Politik Ugal-ugalan ASN Beban Elektoral Petahana

Timoteus Duang

Monday, 30-09-2024 | 10:35 am

MDN
H. Adlan Daie [Pemerhati politik dan sosial keagamaan]

Oleh: H. Adlan Daie [Analis politik dan sosial keagamaan]

Menggerakkan birokrasi dan ASN secara ugal-ugalan menjadi  "political shadow",  tim sukses bayangan bupati "petahana"  tidak akan membantu kemenangan kecuali dalam sistem politik "junta militer".

Manuver politik ASN secara terbuka dan ugal-ugalan dengan aksentuasi represif justru potensial menjadi beban elektoral petahana, bahkan potensial menjadi variabel faktor kekalahan sang petahana

 

Cara-cara seperti ini di era media sosial dan dalam sistem demokrasi modern akan mendapatkan perlawanan diam dengan tidak memilihnya di bilik-bilik rahasia TPS. 

Baca juga: Megawati dan Prabowo Bertemu Sebelum 10 Oktober, PDI Perjuangan Beri Sinyal Gabung Pemerintahan

Persepsi kolektif publik merasa diperlakukan tidak adil akan menghukum petahana untuk tidak memilihnya. Inilah Vox Populi Vox Dei, suara rakyat suara tuhan, sulit diatur oleh tangan-tangan kotor secara intimidatif.

Dalam riset data indikator politik terhadap hasil pilkada sejak pilkada serentak tahun 2015, 2017, 2018 dan terakhir pilkada serentak tahun 2020 secara rata-rata sebesar 40% calon petahana kalah.

Variabel-variabel kekalahannya jelas bukan petahana tidak mengerakkan ASN dan birokrasi melainkan rendahnya tingkat approval rating atau tingkat kepuasan publik terhadap kinerja petahana.

Baca juga: Kabinet Prabowo-Gibran Dikabarkan Bakal Diisi 40 Kementerian, Presiden Jokowi: Itu Hak Prerogatif Presiden Terpilih

Jadi, menaklukkan pilihan rakyat tidak mudah dengan cara curang, disogok dengan angpao dan intimidatif secara birokratis. Justru rakyat lebih piawai ambil duitnya, urusan milih adalah eksekusi perasaan di bilik-bilik TPS.

Dalam rezim politik elektoral berdasarkan riset perilaku pemilih mayoritas publik memilih karena motif kesukaan, bersifat relasi emosional. Ia hanya dapat ditaklukan oleh kemampuan rekayasa manipulasi persepsi publik secara sistemik dan terstruktur.

Dalam konteks Indramayu misalnya penulis telah membedah  kekuatan elektoral Lucky Hakim (baca di "Inakoran", 26 Maret 2024). Ia sulit ditaklukkan secara intimidatif. Ibarat beduk makin dipukul makin nyaring pantulan elektoralnya.

Baca juga: Lucky Hakim The Nex Bupati Indramayu?

Lucky hakim hanya potensial dicegah peluangnya manakala dua kontestan lain mampu "mendownload grade" citra dan pesona Lucky Hakim berbasis isu yang merubah persepsi publik secara massif dan sistemik.

Waktu dua bulan yang tersisa menuju hari "H" pencoblosan, 27 November 2024  dalam teori survey Profesor Burhanudin Muhtadi adalah fase krusial, lebih dari 50% pilihan publik masih bersifat "swing voters",  potensial bermigrasi atau berpindah secara "zig zag".

Di sini kemampuan konsolidasi ke level akar rumput secara "friendly" dan bersahabat dalam relasi relasi emosional berbasis pilihan isu bermagnit elektoral akan menentukan hasil akhir pilkada Indramayu 2024. 

 

 

KOMENTAR