Jejak Pahlawan Etnis China Sebelum Kemerdekaan Indonesia 1945

Hila Bame

Friday, 05-03-2021 | 14:37 pm

MDN

 

Jakarta, INAKORAN

 

Para milenial lebih mengenal Soe Hok Gie sebagai pahlawan dari etnis China selebihnya kurang dikenal. Film yang mengisahkan etape dari seorang pemuda berusia 27 tahun mencuri perhatian anak milenial. 


 

BACA:  

Keberpihakan IKI Terhadap Anak Jalanan

 


Etnis Tionghoa menempati hampir seluruh kota provinsi  dan kabupaten di Indonesia. Dan salah satunya adalah Bangka Belitung atau Babel. 

Sekali-kali jalan ke Bangka Belitung (Babel) menikmati jambu mete yang telah digoreng, tepatnya Sungai Liat. Pasar tradisional kawasan Sungai Liat, menawarkan makanan lezat tersebut dengan aduhai murahnya. Bisa murah karena bijinya tidak lagi utuh. Pecah-pecah meski tetap lezat. 

 


BACA: 

Disdukcapil Bogor dan Tangerang Mendapat Komputer dan Printer dari IKI

 


Sungguh mati sulitnya membedakan gadis melayu Bangka dan Amoi rupawan dibalik timbangan jambu mete terlezat itu. Dan gadis melayu Bangka fasih berbahasa se-ceng, no-ceng, tze-tze hingga keramahan budaya dari etnik berambut  tidak pernah kriting itu. 

Bangka lebih terhohor karena tambang timah ketimbang jambu mete. Pasir timah menjadi komoditi unggulan kawasan Babel sejak Belanda mengcengkram nusantara. 

 

ISTIMEWA
 

 

Pembukaan lahan perkebunan dan timah oleh pemerintah Hindia-Belanda periode 1860-1890 mendorong semakin banyak orang Tionghoa menetap di wilayah Hindia Belanda, termasuk Babel.

Timah, Jambu Mete meski lezat kurang tersohor ketimbang pantai-pantai yang mengepung pulau-pula kawasan Babel.

Pantai Babel yang eksotik memicu banyak inspirasi banyak seniman. Novel Laskar Pelangi, karya Andre Hirata mengambil seronok pantainya sebagai jejak awal perjuangan anak muda.

Pada pertengahan abad ke-19 warga etnis China terus berdatangan. sebagian mengalir ke Babel. Di Babel mereka tinggal berkelompok. Karena itu belakangan tempat mereka disebut Pecinan.

Kawasan Pecinan hampir semua kota di Indonesia memilikinya. Saling tolong menolong menjadi ciri khas warga Tionghoa. 

Selain membangun perekonomian, tidak sedikit  pemuda dari etnis China masuk dalam perjuangan memerdekakan Indonesia dari belenggu jajah Kerajaan Belanda. 

Mereka bahu membahu dengan pemuda Indonesia melawan Belanda.  Para pejuang dari berbagai catatan sejarah di bawah ini hanya sebagian. Seperti pemuda lainnya dari banyak suku di negeri ini tidak rapi tercatat. 

Ada yang sengaja dihilangkan entah dengan tujuan, tanpa tahu untuk apa tujuannya. 

Pahlawan Kemerdekaan dari Etnis China

1. John Lie

 

John Lie atau yang kerap dipanggil Daniel Dharma adalah pejuang keturunan Tionghoa. Lahir di Manado pada 9 Maret 1911, John Lie merupakan perwira Angkatan Laut RI di masa penjajahan Jepang. 

Jika ada pesiar ke Manado jangan lupa intip  jejak etnis China di sana pada sebuah Kelenteng  Ban Hin Kiong sejak 1819, berukuran sedang umurnya ratusan tahun lamanya. Selain itu tempat John Lie lahir,  kini telah dibangun Bukit Kasih. 

 

Di Puncak Bukit terdapat rumah ibadah agama-agama yang yang mengembara di muka bumi Indonesia.

Di kaki Bukit Kasih, terdapat monumen orang-orang beragama bersumpah untuk sehidup semati dalam suka dan duka, dalam untung dan malang dalam bingaki NKRI.

Salah satu kontribusi besar John Lie yang membuat namanya terkenal adalah ia berhasil menembus blokade Belanda di Sumatra dan menukar komoditas Indonesia dengan senjata. Kapal yang dipimpin oleh Laksamana Muda ini juga sangat lincah, selalu lolos dari bidikan musuh. 

 

2. Lie Eng Hok

 

Lie Eng Hok lahir di Balaraja, Tangerang, pada 7 Februari 1893. Ia adalah salah satu tokoh Tionghoa yang terlibat aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Ia mengawali kariernya sebagai jurnalis di surat kabar Tionghoa bernama Sin Po pada tahun 1910-an.

