Kepala Puskesmas Sukra Indramayu Analisis Tentang Dugaan Jual Beli Jabatan

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Pertanyaan menarik dan "sexi" terkait pengakuan dan klarifikasi dokter Rosi Damayanti tentang dugaan "jual beli" jabatan yang begitu viral di media sosial ("Facebook" dan "YouTube") bagaimana kita membaca konstruksi peristiwanya : dijebak, terjebak atau menjebak?
Apa mungkin dokter Rosi Damayanti yang "well educated", seorang terdidik dengan jabatan Kepala Puskesmas (SUKRA) begitu "lugu" sudah menyiapkan dana 100 juta untuk promosi jabatan dirinya tanpa jebakan penawaran "buka lapak" jual beli jabatan dari pihak tertentu atau atas inisiatifnya sendiri?
Praktek jual beli jabatan (juga sistem "ijon" proyek) dalam analisis Jefry Wonters, penulis buku berjudul "Political Oligarchi" (2011) dikategorikan sebagai praktek kejahatan "well educated" - dulu disebut kejahatan "kerah putih".
Kejahatan "well educated" menurutnya selalu bersifat terstruktur, sistemik dan "missing link", yakni sengaja diputus mata rantai penghubungnya ke level "hulu", sebuah cara menghindarkan delik hukum tidak menyasar ke "sumbu terakhir".
Tidak mudah menemukan alat bukti hingga ke tingkat "hulu" tetapi secara politis menurut Prof Syafie Maarif praktek jual beli jabatan adalah "extra ordinary crime", kejahatan luar biasa merusak sendi sendi bernegara. Daya rusaknya dahsyat terstruktur bagi sistem layanan publik.
Prof Syafie Ma'arif, salah seorang "guru bangsa" menulis di harian "kompas" (10/11/2021) berjudul "Mentereng di luar Remuk di dalam" tentang kegundahannya terhadap indeks moralitas pejabat publik begitu rendah. Tampilan pakaian luar "fashionable" tapi mentalitas di dalam culas dan tukang tipu.
.
Prof Syafie Ma'arif menulis begini: "Mentereng di luar dan remuk di dalam adalah penyakit sosial kronis yang menipu kita selama ini. Sumpah para birokrat dan pejabat publik atas nama Tuhan dan di atas kitab suci tidak ada pengaruhnya pada perilaku mereka", tulisnya.
Itulah sebabnya tindakan proaktif Aparat penegak hukum (APH) untuk menyelidiki terkait pengakuan dan klarifikasi dokter Rosi di atas penting bukan sekedar untuk menjerat siapa otak pelakunya, tetapi :
Pertama, apakah "dugaan" tentang dokter Rosi Damayanti di atas makin membenarkan sinyalemen Oo Dialambaqa, pengamat kritis, di channel "YouTube" bahwa ia menerima pengakuan dari kepala dinas dan sejumlah ASN ditawari jabatan oleh "oknum" tim transisi ?
Penyelidikan dan "deteksi dini" penting untuk mengkonstruksi peta simpul mata rantai "pejabat" yang potensial terlibat dalam "sel sel" kejahatan jual beli jabatan, sistem "ijon" proyek dan bisnis perijinan. Tiga hal inilah dalam temuan KPK "hulu" rusaknya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.
Kedua, sebaliknya untuk menjaga "trust" dan kepercayaan publik atas pejabat publik yang diseret seret oleh klaim klaim "sepihak" pihak tertentu. Menjaga "trust" publik adalah modal paling berharga bagi pejabat publik. Tanpa basis "trust" publik - moralitas pejabat publik pasti "ambyar".
Teori "dramaturgi" politik Erving Goffman, membuka perspektif tentang "viralnya" pengakuan dokter Rosi Damayanti di atas dapat dibaca pula bagian dari kemungkinan permainan bidak catur "intrik intrik" politik baik eksternal maupun internal untuk menyudutkan pihak tertentu dalam desain pembentukan opini publik.
Pihak APH sekali lagi penting menyelidiki dugaan "kasus" ini dan publik harus selalu mengontrolnya dalam frekuensi semangat Presiden Prabowo, pimpinan tertinggi negeri ini bahwa pejabat di level manapun harus bekerja untuk maslahat rakyat bukan kalkulasi untung rugi pejabat.
Instruksi Presiden No 1 tahun 2025 tentang efisiensi adalah momentum tindakan "perampingan" anggaran belanja "operasi" dinas, badan dll sehingga minat menduduki jabatan tertentu tidak karena motive "gemuknya" belanja dinas melainkan profesionalisme dan semangat pengabdian.
Di atas segalanya tentu hikmah dibalik pengakuan dan klarifikasi dokter Rosi Damayanti di atas adalah menyegarkan kembali nasehat Ali Bin Abi Tholib kepada para pejabat di era kekuasaannya :
"Jangan pernah menyembunyikan kebohongan karena kebenaran selalu menemukan jalannya seperti bayangan selalu menemukan pemiliknya saat matahari beranjak pergi", tulisnya dalam kitab "Nahjul Balaghah".
Mari kita bangun bersama dalam semangat "tawashau bil Haq watashau bis shabr", semangat chek and balance menciptakan birokrasi dan kekuasaan sehat wal afiat.
TAG#ADLAN
189933918

KOMENTAR