Survei-Ketimbang China, ASEAN kini Lebih Condong ke AS. Apa Alasannya?

Hila Bame

Wednesday, 09-04-2025 | 09:47 am

MDN

 

JAKARTA, INAKORAN

Survei oleh lembaga pemikir ISEAS menunjukkan bahwa AS kembali menjadi mitra pilihan Asia Tenggara, setelah pada tahun 2024 dikalahkan oleh China. 

Lebih dari 2.023 responden dari 11 negara Asia Tenggara lebih berpihak pada Amerika Serikat dibandingkan China "jika terpaksa harus memilih satu dari dua mitra strategis". Hal ini terungkap dalam hasil survei lembaga pemikir ISEAS-Yusof Ishak Institute (ISEAS), Singapura, yang dirilis pekan lalu.

Dalam laporan Negara Asia Tenggara 2025 tersebut, ISEAS menggelar survei antara 3 Januari hingga 15 Februari mengenai persepsi regional terkait isu strategi dan pengaruh kekuatan-kekuatan besar.

Ketika diminta memilih antara AS dan China, sebanyak 52,3 persen responden memilih AS, sementara 47,7 persen memihak China.

Laporan ISEAS juga menunjukkan lebih dari setengah responden berharap ASEAN dapat meningkatkan "ketahanan dan persatuan dalam menghadapi tekanan dari dua kekuatan global" tersebut.

“Margin yang tipis ini menunjukkan upaya ASEAN yang penuh kehati-hatian dalam menjaga keseimbangan antara dua kekuatan besar, karena ketergantungan ekonomi dengan Tiongkok bersaing dengan pertimbangan keamanan dan hubungan historis yang lebih nyaman dengan AS,” ujar laporan tersebut.

Survei terbaru ini kembali menempatkan AS sebagai mitra pilihan Asia Tenggara dibandingkan China. Selama empat tahun berturut-turut sebelumnya, Tiongkok selalu lebih unggul dalam survei ini dibandingkan AS.

Tahun ini, ISEAS melakukan survei terhadap 2.023 orang di 10 negara anggota ASEAN, dan untuk pertama kalinya mencakup Timor-Leste yang diperkirakan akan menjadi anggota ASEAN pada tahun 2025.

Para responden adalah peneliti, perwakilan media, anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM), pegawai pemerintah daerah, perwakilan sektor swasta dan masyarakat sipil.

Keberpihakan terhadap AS paling kuat ditunjukkan oleh responden dari Vietnam dan Filipina, dua negara ASEAN yang terlibat dalam perang Laut China Selatan dengan pemerintah Beijing. Selain itu, kedua negara ini juga meningkatkan kerja sama keamanan dengan AS, kata ISEAS.

Sementara keberpihakan terhadap Tiongkok ditunjukkan oleh responden dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunei dan Laos, negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi mendalam dan kebergantungan perdagangan dengan Tiongkok sekaligus tidak puas dengan kebijakan AS, terutama setelah Donald Trump menjadi presiden.

CHINA MASIH DIANGGAP PALING BERPENGARUH

Meski AS memimpin dalam survei tersebut, namun ISEAS melihat Tiongkok masih merupakan kekuatan ekonomi dan politik-strategis yang paling berpengaruh di Asia Tenggara.

“Tiongkok masih menjadi pilihan utama para responden di ASEAN, kecuali Filipina yang masih memandang AS sebagai kekuatan politik dan strategi yang paling berpengaruh,” ujar laporan ISEAS.

Tiongkok juga merupakan kekuatan ekonomi yang paling berpengaruh berdasarkan survei, memperoleh 56,4 persen antara responden Thailand, Malaysia, dan Singapura.

"Posisi Tiongkok ini menunjukkan hubungan ekonomi yang mendalam dengan negara-negara di kawasan, terutama melalui perdagangan dan investasi infrastruktur di bawah Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI)," tutur laporan ISEAS.

Meski begitu, mayoritas responden dari tujuh dari 10 negara ASEAN mengaku khawatir akan meningkatnya pengaruh politik dan strategis Tiongkok.

