Si Penakluk Lautan Bagian Barat Pulau Sumatera

Binsar

Sunday, 22-09-2019 | 00:43 am

MDN
Peserta KPN 2019 asal Gorontalo, Alifah Aulia Magrifah [Inakoran.com/Ina TV]

 

Catatan perjalanan seorang peserta Pelantara 9, Alifah Aulia Magrifah, KPN asal Provinsi Grontalo

 

Jakarta, Inako

Hari itu, Minggu 1 September 2019. KRI Tanjung Kambani 971 mengangkat jangkarnya dan melebarkan arah mata angin menuju tanah Sumatera. Niat yang kokoh dan atas izin ibu pertiwi, 700-an peserta Pelayaran Lingkar Nusantara (Pelantara) 9 Sail Nias 2019, bergerak memenuhi panggilan ke Nias.

Pelantara -9, terdiri atas tiga kontingen yakni, Kapal Pemuda Nusantar (KPN) dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), kontingen Saka Bahari dari TNI Angkatan Laut, dan Bela Negara dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan), ditambah puluhan awak KRI Tanjung kambani 971 serta para pendamping.

Kami semua mengarungi bagian dari Samudera Hindia itu. Diombang-ambing oleh tenaga yang masih utuh dan semangat yang membara.

Peserta Pelantara 9 saat berada di Lampung [Inakoran.com/Ina TV]

 

Suasana kapal adalah pembelajaran baru bagi banyak orang. Di kapal, air tawar adalah pemberian Tuhan yang paling berharga sehingga harus dijaga dan dihemat meski sebenarnya secara fakta kami ada di atas limpahan air. Situasi hari-hari di kapal adalah pengerat perbedaan yang dibawa masing-masing orang. Pagi di sini adalah niat yang harus disukuri, siang adalah pembakar semangat, sore adalah haru, dan malam adalah waktu istirahat yang nikmat.

Kontingen Pelantara 9 saat merapat di dermaga Sibolga [Inakoran.com/Ina TV] 

 

Di sini, apapun makanan para koki dapur menjadi Amin yang telah dikabulkan Tuhan. Rasanya Indonesia, benar-benar menjadi penanda kesamaan hak. Hari pertama di kapal, kami pikir lagu dangdut akan jadi pengantar yang seru kemudian menonton film Dono, Kasino, dan Indro akan jadi hiburan awal yang lucu. Tapi, film dan lagu-lagu itu ternyata semakin lama menjadi berkawan. Makin kami hapal pula liriknya, haha. Ah, menyanyi dangdut malam hari di sini itu sah dan hak segala orang hihi.

Koki dapur di sini semuanya adalah bapak-bapak tentara AL yang ramah dan bijaksana. Berkawan dengan mereka adalah keuntungan, sewaktu-waktu kamu akan dapat kelebihan Semangka, atau porsi potongan ayam yang banyak, dan segelas Susu Coklat. Setiap malam di Kapal dan tempat singgah adalah renungan untuk membuktikan bahwa Indonesia itu kaya dan beragam. Hal itu terwujudkan dalam pentas seni berbagai Provinsi yang bergilir setiap malam.

Hari-hari di kapal menuju Sibolga menjadi cerita baru yang bisa disimpan rapat atau dibagi, tergantung dari setiap  kami yang ikut.

Kami berlayar 4 hari 3 malam hingga sampai di Kota Ikan, Sibolga, Sumatera Utara. Sibolga itu hampir sama dengan Gorontalo. Suasananya, cuacanya yang terik, keramahan orangnya, tampak gunungnya, dan kehidupan para nelayan.

 

Pelantara 9 saat berkunjung ke SMA Negeri I Plus Matauli Pandan, Tapanuli Tengah [Inakoran.com/Ina TV}

 

Di Sibolga, kami mengunjungi SMA Matauli dan berkawan dengan adik-adik siswa yang cerdas dan humble. Kami juga mengunjungi Markas TNI AL, Pemakaman Syech Mahmud, dan tempat wisata lainnya yang ada di Kota Ikan ini. Di sini, kami disambut hangat dan sangat baik oleh penduduk. Bahkan ketika kami bertolak menuju Nias, upacara perpisahan menjadi puncak haru. Seperti keluarga yang mengantar anak-anaknya pergi, di waktu yang singkat Sibolga mampu menjadi rumah yang nyaman. Aku jadi teringat salah seorang penjual rambutan yang mendekat dan melambaikan tangannya pada kami dari dermaga sambil berteriak "Sekolah yang rajin ya, Sukses ya, Sehat selalu ya, Nanti datang lagi ke sini" Ah, rasanya ini klise sekali. Kami hanya berhenti 4 hari di Sibolga tapi semuanya menjadi erat dan berat. Sepertinya doa kami semua waktu itu sama "Semoga berjumpa Kembali".

 

Tarian penyambutan saat tiba di Dermaga Teluk Dalak Nias Selatan [Inakoran.com/Ina TV]

 

Perjalanan di Sibolga menjadi tekad yang makin kuat dan semangat untuk ke Nias, si gerbang wisata dunia. "Gak semua orang bisa ke Nias, itu gerbang wisata dunia" aku jadi ingat kata-kata seniorku sebelum berangkat dari Provinsi menuju Program KPN awal bulan September. Nias menyambut dengan hangat dan indah. Tanah Nias adalah tempat suci yang bersemayam sebagian dari surga. Nias adalah bukti kuasa Tuhan.

