Semiotika Jokowi tentang ‘Wajah Berkerut’ & ‘Rambut Putih’ 

Hila Bame

Sunday, 27-11-2022 | 20:38 pm

MDN
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

 

 

Oleh: Andre Vincent Wenas

JAKARTA, INAKORAN

Calon pemimpin yang selalu mikirin rakyat ciri-cirinya – salah duanya – adalah ia yang: 1) wajahnya jadi berkerut-kerut dan 2) rambutnya memutih. Kata Jokowi di stadion GBK, 26 November 2022. 

Kalau yang masih ‘cling’ (alias mulus mengilat), mungkin lantaran orang itu gak pernah mikirin rakyat. Kerjanya cuma sibuk berdandan memoles penampilannya. Pendeknya sibuk pencitraanlah. Demi ambisi pribadi.

Memang ini terdengar sangat menyederhanakan persoalan.

Tapi ini juga bukan soal yang terlalu rumit untuk ditafsirkan, bahwa Jokowi sedang menegaskan tentang siapa yang ia maksud soal estafet kepemimpinan bangsa pasca 2024.

Metaforik memang, tapi seperti kerupuk yang gampang dikunyah, semua paham maksudnya.


BACA:  

Ini Yang diusulkan Airlangga pada KTT Pontianak


Walau dalam pidato sebelumnya Jokowi sempat bilang bahwa “kelihatannya setelah ini gilirannya Pak Anu”, itu kok terasa lebih sebagai sebuah semiotik yang sekedar ‘menghibur’ Sang Ketum yang ikut hadir di sebuah perayaan ultah parpol lainnya.

Di situ ada juga Cak Lontong sang komedian-berdiri yang kondang itu. Apakah ini juga komedi?

Hanya Jokowi yang tahu. 

Sedangkan pidato ‘wajah berkerut’ dan ‘rambut putih’ itu disampaikan Jokowi dalam gempita pidato dihadapan ratusan ribu relawan.

Locus-nya pun di stadion Gelora Bung Karno. Disampaikan dalam ‘tone’ yang lebih serius, bahkan diulang-ulang. Mungkin supaya tegas dan sampai pesannya.

Maka riuhlah sambutan publik. Baik yang hadir di Senayan kemarin, maupun yang di medsos sampai sekarang.

Apa sih yang melatarbelakangi semiotika “wajah berkerut” dan “rambut memutih” itu? 

Kita tahu, berbagai agenda skala nasional (maupun inter-nasional) sedang diteruskan Jokowi, sebagai kelanjutan program pemimpin sebelumnya, banyak yang sudah selesai dan ada juga yang masih dikerjakan. Disamping banyak gagasan baru Jokowi sendiri. 

Ambil contoh soal Ibu Kota Nusantara (IKN) yang digagas dan dirintis Bung Karno, tapi kemudian berhenti dan cuma jadi wacana semata selama puluhan tahun, apa pun alasannya.

Baru sejak kepemimpinan Jokowi gagasan dan rintisan awal Bung Karno itu jadi proyek nyata yang dilandasi Undang-Undang. Solid. 

Program IKN adalah mega-proyek yang tembus jaman alias visioner.

Jauh ke depan, yang saking jauh ke depannya sampai-sampai banyak cerdik pandai di negeri ini pun tak sanggup mencernanya.

Tapi Jokowi rupanya tak gentar dan tak urung niat, bahkan ngegas terus. 

Tantangan berikutnya soal hilirisasi kekayaan alam (pertambangan), juga yang terkait industrialisasi nasional.

Nilai tambah secara riil harus digaet oleh bangsa sendiri, jangan mau cuma dikeruk mentahannya lalu kita mesti beli balik via impor dengan harga yang jauh lebih mahal. 

Ini pengejawantahan konstitusi Indonesia sendiri sebetulnya. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Tapi ditantang gurita kapitalisme global, via WTO (?) tapi juga lewat antek-anteknya di dalam negeri (?).

Mereka sibuk dan gigih membelit untuk mencekik program hilirisasi ini.

Berbagai fitnah dan hoaks disebar untuk bikin keruh, agar mereka bisa mengail ikan di air yang keruh itu.

Keparat memang.

Namun Jokowi nekad, maju tak gentar membela yang benar (konstitusi).

Visi maritim di negeri maritim diterjemahkan dengan membangun jalur-jalur logistik antar-pulau maupun intra-pulau.

Pelabuhan-pelabuhan laut maupun udara direnovasi maupun dibangun baru.

Urat perekonomian yaitu jalan-jalan (termasuk jalan tol darat maupun tol laut) yang mengoneksi sentra-sentra industri besar maupun UMKM dengan kota-kota pelabuhan laut dan udara diperbaiki, dilebarkan dan dibangun baru.

Pemerataan yang Indonesia-sentris, bukan lagi Jawa-sentris.

Waduk sebagai infrastruktur pertanian untuk menggenapi upaya ketahanan pangan bangsa adalah keharusan.

Mengiringi ketahanan pangan adalah soal reformasi agraria.

Kepastian hukum soal lahan, ini penting lantaran sangat fundamental bagi rakyat, sang pelaku utama ekonomi kerakyatan.

Maka Jokowi sekarang pasang mantan panglima untuk menggasak para mafia tanah, tukang serobot lahan (land grabbing).

Target sertifikasi lahan sudah dipatok, dan harus tercapai. 

Kemudian, rakyat Indonesia tidaklah tinggal sendirian di bumi ini.

Humanisme (internasonalisme) membuat kita mesti jadi warga bumi yang solider dan bertanggungjawab.

Bumi adalah tempat tinggal kita bersama. Solidaritas umat manusia mesti dibangun, dan disegarkan terus menerus.

Ada panggilan kemanusiaan terkait isu lingkungan, keadilan sosial, serta perdamaian.

Perang harus diperangi, dan bumi serta umat manusianya mesti diselamatkan agar mampu hidup berdampingan secara bermartabat dalam suasana damai. 

Memikirkan dan mengerjakan itu semua memang bisa bikin wajah berkerut dan rambut memutih. 

Ketulusan, kejujuran, kecerdasan serta keberanian adalah ‘conditio sine qua non’ dalam karakter kepemimpinan.

Maka itu, semiotika Jokowi sebelumnya bilang: hati-hati, pilihlah calon pemimpin yang ‘bener’! …ya, sekali lagi “yang bener!” 

27/11/2022


**)Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

 

 

TAG#ANDRE WENAS, #JOKOWI, #GANJAR

182203949

KOMENTAR