Umat Islam Bebas Jalankan Ibadahnya Tanpa Ada Pembatasan Pemerintah Komunis di China

Jakarta, Inako
Media Barat sejak dahulu selalu memberitakan pelarangan beribadah bagi umat beragama, termasuk umat Islam di Tiongkok (China) oleh Pemerintah setempat yang komunis. Namun, dalam kenyataannya, umat Islam di Tiongkok, bebas menjalankan ibadahnya, sepanjang menunaikkannya di masjid-masjid, mushola, Islamic Centres dan tempat tinggal masing-masing.
Hal itu diungkapkan oleh Nurwidiyanto, mahasiswa Indonesia yang tengah studi S3 di salah satu universitas di Tiongkok saat menjadi narasumber dalam Diskusi Tematik Online yang diadakan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) DKI Jakarta, Sabtu (20/6).
“Pasal 36 Konstitusi Republik Rakyat Tiongkok menjamin kebebasan beribadah bagi umat beragama di negara itu, sehingga kesan yang mungkin terpatri di publik sejak dulu hingga kini, termasuk di Indonesia, bahwa di Tiongkok terdapat pelarangan beribadah atau bahkan menganut agama oleh Pemerintah Tiongkok itu tidak benar”, tutur Nurwidiyanto, dalam diskusi tersebut.
Ia menjelaskan pula bahwa “Tiongkok telah mulai membuka diri terhadap dunia luar sejak tahun 1980-an, ketika diperintah oleh Deng Xiaoping”. Menurut pria yang saat ini menjabat Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa NU di Tiongkok tersebut, “reformasi dan keterbukaan yang diterapkan oleh Deng dan kemudian diteruskan para penggantinya membuat Tiongkok sesungguhnya tidak pantas lagi disebut ‘negara tirai bambu’ ”.
BACA JUGA: Diskusi Film Pengantin: Medsos Berpotensi Picu Pekerja Migran Indonesia Sektor Informal Jadi Radikal
Keterbukaan Tiongkok tersebut membuat “umat Islam bangkit lagi. Saat ini, jumlah masjid bertambah berkali lipat sejak tahun 1980-an”. Jumlahnya sekitar 40,000 unit masjid, jauh lebih besar dari jumlah masjid di Amerika Serikat yang kerap mempromosikan diri sebagai negara pionir kebebasan di dunia. Pemerintah baru melarang apabila kegiatan beribadah dilakukan di lapangan terbuka karena dianggap akan mengganggu ketertiban umum.
Islam Masuk Tiongkok
Nurwidiyanto menambahkan bahwa Islam masuk Tiongkok pada tahun 600-an, di abad yang sama dengan munculnya Islam di jazirah Arab. Di masa itu, Tiongkok diperintah dinasti Tang (618-907 M). Era Dinasti Tang disebut-sebut sebagai masa keemasan negara itu, karena di masa itu, Tiongkok berhasil membuat penemuan empat benda yang sangat bermanfaat dan berpengaruh bagi kehidupan umat manusia, yakni kertas, teknik cetak, bubuk mesiu, dan kompas.
BACA JUGA: Menyimak Dampak Virus Corona, Lockdown, Aksi Penimbunan Terhadap Ketahanan Nasional
“Sebetulnya, penemuan ini tidak sengaja. Niat awal itu untuk membuat obat, tapi jadi mesiu. Ini kan berguna terlebih di zaman perang. Penemuan terakhir yaitu kompas,” ujarnya.
Kertas merupakan penemuan luar biasa yang bermanfaat hingga hari ini. Dengan ditemukannya kertas, nantinya Dinasti Song yang menggantikan Dinasti Tang menggunakan kertas sebagai bahan membuat uang, yang kemudian dikenal sebagai uang kertas. Kemudian teknik cetak. Dengan penemuan tersebut, karya tulis atau tulisan para sastrawan atau pendeta agama Buddha, Konghucu dan Tao dapat digandakan dalam bentuk kitab atau buku-buku. Penemuan lainnya berupa bubuk mesiu membuat bangsa Cina kuat di bidang pertahanan dan militer. Adapun kompas berguna sebagai penunjuk arah bagi seseorang yang tersasar di hutan atau lokasi yang jauh dari penduduk.
BACA JUGA: Pengangkatan Prajurit TNI dan Perwira Polri Aktif Sebagai Pejabat BUMN Melanggar Hukum
Penemuan-penemuan tersebut dan kemajuan Tiongkok di masa itu yang membuat munculnya hadits yang berarti “tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, yang menunjukkan bahwa di masa yang sama dengan munculnya Islam di jazirah Arab, bangsa Tiongkok telah memiliki peradaban tinggi, termasuk di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Banyak hal dan penemuan Cina yang punya pengaruh besar dan membawa perubahan di bidang teknologi, ekonomi dan budaya di seluruh dunia mungkin yang membuat Nabi Muhammad SAW mengirimkan sahabat beliau, Sa’ad bin Abi Waqos r.a., sebagai utusan resmi ke Kaisar Gao Zhong pada tahun 650. Dari pertemuan dengan utusan dunia Islam itu, Kaisar dikisahkan sangat kagum dengan Nabi Muhammad SAW.
