Tantangan Nurhayati, Perempuan Pertama yang Menjadi Ketua DPRD Indramayu

Junny Yanti

Wednesday, 27-08-2025 | 10:46 am

MDN

JAKARTA, INAKORAN.COM

Oleh :  H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

Teddy Resoolvelt, Presiden AS awal abad ke 20 memberikan sebuah illustrasi menarik secara simbolik bahwa seorang pimpinan eksekutif maupun legislatif adalah the bully pulpit, ibarat sebuah mimbar. 

Dari atas mimbar seorang pimpinan bisa mengorkestrasi dan membingkai opini publik sesuai arah yang diidealkan dalam menuntun peta jalan publik tapi dari mimbar itu pula spotlight, lampu sorot publik  tertuju kepadanya.

Dalam posisi itulah kira kira Nurhayati, politisi partai Golkar kini berdiri - bukan sekedar ia menghentikan sejarah maskulinitas parlemen dengan menjadi perempuan pertama menjabat kedua DPRD dalam sejarah parlemen Indramayu.

Lebih dari itu, ia menjadi titik simpul peran legislatif dalam relasi politik bersama eksekutif dan interplay dalam tarik menarik kepentingan politik pragmatis antar fraksi di DPRD sebagai political balancing, sebuah politik penyeimbang terhadap eksekutif.

Sebagai ketua DPRD Indramayu, Nurhayati bukan sekedar konduktor yang mengatur kerja teknis sirkulasi rapat rapat dan tukang loby mekanis melainkan kerja pikiran merumuskan kehendak publik di tengah puncak amarah publik atas kinerja defisit manfaat lembaga legislatif (DPR/DPRD) saat ini.

Kasus pemberian Tunjangan Perumahan (Tuper) DPRD Indramayu tahun 2022 (40 juta untuk ketua, 35 juta untuk wakil ketua dan 30 juta untuk para anggota  - per bulan adalah pelajaran mahal untuk dihindarkan dari kerja kerja fungsi formalisme legislatif. 

Dalam konteks buku Prabowo Subianto berjudul  Indonesia Paradox (2017) - kini Presiden RI, tentang Tuper tersebut  bukan sekedar perkara kasus, melainkan sebuah pola dan strategi curang yang dalam buku Prabowo di atas disebut praktek Kleptoprasi legalism. 

Prabowo terang terangan dalam buku tersebut menyebut kleptoprasi legalism sebagai praktek "negara maling" yang dilegalkan dalam peraturan untuk keabsahan legal dan deteksi dini untuk menghindar dari delik formalitas hukum.

Praktek kekuasaan kleptoprasi hanya dibangun di atas kesepakatan (tepatnya perselingkuhan) dalam formalitas demokrasi sebagai strategi kekuasaan yang dilegalkan, tidak dituntun oleh moralitas keadilan dan ambang batas kepatutan publik. 

Inilah yang dulu oleh Gus Dur (tahun 1992) disebut  demokrasi seolah olah dan George Orwell menyebutnya Binatangisme politik (1983). Demokrasi hanya menampung hasrat dan nafsu kekuasaan yang dilegalkan secara permisif. 

Di Indramayu tentu tidak adil jika praktek kleptoprasi hanya ditujukan untuk kasus Tuper DPRD di atas, tak tertutup kemungkinan banyak hal perlu dibongkar dari praktek kleptoprasi di lingkar eksekutif birokasi seperti belanja makan minum, patgulipat ijon proyek, jual beli jabatan dan lain lain.

Protes keras publik hingga meminta pembubaran DPR dan aksi unjuk rasa di kab Pati Jawa Tengah mengirim sinyal bagi Nurhayati sebagai ketua DPRD indramayu bahwa fungsi political balancing DPRD terhadap ekesekutif adalah fungsi chek and balance untuk mempertajam kebijakan maslahat publik.  

Relasi politis eksekutif dan legislatif bukan relasi perselingkuhan politis yang dibungkus kajian kajian pesanan demi legalitas peraturan tanpa basis keadilan dan kepatutan publik. 

Thomas Hobbes, ahli filsafat politik (Inggris) dan Ibnu Khaldun, Sosiolog muslim (Tunisia) mengingatkan bahwa "Negara tanpa keadilan publik hanyalah perampokan kolektif yang dilegalkan". Hakekat bernegara adalah kesepakatan kolektif yang dituntun moralitas keadilan dan kepatutan publik.

Penulis percaya bahwa integritas personal dan  pengalaman politik Nurhayati memenuhi standart memimpin DPRD Indramayu tetapi kekuasaan politik selalu sexi dan menggoda, bahkan bikin mabok dan teler jika tanpa kontrol dan meaningful participation dari publik secara ketat.

Karena itu, penting mengingat kembali pesan Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat dalam tradisi keagamaan Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jamaah - sering disingkat Aswaja dalam kitab Nahjul Balaghah. Ia menulis begini:

"Pemimpin (hari ini termasuk di dalamnya adalah para pejabat) tanpa kontrol publik potensial manipulatif dan berbohong, hanya piawai bercerita tentang keberhasilan - yang direkayasa untuk menutupi kepalsuan,"

Sebaliknya pemimpin yang jujur selalu legowo dikontrol publik, terbuka atas bimbingan, masukan dan kontrol rakyat agar kemajuan bisa dicapai bersama. 
Selamat bertugas.

Wassalam

TAG -

206317185

KOMENTAR