Kartu KUSUKA; Jangan dibuat suka suka hati

Hila Bame

Monday, 29-06-2020 | 15:07 pm

MDN
Pose Pangkalan Pendaratan ikan di Tambak Lorok Semarang Utara, gagal move on / bertransformasi di Jaman NOW yang serba IoT

 

Semarang, Inako

Pekerja sektor perikanan makin tidak diminati oleh para nelayan karena banyak aturan yang hanya menjadi  "macan kertas" alias macan ompong, tak bergigi selanjutnya berdiri manyun. Kartu Kusuka yang semula melindungi nelayan, belakangan layaknya tumpukkan benang kail basah, dalam tumpukan karung berair, coba cari ujungnya jumpakah? 

inilah gambaran penderitaan yang terpampang di layar nelayan ketika mereka mengembangkan sayap  mencari ikan, demikian keluhan para nelayan yang terwadah dalam organisasi Koperasi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang diterima Inakoran.com Senin (29/6/20).


Pangkalan Pendaratan Ikan yang gagal move on, meski zaman tunggang langgang melintasinya.
Dunia global lintang pukang mengejar dan lakukan adjusment dengan dunia yang oleh banyak pihak  berada dalam VUCA atau  Volatile (bergejolak), Uncertain (tidak pasti), Complex (kompleks), dan Ambigue (tidak jelas).  
[foto kiriman KNTI]
 

"Akhirnya, tidak ada keraguan untuk menegaskan bahwa laut adalah masa depan kita bersama. Ayo kita kembali ke laut, kembali ke selat dan kembali samudera. Jadikan laut sebagai tempat menaruh harapan menuju Indonesia sebagai bangsa bahari, bangsa yang maju dan menjadi bangsa pemenang," Kutipan Pidato Presiden Joko Widodo dalam rangka pembukaan gelaran Sail Selat Karimata 2016. 

Laut nusantara kita ini menyajikan sumberdaya ikan yang melimpah, hal ini menjadi kemudahan bagi kita semua untuk mendapatkan sumber protein yang besar dari ikan. Namun yang perlu kita sadari bahwa tidak begitu saja ikan sampai kemeja makan kita, perlu andil besar dari para nelayan ataupu para pembudidaya ikan barulah ikan itu sampai dipiring-piring makan kita.

BACA JUGA:  

Menteri Erik Ingin BUMN Hanya Berjumlah 70 Perusahaan Saja

 

Namun cukup prihatin jika melihat data saat ini, dimana jumlah nelayan cenderung mengalami penurunan.

Berdasarkan data KKP jumlah nelayan pada tahun 2017 tercatat 2.651.622 nelayan, sedangkan pada tahun 2018 jumlahnya sudah mengalami menurunan yakni menjadi 2.011.455 atau berkurang sekitar 640.167 (25%). Tentu hal ini menjadi catatan besar agar tidak boleh dibiarkan begitu saja terjadi, pemerintah perlu menelaah apa yang menyebabkan jumlah nelayan ini menurun. 

Jika berkaca kepada penanganan covid-19, justru setelah dilakukan berbagai test data jumlah orang yang postif kian bertambah karena orang yang positif akhirnya terditeksi.

Tapi lain cerita dengan sektor perikanan terkhusus dengan jumlah nelayan setelah pada tahun 2017 adanya program pendataan nelayan untuk program KUSUKA yang kehadiranya menggantikan Kartu Nelayan, justru jumlah nelayan malah berkurang. Bahkan sampai sekarang kebanyakan nelayan belum menerima KUSUKA, misalnya di Kota Semarang berdasarakan data yang tersaji pada laman satudata.kkp.go.id/ dari 1.326 nelayan sampai sekarang baru 351 kartu yang tercetak sedang sebagian besarnya masih dalam proses draf dan validasi. 

Mengacu kepada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 39/2017 tentang kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA),  kartu ini memiliki fungsi sebagai basis data untuk memudahkan perlindungan dan pemberdayaan pelaku usaha kelautan dan perikanan, pelayanan dan pembinaan pelaku usaha kelautan dan perikanan, serta sarana untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program satu data Kementerian Kelautan dan Perikanan dan bisa saja digunakan oleh pemerintah ditengah pandemi ini sebagai data untuk penyaluran bantuan dari pemerintah.

Persoalan KUSUKA mungkin buka satu-satunya penyebab penurunan jumlah nelayan di Indonesia, ada hal lainnya seperti kurang adanya jaminan ketersediaan BBM Bersubsidi bagi nelayan kecil ataupun keberadaan TPI yang kurang maksimal sehingga nelayan sendiri belum berdaulat terhadap harga ikan yang mereka tangkap sendiri.

Nelayan kecil sendiri dalam mengakses BBM Bersubsidi perlu memenuhi persyaratan diantaranya; harus

memiliki kartu Pas kecil yang dikeluarkan oleh syahbandar dan Surat Bukti Pencatatan Kapal Perikanan (BPKP) yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan Perikanan Provinsi. Bahkan di Kota Semarang, nelayan dituntut mengajukan proposal permohonan rekomendasi BBM Bersubsidi kepada Dinas Perikanan Kota untuk dapat mengakses BBM Bersubsidi.

Lain halnya dengan keluhan nelayan di Kendal, nelayan kecil disana mengeluh karena mereka diharuskan mengurus PAS Kecil langsung ke KSOP Kelas I Tanjung Emas Semarang (Syahbandar). Namun sebagian besar nelayan mengeluh tentang lamanya proses pembuatannya, misalnya di Jepara dari penuturan nelayan pembuatan PAS Kecil bisa sampai 3 bulan - 1 tahun belum jadi sehingga nelayan harus bolak balik ke kantor syahbandar. 


Ya, permasalahan demi permasalahan yang tergambar diatas bukanlah permasalahan baru, kesemua itu adalah permasalahan yang menahun. Sehingga penurunan jumlah nelayan bukanlah sesuatu yang mengagetkan, kendati UU 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam sudah hadir menggembirakan nelayan akan tetapi implementasinya masih kurang dirasakan oleh nelayan.

Sejatinya potensi perikanan yang melipah ruah tidak akan ada artinya tanpa kehadiran nelayan, oleh karenanya penurunan jumlah nelayan ini perlu disikapi dengan serius. Para nelayan yang kini telah beralih profesi jika melihat kembali geliat perikanan menjadi positif, mereka akan kembali ke laut menangkap ikan. Karenanya, kami berharap keseriusan pemerintah dalam meperhatikan kesejahteraan nelayan sebagaimana nelayan memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan bangsa ini.

Informasi selengkapnya:
Hendra Wiguna: Humas KNTI Kota Semarang
085600223661

TAG#KNTI

163540227

KOMENTAR