KH. Imam Jazuli Jebakan Khittah dan Relasi Baru NU-PKB

Hila Bame

Thursday, 04-11-2021 | 21:38 pm

MDN

 

Oleh : Adlan Daie
Pengamat sosial politik dan keagamaan.

JAKARTA, INAKORAN 

Sangat menarik membaca "highlight" dua tulisan KH. Imam Jazuli, Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia kab Cirebon Jawa Barat tentang gagasan pentingnya rekonstruksi ulang konsepsi hubungan NU dan PKB, yakni tulisan pertama berjudul "Melepas Jebakan Khittah, Kembali Ke Spirit Walisongo.

Saatnya NU Move On" (tribunnews com, 1/11/2021) dan tulisan kedua berjudul "Memisahkan NU dengan PKB, Menjadikan Tanah Tak Bertuan Dan Membingungkan Nahdliyiiin" (tribunnews com, 2/11/2021).


Dalam dua tulisan di atas KH.. Imam jazuli setidaknya dalam cacatan ringkas  penulis mengidealkan hubungaj NU dan PKB dalam konstruksi sosial politik kekinian sebagai berikut:


Pertama, NU harus segera mengakhiri dan melepaskan diri dari "jebakan.khittah". Konsepsi khttah NU dalam pandangannya adalah produk era rejim politik represif Orde Baru tidak relevan lagi bagi posisi politik NU  di Era Reformasi.

Dengan kata lain, menurutnya, mempertahankan konsepsi.khittah NU, yakni meletakkan NU pada semata mata orientasi politik kebangsaan dan abai pada orientasi politik kekuasaan di Era Reformasi.adalah sikap politik "ambivalen" NU, ragu ragu dan tidak jelas.


Kedua, dalam pandangan KH. Imam Jazuli, khittah NU di mana para elite Nahdliyin terus menerus menggemakan ide politik kebangsaan bukan politik kekuasaan di Era Reformasi politik menunjukkan sikap politik tidak jujur.

Menurutnya  "ini adalah bentuk kemunafikan elite nahdliyin yang pro ide politik kebangsaan di level wacana, tetapi menjadi bandar di level politik kekuasaan. Kemunafikan semacam ini hanya akan membodohi warga nahdliyin di level akar rumout", tulis kiai muda Alumni Pesantren Lirboyo Kediri dan Al Azhar Mesir.


KH. Imam Jazuli mengkonkritkan proposal.ide di atas bahwa momentum Muktamar NU ke 34 di Lampung harus menghasilkan duet kepemimpinan di level ketua umum PBNU adalah seorang "politisi NU" par exelence dan Rois "Am seorang kiai Alim sekaligus "muharrik", penggerak organisasi.

Dengan kata lain, politik kekuasaan NU adalah keberpihakan tegak lurus NU menopang elektoral PKB dalam setiap hajat politik elektoral baik Piileg, Pilpres maupun Pilkada. PKB menurutnya telah terbukti effektif menjadi alat perjuangan politik NU dan pesantren.


Gagasan di atas tentu sangat progresif dan penulis bersetuju dalam konteks penguatan relasi NU dan PKB secara elektoral. Akan tetapi terus terang sangat problematis pada level implementasi politiknya setidaknya terkait hambatan regulasi "AD/ART" NU yang membatasi "peleburan" struktural NU dan PKB di satu sisi dan di sisi lain tentu tidak sederhana pula "menyatukan" suara akar rumput warga nahdliyin yang sangat besar  hanya dalam satu pilihan gerbong partai politik, yakni PKB.


Pada pemilu tahun 1955, misalnya,di mana NU menjadi partai peserta pemilu dengan daya topang para kiai kharismatik di era nya, "hanya" mampu meraih 18% suara di bawah PNI dan.Masyumi.

 

Di sini jumlah warga NU yang sangat besar jelas sulit dikonsolidir secara elektoral.untuk satu partai politik. PKB pun, satu satunya partai yang lahir dari."rahim NU" hanya meraih elektoral tertinggi sebesar. 13% pada pemilu pertama di era Reformasi tahun 1999 dan belum pernah dicapai ulang dalam pemilu berikutnya.


Karena itu, dalam perspektif penulis yang pertama tama perlu.dibedah ulang adalah bagaimana mendefinisikan "jamaah" NU yang menurut sejumlah lembaga survey di kisaran 57% hingga 70% dari jumlah populasi muslim di Indonesia dalam konteks hubungannya dengan PKB dan para elite di jajaran struktural PKB dan NU sehingga setidaknya tercermin secara elektoral dalam potret lembaga survey yang hingga saat ini masih dikuasai partai partai nasionalis dan tokoh tokoh politik non santri dalam peta elektoral calon presiden.


Inilah "PR" besar untuk sampai pada gagasan progresif KH. Imam.Jazuli.di atas tentang upaya mengakhiri jebakan khittah.

Klaim bahwa.jamaah NU besar tidak sekedar dalam tataran parameter tradisi keagamaan yang dianutnya melainkan bagaimana para elite struktural NU memiliki instrument bersifat "memaksa" secara transformatif  dalam kerangka mengarahkan kekuatan "jamaah" NU yang besar menjadi basis politik PKB secara elektoral yang nyata dan kuantitatif dalam ajang pemilu.

 

 

TAG#ADLAN DAIE

198868737

KOMENTAR