PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PRAKTEK MAFIA TANAH
Oleh : Dr. Aartje Tehupeiory, S.H., M.H.
ILUNI S3 FH Universitas Indonesia & Dosen Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia
Tanah adalah sarana yang amat penting dalam pembangunan dan bagi kehidupan manusia. Karena kehidupan manusia hampir sebagian besar tergantung pada tanah, baik untuk tempat pemukiman, sumber mata pencaharian, maupun sebagai peristirahatan yang terakhir.
Dari aspek ekonomi sebagai sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan dan aset (industry, pertanian komersial). Dari aspek politik tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam keputusan bagi masyarakat.
Sedangkan dari aspek sosial budaya, tanah dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya, jaminan sosial penduduk, tempat untuk hidup.
Terakhir dari Sisi hukum, tanah merupakan dasar kekuatan untuk yurisdiksi. Oleh karena itu, semakin meningkatnya pembangunan, maka kebutuhan akan tanah semakin meningkat pula, sedang persediaan tanah sangat terbatas.
Keadaan yang demikian berakibat harga tanah semakin melonjak dan semakin susah untuk didapatkan, termasuk di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar dan kota-kota Iainnya di Indonesia.
Ini membawa dampak positif yaitu memberikan peningkatan kesejahteraan dan keuntungan bagi pemiliknya, juga membawa dampak negative yaitu semakin meningkatnya kejahatan di bidang pertanahan.
Namun demikian berbagai aspek pentingnya tanah ini sering kali menjadi konflik di masyarakat dengan ditandainya terjadinya konflik pertanahan yaitu perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang telah berdampak luas secara sosio politis.
Selain itu juga menimbulkan perkara pertanahan yaitu perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan Oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan (Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 jo Peraturan Kepala BPN RI Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengelolaan, pengkajian dan penanganan kasus pertanahan).
Konflik pertanahan sering menimbulkan tindak kekerasan. Pada dasarnya, akar permasalahan munculnya kasus pertanahan ini adalah disebabkan oleh belum baiknya sistem administrasi pertanahan mengenai kerangka waktu dalam pelaksanaannya.
Bahkan, masalah pertanahan di Indonesia dianggap sebagai persoalan yang tidak dapat diselesaikan menggunakan pendekatan hukum saja, tetapi juga menggunakan pendekatan holistic (komprehensif) seperti politik, sosial budaya, ekonomi, dan ekologi.
Berbagai permasalahan dan isu konflik pertanahan di Indonesia yang sangat penting disebabkan banyak sekali pihak-pihak yamg sering melakukan penyelewengan tanah dengan istilah populernya Mafia Tanah. contohnya adalah:
Pertama:
Sengketa perubahan peruntukan lahan yang terjadi dikantor Walikota Jakarta Barat yang harusnya berwarna merah untuk pemerintahan namun sekarang menjadi ungu. Perubahan tersebut terjadi ada pihak dari provinsi DKI Jakarta yang ikut bermain dalam kasus sengketa tersebut.
Pemprov DKI Jakarta sendiri sempat memenangkan perkara tersebut, saat zaman Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Namun kesaksian dari lurah setempat, membuat Pemprov DKI kalah.
Kedua:
Di Jakarta banyak sekali kasus orang dengan alasan tanah verponding, girik, tiba-tiba bisa menang. Banyak contoh kekalahan Pemda DKI Jakarta dalam sengketa tanah milik Pemda DKI Jakarta yang letaknya strategis tetapi dengan mudah jatuh ke tangan para investor swasta yang mempunyai modal kuat lewat Putusan Pengadilan Negeri hingan Mahkamah Agung RI.
Mafia tanah telah memanfaatkan Pengadilan untuk merampas tanah-tanah Pemda DKI Jakrta melalui putusan putusan Pengadilan. Hal ini terletak pada persoalan mentalitas aparat Pemda DKI Jakarta dan mentalitas Hakim-hakim di Pengadilan.
Sekelompok warga Meruya Selatan mengeluhkan pencaplokan tanah secara sewenang-wenang oleh perusahaan swasta. Tanah diambil alih secara fisik oleh Perusahaan tersebut.
Tembok-tembok rumah warga ditempelin dan didatangi bersama aparat negara.
Warga diintimidasi, ditakut-takuti. Padahal lahan itu sudah bersertifikat hak milik, hak bangunan kepunyaan warga. Namun dikavling dan dipasangi patok bahwa itu milik salah satu perusahaan swasta.
Sementara disis lain para spekulan, calo, atau perantara jual beli tanah sulit dihindari oleh para Developer. Hampir tidak ada pembebasan tanah yang tanpa melibatkan spekulan. Kalau developer tidak mau memperdulikan para Mafia Tanah, dan langsung bermusyawarah dengan rakyat pemilik tanah, maka developer yang bersangkutan disengketakan oleh spekulan atau calo tanah/ Mafia Tanah.
Sebab spekulan sudah memiliki surat girik atau surat tanah (bisa berupa hak eigendom) dari beberapa tanah, yang merupakan bagian dari kawasan yang hendak dibeli developer. Jika akhirnya perkaranya dibawa ke pengadilan gara-gara sengketa tersebut, maka tanah bersangkutan dinyatakan dalam keadaan status quo.
Jika demikian, pihak developer tidak bisa berbuat apa-apa terhadap tanah tersebut. oleh karena itu banyak yang lebih memilih bekerja sama dan kompromi dengan para calo tanah atau spekulan tanah/ Mafia Tanah sebab jika proyek tertunda developer akan rugi waktu dan modal.
