Seminar Nasional Bertajuk Filsafat dan Teknologi, IFTK Ledalero Hadirkan Profesor Budi Hardiman

Saverianus S. Suhardi

Wednesday, 08-02-2023 | 12:30 pm

MDN
Prof. Budi Hardiman

 

 

Maumere, Inakoran.com

Institut Filsafat dan Tekonologi Kreatif (IFTK) Ledalero menyelenggarakan seminar nasional bertajuk Filsafat dan Teknologi di Auditorium St. Thomas Aquinas Ledalero, Sabtu (4/2/23). Hadir sebagai pembicara utama Prof. Dr. Fransisco Budi Hardiman dan penanggap Dr. Felix Baghi.

Secara daring, melalui aplikasi zoom meeting, Prof. Budi menyampaikan beberapa gagasan penting dalam rangka mempertautkan filsafat dan teknologi serta memberi penegasan aktualitas filsafat dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, penanggap, Dr. Felix Baghi yang hadir secara luring bersama segenap civitas academica IFTK Ledalero menawarkan judul, “Disermen Peradaban: Sophia Techne Poiesis.


Baca juga: Pertemuan Golkar dan PKS Dinilai untuk Jaga Segala Kemungkinan


 

Ketua Prodi Filsafat, Dr. Bernardus Subang Hayong, dalam kata sambutannya menekankan sinergitas antara filsafat dan teknologi dalam cakupan realitas dunia yang semakin berjalan dalam kecanggihan. Manusia mesti mampu menciptakan dunia filsafat yang berdiri di atas teknologi demi memahami nilai eksistensi kehidupan mereka sendiri.

“Menyandingkan filsafat dan teknologi sebagai dua bidang ilmu yang bersinergi dalam sebuah diskursus seperti yang kita buat pada kesempatan ini adalah cara merefleksikan dialektika antara otonomi dan kecakapan manusia, tindakan dan eksistensinya, pemahaman kodrat teknologi dan efek sosio-kultural, antropologi dan etis. Memahami dialektika seperti ini memungkinkan kita menyadari bahwa eksistensi manusia dapat dipahami secara teknologis, meskipun tidak semua aspek eksistensialis itu terpenuhi secara integral dalam kecakapan teknologi itu sendiri. Tindakan konkret manusia tidak hanya dibentuk dalam mengeksekusi, tetapi juga dalam hasilnya,” tandas dosen filsafat itu, sekaligus membuka seminar nasional.

Dalam materi yang berjudul “Filsafat dan Teknologi Canggih: Sebuah Status Quaestionis”,  Prof. Dr. Budi Hardiman mempersoalkan bagaimana teknologi canggih berada dan berkembang dalam diri manusia, sehingga eksistensinya tetap ada dan berkembang sebagaimana mestinya. Mempersoalkan teknologi secara filosofis baginya adalah cara mengingatkan kembali akan makna aslinya sebagai suplemen.

Prof. Budi menegaskan empat pokok persoalan filosofis dengan teknologi itu dalam beberapa spesifikasi, yakni ontologis, epistemologis, etis, dan antropologi. Empat persoalan ini memiliki relasi kesinambungan yang berpengaruh penting dalam ranah teknologi canggih.

“Persoalan esensi teknologi itu adalah persoalan realitas yang terbentuk oleh pemakaian teknologi, dan kita menyebutnya sebagai persoalan ontologis. Persoalan pengetahuan yang dihasilkan atau dimediasi lewat teknologi kita sebut persoalan epistemologis. Persoalan dampak baik atau buruk dari pemakaian teknologi kita sebut sebagai persoalan etis. Persoalan makna dan tujuan hidup manusia yang dipengaruhi oleh pemakaian teknologi kita sebut sebagai persoalan antropologis,” beber dosen filsafat pada Universitas Pelita Harapan Jakarta itu dalam presentasinya.

Dalam pembahasan lanjutan, Prof. Budi juga menempatkan isu-isu aktual yang menyentuh realitas kehidupan manusia karena empat pokok persoalan sebagaimana inti persoalan eksistensi manusia dalam teknologi itu sendiri. Manusia dianggap kurang memahami diri dalam teknologi sehingga melahirkan apa yang disebut teknologi sebagai substitusi eksistensi manusia, dan bukan suplemen. Oleh karena itu, dalam penutupnya, Prof. Budi menegaskan bahwa kehadiran teknologi seharusnya menjadi penyokong yang membentuk manusia karena eksistensinya sebagai makhluk yang berperan sebagai suplemen.