Namanya mulai dikenal pada tahun 1926 setelah mempelopori gerakan pemberontakan di Banten terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada peristiwa itu, massa pribumi bergerak merusak jalan, rel kereta api, instalasi listrik, dan semua properti milik penjajah. 

Dalam pemberontakan ini, Lie Eng Hok diam-diam mengamati gerak-gerik pasukan Belanda dan mengirimkan informasi-informasi yang ia dapatkan kepada para pejuang. Karena tindakan tersebut, ia sempat ditahan dan diasingkan ke Boven Digoel (Tanah Merah), Papua selama lima tahun, yakni dari 1927 hingga 1932. 

Selama pengasingan, Lie Eng Hok menolak bekerja sama dengan pemerintah Belanda walaupun telah diberikan iming-iming. Ia lebih memilih hidup serba kekurangan dengan membuka kios tambal sepatu.

3.  Sho Bun Seng

 

Sho Bun Seng sebenarnya merupakan penggiat seni di masa penjajahan Belanda. Ia aktif dalam kelompok sandiwara bernama Dardanela di Aceh pada tahun 1920-an. Dari situlah sikap anti-Belanda dan rasa cintanya terhadap Tanah Air tumbuh. 

Sekitar tahun 1926, ia pindah ke Padang, Sumatra Barat dan bergabung ke dalam kelompok gerilya yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ismail Lengah. Bun Seng yang berbakat dalam sandiwara pun mendapatkan tugas memata-matai Pao An Tui, sebutan untuk kelompok Tionghoa yang pro terhadap Belanda. 

4. Tjia Giok Thwam

 

Tjia Giok Thwam atau yang dikenal sebagai Basuki Hidayat adalah pejuang keturunan Tionghoa yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Lelaki kelahiran 1927 ini telah terlibat dalam pertempuran melawan Belanda sejak berusia 18 tahun. Saat itu ia bergabung dalam Pasukan 19 Corps Mahasiswa Djawa Timur (CMDT).

5. Ferry Sie King Lien

 

Lahir tahun 1933, ia besar di keluarga mapan yang memiliki pabrik gelas di Karditopuran, Surakarta, Jawa Tengah. Walaupun masa depannya bisa dibilang terjamin, Sie King Lien dengan berani mengambil risiko sebagai pejuang kemerdekaan.  

Saat berusia 16 tahun, ia ikut mengangkat senjata dalam pertempuran di Solo tahun 1949. Ia bersama empat rekannya, yaitu Tjiptardjie, Salamoen, Semedi, dan Seohandi diberi misi khusus oleh pimpinan. Mereka harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk ikut berjuang. 

6.  Ong Tjong Bing

 

Pejuang kemerdekaan keturunan Tionghoa terakhir di daftar ini adalah Ong Tjong Bing atau yang dikenal juga sebagai Daya Sabdo Kasworo. Berbeda dengan lainnya, ia berjuang sebagai dokter yang merawat korban pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur. 

Setelah menempuh pendidikan sebagai dokter gigi di tahun 1953, Ong Tjong Bing pun bergabung di dunia militer sebagai pegawai sipil. Singkat cerita, ia mendapatkan gelar kapten dua tahun setelahnya di bawah Resimen Infanteri RI-18 di Jawa Timur. 

7. Soe Hok Gie

 

Nama Soe Hok Gie mungkin sudah tak asing lagi bagimu. Meskipun tidak terlibat langsung dalam pertempuran kemerdekaan, Soe Hok Gie adalah tokoh keturunan Tionghoa yang patut untuk diteladani. 

Lahir di Jakarta, 17 Desember 1942, Soe Hok Gie adalah aktivis reformasi yang menentang kediktatoran pemerintahan Indonesia saat itu. Ia sangat gencar menyuarakan pemikirannya melalui tulisan yang dipublikasikan di koran Kompas, Sinar Harapan, Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, hingga Indonesia Raya. 

Soe Hok Gie adalah salah satu pelopor gerakan mahasiswa yang mengkritisi pemerintah. Bahkan banyak yang meyakini bahwa Gie adalah salah satu kekuatan yang berhasil menumbangkan pemerintahan Soekarno. 

Gie meninggal di usia yang sangat muda pada tahun 1969, tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Ia meninggal ketika mendaki Gunung Semeru bersama dengan teman-temannya. 

Saking inspiratifnya, catatan-catatan harian Soe Hok Gie pun dicetak menjadi buku dan difilmkan dengan judul Gie pada tahun 2005.

 

TAG#IKI

163416414

KOMENTAR