Di Nias, Gunung Kerinci tidur dengan indah dan anak-anak pesisir di Nias adalah mata yang tak berdosa. Nias itu tempat istrahat yang tenang dan mensyukuri nikmat Tuhan yang hebat. "Oiiii Dusanaak" dan "Ya'ahowu" merupakan sapaan khas masyarakat Nias yang mendiami telinga kami. Ramah, sambil tersenyum dan saling menggenggam erat, kami semua tanpa disadari telah tumbuh dan jatuh cinta pada Ona Niha.

Di Nias, kami mengunjungi pantai Baloho si tempat paling disukai matahari terbenam, pantai Sorake si tempat dengan ombak paling tangguh, mengunjungi dan mengajar di SD, SMP, SMA Dharma Caraka, membagikan buku, bertanya cita-cita mereka, dan melakukan banyak aktivitas lingkungan. Di Nias kami juga mengunjungi Desa Bawomataluo untuk melihat tradisi Lompat Batu yang selalu jadi perhatian wisatawan dunia.

Dulu, aku hanya bisa melihat tradisi ini lewat TV, tapi sekarang punya kesempatan secara langsung sambil memandangi rumah-rumah tradisional warga Nias. Di Nias, rasa cinta Indonesia seakan ditumpuk rapat. Seperti harapan kami dan kepala sekolah di SD Dharma Caraka "Semoga perjumpaan ini menjadi bagian dari cara untuk semakin memperkuat NKRI". Ya, kami cinta Nias, kami cinta Indonesia. 5 hari di Nias telah tandas dan tuntas. Waktunya untuk kembali ke Jakarta dan melewati Lampung.

Kami pikir, Nagari Ulun Lampung hanya akan jadi tempat singgah biasa saja. Lucunya, pikiran kami sewaktu kapal bersandar di Padang Panjang hanya soal ke Indomaret dan membeli banyak minuman haha. Atau jalan-jalan membeli souvenir khas Lampung, dan istrahat untuk menuju Ibu Kota. Tapi, ternyata Lampung adalah rumah ternyaman. Tempat paling baik kami untuk sama-sama saling mengeratkan diri selama 20 hari berlayar.

Di Lampung kami tinggal di Markas Brigif 4 Marinir yang terkenal dengan sebutan Markas Harimau Lampung. Diperlakukan jadi tamu yang istimewa, dan bahkan bapak-bapak tentara di sana seperti sedang menyambut pulang anak-anaknya yang telah berlayar jauh. Tindakan militer adalah penyemangat bagi jiwa kami, dan kami menyukai itu. Semuanya jadi nikmat karena akhirnya kami pandai mengatur waktu, bekerja tim, dan memiliki keluarga yang baru. Kisah dari bapak-bapak tentara juga jadi bagian dari perjalanan ini.

Markas Brigade Infanteri 4 Marinir Lampung [Inakoran.com]

 

"Ya gitu nak, tentara itu kebanyakan dikenal garang, kejam, tegas. Padahal kami juga manusia biasa yang punya perasaan dan butuh kasih sayang" tutur seorang TNI AL setelah menceritakan kisahnya sebagai tentara. Beliau pernah bertugas meninggalkan anaknya yang masih berusia 5 bulan, dan saat balik anaknya sudah berusia 1 setengah tahun. Beliau cerita bagaimana anaknya tidak mengenalinya, itu jadi lucu tapi pilu. Ada banyak nasehat dan petuah dari TNI AL yang kami simpan dan jadikan pembelajaran.

Terima kasih Lampung, tanah anak krakatau bertempat tinggal. 2 hari lamanya dan dengan berat hati kami harus meninggalkan tanah leluhur ini. Menuju Jakarta, untuk tiba di Tanjung Priok. Melepas segala rindu. Kami pikir, ini adalah hal yang dinantikan selama 21 hari. Tapi, kami salah. Keliru.

Peserta KPN berpose di depan Markas Brigade Infanteri 4 /BS Lampung [Inakoran.com/Ina TV]

 

Tepat malam sebelum tiba di Jakarta, di atas lautan menuju tempat pulau seribu lahir, air mataku pecah dan pikiran kami seakan meletus jadi seribu. Kami tidak sadar bahwa akan ada hari ke 20 dan 21 yang semakin berat dan penuh kenangan. Semakin berat rasanya, kami tidak bisa membendung segala yang berat di dada.

Cerita dan tawa yang sudah kami bagi dalam hari-hari. Sekarang waktunya untuk kembali pada kesibukan masing-masing. Di Jakarta semua akan berpisah dan memilih pulang, melepaskan yang sudah kita lalui. Kegiatan Pelayaran ini adalah pembelajaran besar untuk rasa toleransi. Bukan hanya terhadap lain, tapi bagaimana kita mampu toleransi dulu pada diri sendiri, memahami diri sendiri, agar mampu menagan egois dan menerima perbedaan.

Pada setengah hari di Tanjung Priok, pelayaran telah usai. Terima kasih TNI AL, dan semua personil yang terlibat dalam kisah ini.

KOMENTAR