Rejim Politik Fir`Un Sebuah Nasihat Untuk Para Penguasa

Hila Bame

Monday, 09-08-2021 | 08:17 am

MDN

 


Oleh. : Adlan Daie
Analis politik / Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat.

JAKARTA, INAKORAN


Fir'un adalah watak penguasa politik otoriter, dholim dan kejam diback up oligarkhi  konglomerasi Qorun, konsultan politik Bal am dan dibentengi "buzzer",yakni para tukang sihir bayaran.

Baik Fir'un, Qorun, Bal'am dan para buzzernya sebagaimana digambarkan dalam kitab suci telah mati ditelan sejarah tapi watak, sifat dan tabi'at kejam kekuasaannya selalu bermutasi ke para penguasa di setiap jaman dengan segala topeng keangkuhan kuasa politknya. Ibarat virus delta covid 19 bermutasi cepat dengan daya tular dahsyat dan mematikan.


Itulah sebabnya Lord Action, sejarawan moralis Inggris mengingatkan bahwa "Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely", kekuasaan berwatak koruptif.

Makin absolut kuasanya makin menjadi jadi tindakan koruptifnya. Ali bin Abi Tholib dalam kitab "Nahjul Balaghah" menjelaskan bahwa watak koruptif dan otoriter penguasa didorong oleh bayangan rasa takut akan kehilangan kuasa nya.  Akan tetapi makkn koruptif dan otoriter seorang penguasa menurutnya makin cepat runtuh tembok beton kekuasaannya secara "su'ul khotimah", tragis, nista dan nestapa.


Sistem demokrasi hadir dalam perspektif Francis Fukuyama dalam bukunya "The end of  histroy" untuk menghindari kekuasaan menumpuk di satu tangan seperti contoh sempurna rejim politik Fir'un.

Celakanya sistem demokrasi pun bisa di korupsi sebagaimana dikonstruksi Zibat dalam bukunya "How democracy die" akibat lembaga kembaga demokrasi  "trias politika", yakni eksekutif, legislatif dan yudikatir tidak berfungsi dan hanya basa basi atau bahkan "berselingkuh" satu sama lain..

Seolah olah tampilannya demokratis tapi di level eksekusinya bersifat otoriter, dhlolim, sewenang wenang dan angkuh.

BACA:  

Kobaran api merusak pulau Evia Negara Yunani, seperti film horor Masuk hari keenam

 


Dalam kitab "Nahjul Balaghah" di atas Ali bin Abi Thalib dalam salah satu petikan nasehatnya untuk para penguasa politik mengingatkan yaitu "Wala takulanna inni mu"ammaratun fa utha'a".

Artinya, janganlah kalian menjadi penguasa politik yang diangkat oleh kekuasaan secara legal, lalu meminta rakyat taat 100% tanpa recerve.

Dengan kata lain, dalam perspektif demokrasi modern kekuasaan adalah "dari rakyat, oleh dan untuk rakyat". Prinsip moralitasnya adalah "fox populi fox die", yakni suara rakyat adalah suara Tuhan. Suara Tuhan adalah  suara kebajikan, keadilan dan kemaslahatan.

baca:  

Laporta: ‘Kamis Biarkan Messi Pergi Untuk Menyelamatkan Keuangan Klub’

 


Di sinilah penting nya "chek and balance" atau keseimbangan kontrol dalam sistem demokrasi agar suara rakyat yang dimandatkan saat pemilu tetap di jalan "suara tuhan", yakni suara kebajikan, keadilan dan kemaslahatan.

Tidak dikorupsi menjadi "suara setan", dhloim, otoroter, angkuh dengan berlindung dibalik legalitas kekuasaannya yang dulu dimanfaatkan oleh rakyat saat pemilu.

Mandat suara rakyat tidak berhenti saat rakyat mencoblos di TPS, akan tetapi harus bertransformasi menjadi kontrol publik atas penguasa politik. Itulah sejatinya ruh dan substansi demokrasi.


Substansi dan moralitas pesan yang hendak ditekankan dalam tulisan ini adalah bahwa siapa pun penguasa politik dan di level jabatan manapun belajar dan bercerminlah dari runtuhnya rejim politik Fr'un.

Rejim otoriter hanyalah "jiwa jiwa kerdil" yang branding media "tukang sihir" ala Fir un dulu. Dipuja dan dipuji melangit lalu dibanting sejarah dan berakhir dengan cara nista dan nestapa. 


Maka terima.lah demokrasi dengan segala konsekuensi kritiknya agar politik selalu sehat dan maslahat.


Semoga bermanfaat.

Wassalam..

TAG#ADLAN DAIE

188667762

KOMENTAR