Pesan Paus Pada Gerakan Kerakyatan Se-Dunia ke-4 

Hila Bame

Wednesday, 20-10-2021 | 18:03 pm

MDN
Paus Fransiskus

 

Pesan Paus Pada Gerakan Kerakyatan Se-Dunia ke-4  (Bagian 1 dari 3 Pesan Paus) 

 

JAKARTA, INAKORAN

Saudara, saudari, para penyair sosial terkasih, 1. Para penyair sosial yang terkasih Demikianlah saya ingin menyapa Anda sebagai penyair sosial.

 

Anda adalah penyair sosial karena Anda memiliki kemampuan dan keberanian untuk menciptakan harapan ketika yang nampak hanyalah pemborosan dan pengucilan.

 

Puisi merupakan kreativitas, dan Anda menciptakan harapan.

 

Melalui karya tangan Anda, Anda tahu bagaimana membentuk martabat setiap orang, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan, melalui tanah, perumahan, pekerjaan, perawatan, dan komunitas.

Terima kasih, karena dedikasi Anda berbicara dengan wibawa yang dapat menangkal penyangkalan yang diam-diam dan seringkali sopan yang telah Anda alami dan juga begitu banyak saudara saudari yang mengalaminya.

Tetapi, dengan mengingat Anda, saya yakin bahwa sumbangsih Anda adalah sebuaah pernyataan harapan.

Melihat Anda, mengingatkan saya bahwa kita tidak terkutuk untuk mengulangi atau membangun masa depan berdasarkan pengecualian dan ketidaksetaraan, penolakan atau ketidakpedulian; di mana budaya yang memberi keistimewaan-keistimewaan merupakan kekuasaan yang tidak dapat diatasi dan tidak dapat dijangkau; dan diperas serta dilecehkan merupakan cara yang biasa untuk bertahannya manusia.

Bukan!

Anda tahu bagaimana menyatakan ini dengan sangat baik. Terima kasih. Terima kasih atas video yang baru saja kita lihat.

Saya telah membaca refleksi dari pertemuan tersebut, kesaksian dari mereka yang hidup di masa kesusahan dan penderitaan ini, merupakan ringkasan dari keinginan dan usulan mereka.

Terima kasih.

Terima kasih telah mengikutsertakan saya dalam proses sejarah yang sedang Anda lalui, dan terima kasih telah berbagi dengan saya melalui dialog persaudaraan ini yang berusaha mencermati yang besar dalam yang kecil dan yang kecil dalam yang besar, sebuah dialog yang muncul dari pinggiran, dan mencapai Roma yang di dalamnya kami semua merasa diundang dan terlibat.

“Jika kita ingin berjumpa dan saling membantu, kita harus berdialog”, [1] dan itu sangat banyak! Anda merasa bahwa keadaan saat ini tepat untuk menyelenggarakan sebuah pertemuan baru. Saya merasakan hal yang sama. Meskipun kita tidak pernah kehilangan kontak, seingat saya sudah lima tahun, sejak rapat umum, bukan?

 

Banyak hal yang telah terjadi sejak waktu itu; banyak hal telah berubah. Perubahan ini telah mencapai titik yang tidak bisa kembali, titik balik, persimpangan jalan di mana umat manusia harus membuat pilihan.

Dan diperlukan saat-saat perjumpaan, penegasan, dan kerjasama.

Setiap orang, setiap organisasi, setiap negara, dan seluruh dunia, perlu mencari saat untuk merenung, membedakan, dan memilih, karena kembali ke pola pikir sebelumnya akan benar-benar merupakan bunuh diri dan jika boleh saya tekankan sedikit, penghancuran lingkungan dan pembunuhan massal.

 

Dalam bulan-bulan ini, banyak hal yang telah lama Anda kecam menjadi sangat jelas. Pandemi telah mengungkapkan ketidaksetaraan sosial yang menimpa masyarakat kita.

Tanpa meminta izin atau tanpa meminta ampun, pandemi ini telah mengungkap keadaan yang memilukan yang dialami oleh begitu banyak saudara dan saudari, suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan oleh begitu banyak mekanisme pasca-kebenaran.

