Peter Yan: Sampai Kapan Pun Orang Tetap Tidak Beralih ke Kendaraan Umum

Sifi Masdi

Tuesday, 12-09-2023 | 12:14 pm

MDN
Ir. Peter Yan, Pengamat Transportasi [inakoran]

 

 

 

Jakarta, Inako

Kemacetan lalu lintas yang terus meresahkan kota-kota besar, termasuk Jakarta, menjadi teka-teki yang sulit dipecahkan. Pertanyaan utama yang muncul adalah mengapa warga Jakarta masih memilih kendaraan pribadi sebagai sarana transportasi utama, meskipun telah ada upaya resmi dari pemerintah untuk mendorong mereka beralih ke transportasi umum.

Kemacaten di salah satu jalan protokol Jakarta [inakoran]

 

BACA JUGA: Menkeu Sri: Mobil Listrik Tren Keniscayaan dan Strategi Perubahan Iklim

Peter Yan, seorang ahli dalam bidang transportasi, menjelaskan beberapa alasan yang mendasari keengganan masyarakat untuk memilih transportasi umum atau kendaraan publik. Setiap hari, Peter Yan naik KRL dari Stasiun Rawa Buntu, yang berlokasi di BSD, Tangerang, menuju Stasiun Palmerah. Namun, dia menemui masalah besar saat tiba di Stasiun Palmerah sekitar pukul 10.00 pagi: tidak ada layanan busway yang tersedia. Ini merupakan konsekuensi dari kebijakan yang membatasi operasional busway antara jam 10.00 hingga jam 15.00.

 

 

 

Pada pandangan pertama, kebijakan ini mungkin masuk akal mengingat lonjakan penumpang selama jam sibuk, terutama saat orang berangkat dan pulang kerja. Namun, seringkali terlupakan bahwa tidak semua orang yang bepergian pada jam 10 pagi adalah pekerja. Ada ibu rumah tangga dan pensiunan yang juga aktif melakukan kegiatan di luar rumah pada waktu tersebut. Akibatnya, mereka yang ingin pergi ke Palmerah pada jam 10.00 pagi tidak memiliki akses yang sama ke busway. Sebagai gantinya, mereka terpaksa mencari moda transportasi lain, seperti naik ojek, yang jelas lebih mahal.

Kondisi lalu lintas di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta [inakoran]

 

BACA JUGA: Kadishub DKI Instruksi Jajarannya Gunakan Kendaraan Umum Setiap Rabu

Mengapa busway tidak beroperasi pada jam-jam tersebut? Menurut Peter Yan, akar masalahnya terletak pada ketidakselarasan dalam kebijakan pemerintah. Pemerintah tampaknya belum mampu berkoordinasi dengan baik dalam mengatur sistem transportasi umum. Dalam proses pembuatan kebijakan, seringkali suara masyarakat terabaikan.

Peter Yan juga memberikan contoh lain yang menggambarkan masalah yang lebih besar. Ini terkait dengan pengalaman seseorang yang datang dari Grogol dan ingin menuju Palmerah, kemudian tiba di Senayan. Di sini, penumpang harus turun, menyeberang di jalan tol, dan menunggu lagi untuk naik busway ke Palmerah. Namun, masalahnya adalah bahwa jembatan penyeberangan tersebut dimiliki oleh pihak lain, bukan Transjakarta, sehingga tidak dapat diintegrasikan dengan sistem transportasi umum lainnya.

Penumpang yang menggunakan jasa KRL [inakoran]

 

BACA JUGA: Menteri Luhut Bantah Negara Keluar Duit untuk Subsidi Mobil Listrik

Peter Yan mengakui bahwa mungkin ada yang berpikir bahwa masalah ini sepele, mengingat perbedaan biaya hanya sekitar 3.500 rupiah. Tetapi sebenarnya ada persoalan yang lebih dalam yaitu bahwa kita sering kali tidak menyelesaikan masalah ini secara menyeluruh. Pengguna transportasi umum sering kali dianggap sebagai objek, bukan subjek dalam pengambilan keputusan. Dan inilah salah satu alasan mengapa orang menjadi enggan menggunakan kendaraan umum.

"Ketika saya bertanya kepada pihak Transjakarta tentang jembatan penyeberangan di atas jalan tol, mereka mengklaim bahwa itu bukan milik mereka, padahal sebenarnya jembatan tersebut adalah milik Pemerintah DKI Jakarta atau negara. Kesalahan seperti ini mendorong orang untuk beralih ke kendaraan pribadi," tutur Peter kepada Inakoran.

 

 

 

Selain itu, Peter Yan memberikan contoh lain tentang keengganan masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Ia melihat masyarakat semakin tidak yakin bahwa kendaraan umum adalah solusi yang praktis. Contohnya adalah sistem kereta di Jakarta, seperti MRT, LRT, dan KAI (KRL), yang semuanya menggunakan kereta. Tetapi, ketiga sistem ini tidak terintegrasi dengan baik. Misalnya, jika seseorang datang dari Bandung dan turun di Stasiun Gambir, mereka tidak bisa langsung naik KRL ke tempat tujuan mereka. Padahal sebenarnya hal tersebut mungkin dilakukan jika ada koordinasi yang baik antara Kementerian Perhubungan dan perusahaan-perusahaan kereta tersebut.

Stasiun LRT di Dukuh Atas, Jakarta Pusat [inakoran]

 

BACA JUGA: Penumpang LRT Jabodebek Wajib Bawa Kartu Uang Elektronik

Peter Yan mengakui bahwa Indonesia memiliki banyak orang berbakat yang dapat menyelesaikan masalah ini. Tetapi seringkali kesempatan untuk mengatasi masalah ini tidak dimanfaatkan. Semua orang tahu masalah ini, namun kurangnya tindakan serius yang diambil oleh pemerintah adalah masalah utamanya.

Kembali ke soal keengganan naik kendaraan umum, Peter menyebut salah satu alasannya adalah masalah ruang atau privasi. Ketika orang naik kendaraan umum, ia harus berbagi ruang dengan orang lain, sementara kendaraan pribadi memberikan lebih banyak privasi. Selain itu, tarif transportasi umum biasanya lebih murah, tetapi juga lebih lambat dan tidak selalu efisien. Waktu sangat berharga, dan itulah mengapa banyak orang lebih suka menggunakan kendaraan pribadi.

Terlepas dari berbagai alasan di atas, Peter Yan mengungkapkan bahwa kunci untuk mengubah situasi ini adalah peran pemerintah. Pemerintah harus bekerja sama untuk menyinkronkan sistem transportasi umum, menghilangkan distorsi, dan memastikan bahwa waktu perjalanan menjadi lebih efisien. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan setengah-setengah, tetapi memerlukan keseriusan dan komitmen untuk menyelesaikan masalah ini hingga tuntas.

Peter yakin bangsa ini memiliki potensi untuk menciptakan sistem transportasi umum yang lebih baik dan efisien. Semua itu memerlukan koordinasi, keterlibatan masyarakat, dan tekad untuk mengatasi.

 

KOMENTAR