BACA JUGA: Cegah Virus Corona, NU Lakukan Launching Penyemprotan Disinfektan Covid-19
“Bahkan, karena kagumnya itu, Kaisar mengizinkan sahabat Nabi untuk mendirikan masjid dan menamakannya Huaisheng (yang berarti “mengingat orang bijak”) untuk menghormati Nabi Muhammad SAW. Masjid tersebut adalah masjid tertua di Tiongkok,” tambahnya.
Masa Dinasti Tang adalah fase awal penyebaran ajaran Islam ke Cina. Banyak pelajar Islam yang datang untuk menuntut ilmu di Cina. Pedagang-pedagang Muslim yang berniaga ke Tiongkok juga berpengaruh besar dalam menyebarkan ajaran Islam ke negeri itu.
BACA JUGA: PWNU Jakarta Target Penggalangan Koin Muktamar NU Capai di Atas Rp 10 Miliar
“Setelah itu, mereka menikah dengan orang-orang lokal. Suku Hui adalah bukti adanya kawin campur dengan saudagar Arab,” ujar Nurwidiyanto.
Nurwidiyanto juga menyatakan sejumlah ulama Tiongkok pada masa itu berupaya memadukan ajaran Konfusius dengan ajaran Islam, supaya ajaran Islam lebih bisa diterima dan bertahan di Tiongkok. “Seperti Wali Songo, falsafah Islam dengan budaya Jawa yang pentingkan nilai Islam tetap ada,” Nurwidiyanto menganalogikan.
Setelah itu, di masa dinasti Yuan yang dikuasai bangsa Mongol, kaum Islam mendapatkan status sosial yang tinggi. Tidak sedikit, tokoh Islam yang menjadi pejabat penting di pemerintah.
Namun, selanjutnya seiring keruntuhan dinasti Yuan, Islam ikut memudar. Kaisar dinasti Ming sebagai penguasa baru membuat peraturan diskriminasi untuk orang-orang asing, termasuk umat Islam, antara lain dengan mengeluarkan aturan yang mengharuskan umat Islam Tiongkok mengganti nama Islamnya dengan nama yang berkarakter Tionghoa.
Di era Dinasti Qing, menurut Nurwidiyanto, diskriminasi lebih parah lagi. Makanya banyak pemberontakan yang dilakukan umat Islam di era Dinasti Qing. Kendati demikian, justru di era sulit itu, umat Islam di Tiongkok mampu bertahan dan mengembangkan ajaran Islam secara masif. Mereka memanfaatkan bilik masjid sebagai tempat untuk mengajarkan Al-Quran dan mengajar Al-Quran dengan metode Tiongkok. Selain itu, ulama Tiongkok juga menerjemahkan Al-Quran dengan aksara Cina supaya memudahkan mereka memahami nilai-nilai Islam.
BACA JUGA: Aneh sebagai fiksi: Ledakan imajiner di Kaesong yang Terlihat pada film 'Steel Rain' 2017
Menanggapi paparan Nurwidiyanto tersebut, Tjoki Aprianda Siregar, pengamat hubungan luar negeri, ketika dihubungi InaKoran (21/6), mengingatkan, bahwa tahun ini Indonesia dan Tiongkok memperingati 70 tahun hubungan diplomatiknya.
Tjoki berpendapat bahwa sudah waktunya publik Indonesia tidak terlalu memiliki persepsi negatif mengenai Tiongkok, dengan selalu mencurigai influks pekerja asing asal negeri itu ke Indonesia. Meski begitu, publik Indonesia dipersilahkan apabila ingin memantau atau mewaspadai, dan memberi masukan ke otoritas atau aparat setempat sekiranya mengamati hal-hal yang tidak wajar.
Tjoki juga berpendapat, meski Pemerintah Tiongkok menganut paham komunis dan di masa lalu memiliki sejarah kelam dalam hubungannya dengan Indonesia karena dekat dengan PKI, tidak berarti di masa kini mereka masih akan berupaya menyebarkan komunisme ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Tiongkok kini sangat berbeda dengan Tiongkok di masa lalu, di era Perang Dingin dimana pertentangan ideology liberal dan kapitalis dengan sosialis dan komunis terasa kental atmosfirnya.
Tiongkok sekarang lebih menerapkan ekonomi pasar terbuka yang sebenarnya bersemangat kapitalis. Selain itu paham komunis sudah tidak laku lagi di mana-mana, termasuk Indonesia. Tjoki meyakini ketahanan nasional bangsa Indonesia sudah cukup kuat untuk meng-counter masuknya paham komunis ke Nusantara.
TAG#Islam, #China, #Tiongkok, #NU, #ISNU, #Diskusi Islam, #Tjoki Aprianda Siregar, #Diskusi Online
199013012
KOMENTAR