Statement Migrant CARE : Memperingati Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2020

Hila Bame

Friday, 01-05-2020 | 23:37 pm

MDN
Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE (ist).

 

 Jakarta, Inako

 

Kebijakan Perlindungan Sosial dan Jaring Pengaman Sosial Krisis Pandemik COVID-19
Harus Bisa Diakses Oleh Kaum Pekerja Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya, demikian rilis yang diterima Inakoran.com jumat( 1/5/2020)


Laporan ILO tanggal 29 Apri 2020 menyebut krisis pandemik COVID-19 merupakan krisis global terburuk sejak Perang Dunia II.

Krisis ini telah membawa kaum pekerja, tidak hanya terancam kesehatannya karena virus jahat ini, tetapi juga kehilangan pekerjaan dan menghidupannya. Sebelumnya, ILO juga menyebut kelompok pekerja migran dan pekerja sektor informal merupakan kelompok pekerja yang menghadapi kerentanan berlapis dalam krisis ini yaitu rentan terpapar, rentan distigma sebagai pembawa virus, rentan kehilangan pekerjaan dan rentan untuk diabaikan dalam kebijakan perlindungan sosial.

 

BACAJUGA: Ini Langkah Pemerintah dalam Mitigasi COVID-19 di Sektor Ketenagakerjaan

 

Gambaran global tersebut makin nyata terlihat ketika melihat realitas pekerja migran Indonesia dalam krisis pandemik COVID-19. Pekerja migran Indonesia (terutama yang bekerja di kawasan episentrum awal Corona di Asia Timur dan Asia Tenggara serta yang bekerja sebagai ABK di Kapal Pesiar) adalah para warga negara Indonesia yang pertama kali menghadapi krisis Corona ketika sebagian besar dari masyarakat dan pemerintah Indonesia masih menjadi “penonton” kecamuk awal virus Corona. 

 

Menurut UN Women, kerentanan berlapis juga dihadapi oleh pekerja migran perempuan, terutama mereka yang bekerja di sektor pengasuhan, perawatan dan pelayanan publik. Kerentanan ini kerap dilupakan atau malah dianggap tidak ada.


 
Realitas ini, sayangnya, lamban direspons oleh pemerintah Indonesia. Dalam evakuasi warga negara Indonesia (mahasiswa Indonesia) dari kawasan Wuhan yang mengalami isolasi, pemerintah Indonesia abai pada permintaan para pekerja migran Indonesia yang ada di daratan Tiongkok untuk juga dievakuasi. Pembedaan perlakuan ini jelas merupakan kebijakan yang diskriminatif.

 

BACA JUGA: OJK Perkirakan Pertumbuhan Kredit di 2020 Hanya Sekitar 1%-2%

 

Krisis pandemik COVID-19 ini jelas membawa pengaruh pada keberlangsungan kerja dan penghidupan pekerja migran karena ruang gerak terbatasi (dimana beberapa negara tujuan menerapkan lockdown) serta menguatnya sentiment rasisme, xenophobia yang menomorduakan kaum pendatang asing dalam penanganan pandemic COVID-19. 

 

Situasi ini jelas terlihat pada kondisi pekerja migran Indonesia di Malaysia yang terjebak lockdown (Movement Control Order) di Malaysia. Sebagian besar diantara mereka adalah pekerja migran tidak berdokumen yang tentu tidak memiliki keleluasaan bergerak disaat mereka harus kehilangan pekerjaan dalam status sebagai pekerja upah harian atau mingguan.

Kondisi inilah yang membuat mereka menantang marabahaya nekad pulang kampung menyebrang Selat Malaka dengan moda transportasi laut yang belum tentu menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Mereka yang bertahan di Malaysia pun juga harus menghadapi krisis pangan karena keterbatasan logistik sementara mereka tak lagi menerima upah.

 

BACA JUGA: Kementerian PUPR Salurkan Bansos 56.125 Kantung di 34 Provinsi Secara Serentak

 

Di masa menjelang Lebaran ini juga diprediksi terjadi eksodus pemulangan/kepulangan pekerja migran Indonesia, menurut BP2MI jumlah pemudik pekerja migran sekitar 38.000. Sebagian besar diantara mereka adalah yang selesai masa kontrak ataupun yang diperpendek masa kontraknya. 

 

Realitas tersebut diatas memperlihatkan bahwa krisis pandemik yang terjadi dan dialami oleh pekerja migran Indonesia terjadi mulai dari negara tujuan hingga negara asal. Oleh karena itu diperlukan langkah kebijakan yang komprehensif untuk memitigasi dan mengantisipasi krisis ini agar tidak menjadi tragedi kemanusiaan.

Kita tidak menginginkan adanya pekerja migran kelaparan di negara tujuan dan ketika pulang ke kampung halaman terjerembab dalam jurang kemelaratan. 

 

Oleh karena itu, dalam peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2020, Migrant CARE menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak melupakan kerentanan pekerja migran dalam skema jaring pengaman sosial dan kebijakan perlindungan sosial untuk antisipasi dampak krisis pandemik COVID-19.

Pemerintah Indonesia juga harus memprioritaskan stimulus fiscal dan kebijakan makro ekonomi yang berorientasi pada kepentingan kaum pekerja, kelompok perempuan miskin dan kaum marginal  dan tidak menganakemaskan kepentingan investasi semata.

Pemerintah Indonesia dan DPR-RI juga harus menghentikan secara total pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan lebih serius menangani krisis pandemik COVID-19. Pemerintah Indonesia juga harus mendorong negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia untuk tidak diskriminatif dan tidak mengkriminalisasi pekerja migran tidak berdokumen dan lebih berfokus pada perlindungan pekerja migran dari virus COVID-19.


Jakarta, 1 Mei 2020


 

KOMENTAR