MEGAWATI VERSUS JOKOWI, KEMANA UJUNG PILPRES 2024?

Hila Bame

Monday, 30-10-2023 | 09:32 am

MDN

 


Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan.

JAKARTA, INAKORAN

Publik membaca "perseteruan" politik Megawati versus Jokowi dalam konteks pilpres 2024 minimal dapat dirangkum dalam dua  perspektif :


Pertama,  dibaca sebagai "dramaturgi" politik belaka sebagaimana opini Nazlira  Al Habsy dalam tulisannya berjudul "Drama Kolosal Three  Musketeers Jokowi, Prabowo, Megawati". 

Penulis kutip agak panjang sebagian opini panjang Nazlira Al Habsy sebagai berikut:

"Agenda besar dalam siasat Pilpres 2024 esok adalah menyelamatkan Jokowi pasca purna jabatan sekaligus mengawal peralihan kekuasaan ke tangan rezim berikutnya, Ganjar-Mahfud.

Publik digiring sedemikian rupa dalam drama kolosal, seolah ada pengkhianatan, pergolakan dan pertarungan, Kubu Ganjar (PDIP) dengan Jokowi (Gerindra-Golkar-Demokrat-PSI).

Padahal drama kolosal itu sengaja di design untuk satu paket rangkaian kepentingan politik kekuasaan, yakni menyelamatkan rezim Jokowi saat ini dan mengukuhkan kembali kelanjutan estafet kekuasaan pada rezim berikutnya".

Itulah opini Nazlira Al Habsyi meletakkan perseteruan Megawati versus Jokowi hanyalah "dramaturgi politik" belaka, sebuah opini cenderung merendahkan akal sehat publik.

Akan tetapi kenyataan bahwa PDIP tidak berani "memecat" Gibran dari keanggotaan PDIP sekalipun telah menjadi cawapres dari Prabowo diluar koalisi PDIP menjadi celah pembenaran publik atas opini tersebut

Kedua, media "bocor Alus" majalah "Tempo" membocorkan informasi bahwa keinginan memajukan Gibran menjadi cawapres dari Prabowo bermula dari Ibu Iriana dan Gibran sendiri akibat tidak "happy" dengan perlakuan Megawati sering merendahkan Jokowi dalam forum rapat rapat  PDIP.

Keinginan ibu Iriana tersebut (meskipun dibantah Kaesang, puteri bungsu Jokowi)  bertemu dengan kepentingan oligarkhi politik di belakang Jokowi yang tidak happy dengan penolakan PDIP atas usul Jokowi tiga periode dan kepentingan ambisi Prabowo untuk menjadi Presiden.  

Tiga hasrat itulah yang mempertemukan pasangan Prabowo Gibran dengan segala dinamika politiknya untuk "mengamankan" kepentingan oligarkhi politik di mana mereka selama ini merasa sangat "nyaman" dalam rejim kekuasaan Jokowi.

Terlepas dari dua kemungkinan perspektif politik di atas satu hal penting digarisbawahi bahwa dalam sejarah kekuasaan politik akal sehat publik selalu bekerja dan menemukan jalan takdirnya melakukan perlawanan terhadap apapun dan siapa pun yang menjalankan kekuasaan secara se wenang wenang.

Betapa banyak sejarah politik modern memberi kesaksian kepada kita penguasa yang dipuja puja dan disanjung sanjung secara berlebihan seketika rakyat berbalik arah menghujat lalu menjatuhkannya dengan cara nista dan tragis.

Itulah hukum semesta politik. Mari kita letakkan politik sebagamana pandangan Francis Fukuyama sebagai "jalan mulia dan beradab" dalam siklus kekuasaan .

 

 

 

TAG#ADLAN

198871764

KOMENTAR