia akan tetap berperan aktif di forum-forum lain dan berhubungan erat dengan negara-negara maju untuk menjaga keseimbangan kebijakan luar negeri.
Presiden Prabowo sendiri menggarisbawahi prinsip nonblok Indonesia, dengan menyebut bahwa Indonesia adalah “sahabat semua negara” namun berpegang pada prinsip anti-penjajahan. Ini adalah landasan dari keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, yaitu untuk memperkuat peran dalam memajukan kepentingan negara berkembang tanpa meninggalkan prinsip netralitas.
BACA JUGA:
Harga Minyak Dunia Naik Tipis di Tengah Konflik Timur Tengah
Mayoritas Saham Big Caps Berada di Zona Hijau
Anggota BRICS Belum Sepakat Soal Buang Dolar AS
Tujuan BRICS
Awalnya terbentuk pada 2009, BRICS bertujuan untuk menantang dominasi ekonomi negara-negara maju, terutama AS dan Eropa. BRICS telah berkembang dari sekadar kesempatan investasi menjadi blok geopolitik yang lebih besar, menegaskan suara negara-negara berkembang dan memperjuangkan multipolarisme, yakni sistem di mana kekuatan dunia tersebar merata dan tidak hanya berpusat pada satu negara atau kawasan.
Salah satu inisiatif penting BRICS adalah “de-dolarisasi,” yakni upaya menciptakan sistem keuangan global yang tidak terlalu bergantung pada dolar AS. Pakar hubungan internasional dari Universitas Katolik Parahyangan, Idil Syawfi, menyebut langkah ini sebagai gerakan revisionis dari negara-negara yang merasa tidak puas dengan dominasi AS dalam sistem finansial global. Menurut Idil, de-dolarisasi memungkinkan negara-negara anggota BRICS melakukan transaksi tanpa harus bergantung pada dolar AS, membuka jalan bagi sistem ekonomi yang lebih inklusif.
Keuntungan Bergabung dengan BRICS
Bergabung dengan BRICS memungkinkan Indonesia untuk berperan lebih besar dalam pembentukan kebijakan ekonomi global. Dengan ikut serta dalam kelompok yang aktif memperjuangkan kepentingan Global South, Indonesia dapat menyuarakan kepentingan negara berkembang.
Melalui BRICS, Indonesia berpeluang memperluas akses ke pasar negara-negara anggota lainnya, seperti China dan India, yang merupakan dua kekuatan ekonomi utama di dunia. Kerjasama ini dapat menciptakan lebih banyak peluang perdagangan, investasi, dan alih teknologi yang mendukung pertumbuhan ekonomi.
Inisiatif de-dolarisasi yang diusung BRICS membuka peluang bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Hal ini dapat mendukung stabilitas ekonomi Indonesia, terutama dalam menghadapi gejolak nilai tukar.
Tantangan
Meski terlihat menguntungkan, bergabungnya Indonesia dengan BRICS juga menimbulkan kekhawatiran. Pakar internasional Idil Syawfi menilai bahwa keterlibatan Indonesia di BRICS dapat dianggap sebagai langkah berpihak pada "kubu perlawanan" terhadap dominasi Barat. Langkah ini mungkin dipandang sebagai perubahan dari posisi netral yang selama ini dipegang Indonesia.
Hal senada disampaikan Musa Maliki dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Ia mengatakan bahwa BRICS merupakan simbol independensi negara-negara Global South yang bertujuan mengimbangi hegemoni Barat.
Ia menyebut BRICS sebagai kebangkitan semangat perlawanan terhadap dominasi Barat, yang mirip dengan Gerakan Non-Blok di era Perang Dingin. Meskipun demikian, hal ini berpotensi menimbulkan tekanan diplomatik dari negara-negara Barat yang selama ini menjadi mitra dagang utama Indonesia.
KOMENTAR