 

Banyak hal yang biasanya kita andaikan telah runtuh ibarat rumah dari kartu. Kita telah mengalami bagaimana cara hidup kita dapat berubah secara drastis dari hari yang satu ke hari yang berikutnya, mencegah kita, misalnya, untuk melihat kerabat, kolega, dan teman kita.

 

Di banyak negara, pemerintah-pemerintah bereaksi. Pemerintahpemerintah itu mendengarkan ilmu pengetahuan dan mampu menentukan batasan untuk memastikan kebaikan bersama, dan karenanya mereka berhasil setidaknya untuk sementara waktu guna mengerem "mesin raksasa" yang bekerja hampir secara otomatis, di mana manusia dan pribadi-pribadi hanya dianggap sebagai gigi roda penggerak.

 

[2] Kita semua telah menderita rasa sakit sebagai akibat dari penutupan kegiatan, tetapi seperti biasa Anda mengalami yang lebih buruk daripada itu.

Di lingkungan tanpa sarana dasar, di mana banyak dari Anda, jutaan dan berjuta-juta orang lagi hidup, tentu sangat sulit untuk tinggal di rumah, bukan hanya karena Anda tidak memiliki semua yang Anda perlukan, bahkan untuk memastikan bahwa Anda mendapat perawatan dan perlindungan yang minimal, tetapi karena rumah Anda berada di lingkungan tersebut.

 

Para migran, orang-orang tidak berdokumen, pekerja informal tanpa pendapatan tetap, dalam banyak kasus, tidak mendapat bantuan negara dan dicegah untuk melakukan tugas-tugas mereka yang biasa, sehingga memperburuk kemiskinan mereka yang sudah parah.

Salah satu ungkapan dari budaya ketidakpedulian ini adalah bahwa sepertiga dari dunia kita yang menderita ini tampaknya tidak cukup menarik bagi media besar dan pembuat opini. Itu tetap teronggok bersama dan tersembunyi.

 

Saya juga ingin merujuk pada pandemi bisu yang telah menimpa anak-anak, remaja dan orang muda dari setiap kelas sosial selama bertahun-tahun; dan yang saya yakini, dalam masa isolasi ini, masih menyebar lebih jauh lagi.

 

Ini adalah derita kecemasan menahun, terkait dengan berbagai faktor seperti hiperkonektivitas, tidak adanya pengarahan dan kurangnya rencana ke depan, yang diperburuk oleh kurangnya kontak nyata dengan orang lain - keluarga, sekolah, pusat olahraga, paroki, pusat pertemuan orang muda - dan akhirnya kurangnya kontak nyata dengan teman-teman, karena persahabatan adalah bentuk di mana cinta selalu dihidupkan kembali.

 

 

Jelas bahwa teknologi dapat menjadi alat untuk kebaikan, dan hal itu benar bahwa teknologi adalah alat untuk kebaikan yang memungkinkan dialog seperti ini, dan banyak hal lainnya, tetapi teknologi tidak pernah dapat menggantikan pertemuan tatap muka antar kita, tidak pernah dapat menggantikan komunitas di mana kita dapat berakar dan yang memberi kepastian bahwa hidup kita dapat berbuah.

 

Dan karena berbicara tentang pandemi, kita telah berhenti mempertanyakan bencana krisis pangan.

Meskipun terjadi kemajuan dalam bioteknologi, jutaan orang tidak bisa makan, sekalipun makanan tersedia.

Tahun ini sudah dua puluh juta lebih manusia telah terseret ke tingkat kerawanan pangan yang gawat; kemiskinan yang telah merebak; dan harga makanan meningkat tajam.

Angka-angka yang berkaitan dengan kelaparan sungguh mengerikan, dan pikiran saya sampai ke negara-negara seperti Suriah, Haiti, Kongo, Senegal, Yaman, Sudan Selatan.

 

Namun kelaparan juga banyak dirasakan di negara-negara miskin lainnya di dunia, dan tidak jarang juga di negara-negara kaya. Kematian setiap tahunnya akibat kelaparan dapat melebihi kematian yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19.

[3] Tapi ini tidak menjadi berita. Itu tidak menumbuhkan empati.

(Bersambung..)

KOMENTAR