Pada kenyataannya banyak kawasan yang sejarah kepemilikannya simpang siur. Salah satu contoh dari Segi Tiga Emas yang banyak ganjalannya adalah tanah-tanah di Kuningan.
Diantaranya menyangkut wilayah 132 hektare bekas milik keluarga Maora (tuan tanah Betawi). Akibat landreform, pemiliknya harus merelakan 126 hejtare untuk diserahkan ke negara (dalam hal ini Pemda DKI).
Keluarga Maora hanya berhak enam hektare, tetapi tidak pernah mendapatkan bukti tertulis, dimana persis loaksinya. Ketika ia membuat rumah di wilayah yang ia anggap miliknya, Maora diusir oleh Pemda DKI sampai berkali-kali, hingga berpindah-pindah dan akhirnya tersingkir (berita TEMPO di Kejaksaan Tinggi Jakarta).
Menurut Kapolri Tito Karnavian, Mafia Tanah selama ini bekerja sama dengan penegak hukum untuk membuat harga tanah tidak terkendali. Banyak praktik kelompok Mafia Tanah yang sudah main di bidang penegakan hukum, dan mereka mengerti jalur-jalurnya.
Dengan adanya kerjasama Mafia Tanah dengan oknum penegak hukum berujung pada sejumlah langkah hukum seolah-olah legal, seperti over lapping tanah (tumpang tindih hak atas tanah), penerbitan sertifikat hak atas tanah yang ganda.
Tanah harganya mahal dan naik terus. Selain itu persoalan penyelamatan sumber daya alam (SDA) yang berkaitan dengan pertanahan. Dimana SDA itu juga menjadi konsen KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang saat ini untuk diperbaiki. Salah satunya soal pengadilan status aset-aset peninggalan zaman kolonial Belanda dan belum selesai statusnya.
Dari beberapa kasus-kasus diatas jika diteliti dalam perspektif peraturan perundang-undangan pertanahan maka akan ditemukan beberapa macam delik di bidang pertanahan. Delik di dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada Pasal 52, selanjutnya delik terhadap pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya (Undangundang Nomor 51 prp Tahun 1960 Pasal 6), delik dalam pendaftaran tanah (kriminalisasi dalam pendaftaran tanah membawa implikasi hukum tersendiri.
Indikasi pidana dalam pendaftaran tanah muncul ketika ada tindakan pejabat pertanahan yang melakukan manipulasi atas data faktual dan data yuridis hak atas tanah. Indikasi itu biasanya muncul dari pemberian sertifikat hak atas tanah).
Kebijakan kriminalisasi dalam pendaftaran tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah tidak menutup bagi penyidik polri untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran dan kejahatan di bidang pertanahan.
Penyidik polri dapat mempergunakan KUHP sebagai dasar penyidikannya (Pasal I ayat (l) KUHP) asas ini dapat ditafsirkan berlaku dalam peraturan perundang-undangan pertanahan. Selain itu juga ada beberapa indikasi pidana yaitu
1. Tindak pidana pemalsuan surat atau memberikan keterangan palsu sangat erat kaitannya dengan bidang penegakan hukum pertanahan.
2. Delik yang dilakukan dalam jabatan, ada sejumlah oknum pejabat di kementrian BPN yang turut jadi Mafia Tanah. Ini tidak terlepas dari masih banyaknya praktek pencaloan dalam masalah tanah di Indonesia. Kejahatan ini dapat diklasifikasikan sebagai delik korupsi.
Berdasarkan indikasi pidana tersebut maka harus dilakukan penegakan hukum terhadap Mafia mafia Tanah di Indonesia dengan dibentuk Tim Sapu Bersih Mafia Tanah, Satgas Mafia Tanah, Standar Operasional Prosedur (SOP) di BPN agar terjadi transparansi, akuntabilitas yang mencerminkan karakteristik dari Good Governance dalam menegakkan hukum untuk memberantas Mafia-mafia Tanah.
Ini sejalan dengan pernyataan Presiden RI Joko Widodo, bahwa persoalan tanah sebagai urusan publik yang sangat mendesak untuk diselesaikan. Oleh karena itu semua elemen bangsa dan negara (Kepolisian RI, BPN, lembaga yudikatif menghentikan pungutan-pungutan liar pada pelayanan pertanahan dalam menegakkan hukum).
Dengan demikian agenda prioritas nawacita keempat dan kelima Presiden RI Joko Widodo dapat diimplementasikan dalam bidang pertanahan dengan memperhatikan asas yang berlaku mengenai penguasaan dan pemilikan tanah serta perlindungan yang diberikan oleh hukum tanah nasional kepada pemegang hak atas tanah.
Oleh karena itu perlu dibentuk Peradilan Ad Hoc Pertanahan ditingkat pertama dan di tingkat kasasi di setiap provinsi khususnya di kotakota besar di Indonesia untuk menyelesaikan sengketa tanah, konflik pertanahan dan perkara pertanahan yang bukan hanya memeriksa bukti-bukti formal saja melainkan kebenaran materil harus diperhatikan dengan memahami asas-asas penguasaan tanah dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah sekaligus penegakan hukum terhadap Mafia-mafia Tanah di Indonesia.
Demikian ekstrak pemikiran dari seminar bertajuk: PENEGAKAN HUKUM TERHADAP MAFIA-MAFIA TANAH, Ruang Video Conference Pascasarjana, Program Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Jl Salemba Raya Jakarta, Jumat, (14/9/2018).
TAG -
184857244
KOMENTAR