Mariana Amiruddin: Kekerasan Seksual Sering Terjadi Karena Dianggap sebagai Kejahatan Moral Semata

Inakoran

Saturday, 21-04-2018 | 06:28 am

MDN
Dari ki-ka: Diah Pitaloka (kedua dari kiri), Sitti

ong>Jakarta, Inako

Komisioner Komnas Perempuan Indonesia Mariana Amiruddin mengatakan bahwa kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau sebatas kejahatan terhadap moral semata. Pandangan seperti ini bahkan didukung oleh negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Menurut Mariana, pengkategorian seperti ini justru tidak melihat dan memahami secara utuh tentang sebab-sebab dan berbagai akibat terjadi perkosaan terhadap perempuan. Oleh karena itu, pencarian keadilan terhadap perempuan atas kekerasan seksual yang menimpanya menjadi sulit ditegakkan.

[caption id="attachment_25334" align="alignright" width="506"] Komisioner Komnas Perempuan Indonesia Mariana Amiruddin [inakoran.com/sifi masdi][/caption]“Saya melihat pandangan tentang asusila yang terjadi pada tubuh perempuan hubungannya dengan seks biasanya pertanyaan masih perawan atau tidak sebelum pernikahannya. Ada kekhawatiran dianggap tidak bermoral kalau sudah tidak perawan sebelum pernikahan dan itu tidak dilihat sebagai perkosaan,” kata Mariana dalam Diskusi Kamisan dengan tema “Kaum Muda Melawan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak” yang diselenggarakan DPP Merah Putih di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/4/2018).

Dalam diskusi yang dilakukan dalam rangka memperingati Hari Kartini ini, Maria menegaskan bahwa perkosaan seringkali dianggap sebagai aib bagi keluarga atau orang-orang dekat sehingga tidak perlu dilaporkan.

“Sayangnya masyarakat menganggap perkosaan hanya sebagai aib bagi keluarga atau orang-orang dekat. Maka melaporkannya adalah membuka aib bagi seluruh sanak saudara, mereka khawatir menganggap salah satu keluarga dicap tidak bermoral meskipun alasan menjadi korban,” tegas aktivis perempuan ini.

Aktivis perempuan ini menambahkan, perempuan yang pernah diperkosa akan mengalami rasa malu yang luar biasa. Hal itu terjadi karena korban (perempuan) sering diposisikan sebagai pihak yang bersalah.

“Si korban kerapkali disalahkan oleh masyarakat, misalnya ia dianggap menggoda (laki-laki), memancing, memakai pakaian yang tidak sopan, mau saja berdua-duaan, genit, keluar malam hari sendirian, dan sebagainya. Sebaliknya pelaku malah dianggap diwajar melakukan perkosaan atas hal-hal tersebut,” tegasnya.

Sulit Cari Keadilan

Mariana menambahkan bahwa perempuan yang mengalami pemerkosaan kerap kali sulit untuk mengakses keadilan karena dihambat oleh empat faktor, antara lain, personal (individu), budaya, hukum, dan politik.

Menurut Mariana, secara personal (individu) perempuan korban perkosaan akan mengalami beberapa hal dalam dirinya yaitu: kehilangan ingatan pada peristiwa yang dialaminya; kehilangan kemampuan bahasa; gangguan kejiwaan; rasa takut yang luar biasa; dan keinginan untuk melupakannya dengan tidak membicarakan peristiwa yang melukainya itu. “Kelima hal tersebut membuat korban tidak mampu atau tidak bersedia untuk melaporkannya,” tuturnya.

Kemudian dalam kaitan dengan faktor sosial budaya, ia melihat bahwa masyarakat sering menempatkan seksualitas sebagai yang tabu dan aib, sehingga cenderung menyalahkan korban. Tidak hanya itu masyarakat juga sering meragukan kesaksian korban, dan perkosaan hanya dianggap sial dan karma, sehingga membuat korban semakin bungkam.

“Tidak sedikit korban dikucilkan bahkan diusir dari lingkungannya, atau dikawin paksa dengan pelakunya,” tambah dia.

Hambatan berikutnya, kata Mariana, yang membuat korban sulit mendapatkan keadilan adalah faktor hukum yang terdiri atas tiga aspek, yakni substansi; struktur; dan budaya hukum. Dalam aspek substansi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenal oleh hukum Indonesia, bahkan belum ada pengakuan secara utuh tentang tindakan kekerasan seksual. Hukum Indonesia hanya mengakomodir tindak pemaksaan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi penis ke vagina dan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi.

Selanjutnya korban juga semakin sulit mencari keadilan karena faktor politik. Menurut Mariana, kekerasan seksual sering juga terjadi dalam konteks wilayah politik. Ia menyebutkan beberapa peristiwa politik di tanah air yang berdampak pada kekerasan seksual yang dialami banyak perempuan, seperti peristiwa Mei 1998, konflk Aceh, tragedi 1965, dan Timor Leste.

“Dalam setiap konflik politik, banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan sering kali tidak terungkap dan tidak dianggap serius,” tegas Maria.

 

Tonton juga video berikut ini :

[embed]https://youtu.be/LgqcfUdDU4E[/embed]

 

 

KOMENTAR