“Berefleksi atas kemajuan teknologis, kita akan menemukan perbedaan antara diri kita dan teknologi, dan lewat perbedaan itu kita menjadi diri kita sendiri sebagai manusia. Manusia memang terbatas dalam segi-segi tertentu, seperti kecepatan memproses data, kekuatan fisik, kecermatan menghitung, tetapi lewat keterbatasan itu manusia mengalami hidupnya bermakna melalui perjuangan,” pungkasnya pada akhir pemaparan materi.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, beberapa pertanyaan menarik muncul dari dosen dan mahasiswa di Auditorium IFTK Ledalero. Pertanyaan pertama diajukan Dr. Felix Baghi. Dia mempertanyakan bagaimana sistem seperti AI (Artificial Intelligence) dapat diaktifkan sampai level imajinasi atau pertimbangan-pertimbangan etis dan moral. Sebab, menurut Dr. Felix, hal itu jugalah yang menjadi pergumulan para filsuf.

Terhadap hal ini, Prof. Budi menjelaskan adanya pemisahan hubungan antara AI dan peran manusia itu sendiri dalam teknologi.


Baca juga: Dorong Indonesia Maju, Presiden Soroti Pentingnya Hilirisasi


 

Menurut dia, “Sejauh karya-karya seperti sistem itu adalah hasil program, dan program itu mengkombinasikan elemen yang sudah diinput oleh manusia dalam sistemnya, hal itu sama seperti alat kerja manusia. Namun, satu hal yang diperlukan adalah bahwa sistem Al itu tidak mampu menghasilkan dirinya, sebab sistem AI hanyalah kombinator dari berbagai determinan yang masuk ke dalam sistemnya dan manusia yang mampu menghasilkan dirinya sendiri.”

Pertanyaan lain yang memancing diskusi disampaikan oleh Dr. Pice Dori, dosen sekaligus Kaprodi Kewirausahaan IFTK Ledalero. Dr. Pice mempertanyakan aspek antropologis dalam pembahasan Prof. Budi. Pertanyaan Dr. Pice berangkat dari pernyataan Prof. Budi bahwa manusia begitu humanis, lemah lembut. Sementara dari aspek sejarah, seperti Thomas Hobbes katakan, ada Homo Homini Lupus. Dan sejak manusia mengenal teknologi, khususnya penciptaan bom atom dan seterusnya, Homo Homini Lupus berdampak masal. Dan dalam diskusi kali ini, Dr. Pice mempertanyakan mengapa aspek itu tidak diangkat dengan maksud untuk memperkuat tugas filsafat di hadapan teknologi.

Selanjutnya, pertanyaan diskursus muncul dari seorang mahasiswa Prodi Filsafat, Rival Nakung. Rival menyangsikan ideal Prof. Budi yang menurutnya terlalu optimis memandang masa depan eksistensi manusia dan kemanusiaan. Berlawanan dengan Prof. Budi, Rival beranggapan bahwa paradigma yang lebih cocok ialah paradigma pesimisme, sebab hal itulah yang mendukung manusia untuk selalu memperjuangkan nilai kemanusiaan itu sendiri.

Pada bagian akhir, sekaligus menutup sesi diskursif, Prof. Budi Hardiman mengatakan bahwa eksistensi manusia tetap berbeda dengan eksistensi AI sebagai sistem yang diperalat untuk membantu manusia dalam realitas kehidupannya. Ia menegaskan bahwa ia mengambil realisme kritis, dengan suatu pengertian manusia sebagai subjek yang tidak bergantung kepada teknologi, tetapi sebaliknya berevolusi untuk kemajuan berpikir dan cara pandang memahami eksistensi dirinya. Oleh karena itu, Prof. Budi mengharapkan agar manusia tetap mempertegas eksistensi dirinya tanpa mengurangi kemajuan teknologi itu sendiri.* (Atro Sumantro)

 

KOMENTAR