Hal ini sangat dirasakan oleh Thailand, Vietnam dan Filipina. Sementara itu, Kamboja, Brunei, dan Malaysia adalah negara yang paling menerima pengaruh ekonomi Tiongkok.

“Meskipun ada kekhawatiran atas pendekatan transaksional Presiden Trump dan penarikan diri AS dari organisasi-organisasi internasional, para responden ASEAN masih melihat AS sebagai pembela utama tata kelola global,” kata laporan itu.

MASALAH KEPERCAYAAN?

ISEAS mengatakan, responden masih terbelah soal rasa percaya mereka terhadap Tiongkok sebagai negara adidaya, terutama dari Vietnam dan Filipina yang terlihat menyaksikan wilayah perairan.

Sementara responden Thailand dan Myanmar, dua negara yang ekonominya sangat bergantung pada pariwisata dan perdagangan dari Tiongkok, mengeluhkan campur tangan Beijing pada masalah dalam negeri mereka.

Namun ada juga responden dari ASEAN yang percaya kepada Tiongkok, terutama karena sumber daya ekonomi Beijing yang melimpahkan dan kemauan politik mereka untuk menjadi pemimpin global.

Kepercayaan terhadap AS secara keseluruhan tetap kuat dan bahkan meningkat, kata ISEAS - naik menjadi 47,2 persen dari 42,4 persen tahun lalu. Ketidakpercayaan terhadap AS juga menurun meskipun Trump dengan kebijakan "America First" -nya banyak menuai kekhawatiran.

Peningkatan paling tajam datang dari responden di Laos, jumlah kepercayaan terhadap Washington melonjak lebih dari 30 poin persentase.

MASA DEPAN ASEAN

Lebih dari separuh responden ASEAN memperkirakan hubungan dengan Tiongkok akan membaik dalam tiga tahun mendatang, dengan prioritas utama mencakup penyelesaian damai atas perlindungan wilayah dan maritim serta penghormatan terhadap pelestarian nasional.

Peningkatan perdagangan bilateral juga tetap menjadi perhatian utama, begitu pula dengan pendalaman pemahaman bersama melalui hubungan antar, masyarakat tambah laporan ISEAS.

Serupa dengan temuan tahun 2024, para responden tetap optimis terhadap hubungan dengan Tiongkok dalam tiga tahun ke depan—dengan 50,3 persen responden yakin hubungan tersebut akan membaik.

Optimisme paling tinggi tercatat di Laos (68,9 persen), diikuti Indonesia (67,8 persen) dan Malaysia (63,8 persen), negara-negara dengan pertumbuhan proyek infrastruktur dan ekonomi yang disokong Tiongkok.

Responden juga secara umum menyatakan positif terhadap hubungan dengan AS, bahkan di bawah kepemimpinan Trump, dengan 46 persen mengatakan hubungan akan membaik. Optimisme ini sangat tinggi di Vietnam, Laos, dan Kamboja.

Kepercayaan negara termuda di Asia, Timor-Leste, terhadap Tiongkok juga menonjol, dengan hampir 70 persen responden mengatakan hubungan dengan Tiongkok akan membaik—sebuah tanda peran Tiongkok yang semakin besar sebagai mitra pembangunan di kawasan.

Michael Green, kepala eksekutif Pusat Studi Amerika Serikat di Australia, mengatakan survei itu menunjukkan bahwa tidak ada satu pun kekuatan besar yang mendominasi di Asia Tenggara. Hal ini, kata dia, adalah bukti keberhasilan diplomasi ASEAN.

Profesor Liu Lin, dari Sekolah Partai Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok, mengatakan bahwa survei ini menunjukkan sikap positif para responden terhadap hubungan Tiongkok-ASEAN.

ASEAN sedang "melakukan lindung nilai antara Tiongkok dan AS", ujarnya. "Tiongkok tidak akan memaksa ASEAN untuk memilih pihak. Apa yang kami lakukan hanyalah memperkuat kerja sama dengan ASEAN guna mengembangkan hubungan bilateral kami lebih lanjut dan berkontribusi pada kawasan serta pembangunan."

Sumber: CNA

 

TAG#AMERIKA SERIKAT, #CINA

195907482

KOMENTAR