Ini Kesimpulan Hasil Diskusi Pakar tentang Evaluasi Resiko Kematian COVID-19 di Indonesia

Jakarta, Inako
Seperti yang bisa kita semua rasakan, dunia pada saat ini tampak sangat rapuh. COVID-19 telah memberi dunia salah satu tantangan kesehatan masyarakat dan sosial-ekonomi terbesar di zaman modern. Ini juga telah memaksa salah satu perubahan perilaku manusia terbesar dalam beberapa generasi.
BACA JUGA: Selain Beri Sumbangan, Ronaldo Juga Ajak Fans Cegah Virus Corona Dengan Tetap Tinggal di Rumah
Faktor resiko kematian dan target kerusakan organ pada infeksi COVID-19
Pada hari diskusi, mengemuka data pada pasien yang meninggal di intensive care unit (ICU), didapatkan bahwa faktor resiko kematian yang dikaitkan dengan terlambatnya pasien datang ke rumah sakit rujukan akibat keterbatasan ruangan baik dari RS yang merujuk maupun RS yang menerima rujukan, penyakit gula yang tidak terkontrol, sedang memiliki penyakit tuberkulosis (TB) atau memiliki riwayat TB, serta penderita hipertensi yang menggunakan valsartan dan candesartan sebagai regimen pengobatan.
BACA JUGA: Kemendikbud: Rumah Belajar Gratis Untuk Anak Indonesia
Peserta:
Prof. Dr. dr. Rino Alvani Gani, SpPD-KGEH
Pada hari Minggu, 22 Maret 2020
Prof. Dr. dr. Suhendro, SpPD-KPTI
dr. Erlina Burhan, SpP(K), MSc, PhD
Dr. dr. Dita Aditianingsih, SpAn0KIC
dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K)
dr. Aida Lydia, SpPD-KGH, PhD
dr. Adityo Susilo, SpPD-KPTI
dr. Eric Daniel Tenda, SpPD, FINASIM
Dr. dr. Sukamto, SpPD-KAI
Prof. Dr. dr. Dwiana Ocviyanti, SpOG(K)
dr. Anis Karuniawati, PhD, SpMK(K)
Pada hari Minggu, 22 Maret 2020. Telah dilakukan diskusi antara beberapa ahli mengenai strategi mengatasi wabah COVID-19 yang membahas lebih dalam mengenai faktor resiko kematian, sharing mengenai tatalaksana COVID-19, langkah preventif hingga terapetik, serta pengenalan gambaran RS UI sebagai RS pusat rujukan Depok.
BACA JUGA: Info Rupiah Hari Ini, 31 Maret 2020
Hasil diskusi para ahli juga menemui beberapa fakta bahwa; usia tua, yaitu pada usia diatas 65 tahun masih merupakan faktor resiko utama kematian infeksi COVID-19 karena merupakan usia yang rentan memiliki multi-patologi (patologi: perubahan pada fungsi yang nyata pada fisiologi tubuh).
Pada beberapa kasus COVID-19 didapatkan adanya kerusakan organ seperti hati dan ginjal. Peningkatan marker laboratorium seperti enzim hati atau fungsi ginjal dapat menjadi salah satu alternatif penanda derajat beratnya infeksi COVID-19.
Kebutuhan fasilitas khusus seperti ruang isolasi yang dilengkapi dengan alat hemodialisa (HD) semakin meningkat. Oleh karena itu dibutuhkan panduan untuk rumah sakit (RS) di pusat maupun RS di daerah dalam menangani pasien COVID-19 yang memiliki gangguan fungsi ginjal. Selain itu keterbatasan ventilator membuat pasien yang seharusnya mendapatkan ventilator tidak mendapatkan ventilator.
BACA JUGA: 8 Juta Rupiah/Anak Amerika Serikat Bantuan Tunai dari Pemerintah Selama pandemi Virus Corona
Tatalaksana dan berbagai pengalaman penanganan kasus COVID-19
Alur tatalaksana pasien COVID-19 di London menerapkan prinsip pemisahan pasien. Pasien yang datang akan dipisahkan berdasarkan gejala; 1) Batuk atau demam atau gejala flu lainnya, dan 2)
Tanpa gejala yang disebutkan diatas. Keluarga pasien yang menemani juga akan memiliki ruang tunggu yang bebeda antara keluarga pasien dengan gejala dan tanpa gejala. Setiap petugas triase juga akan melakukan wawancara dan pemeriskaan sederhana dengan jarak 2 meter dari pasien. Prinsip ini telah diterapkan pada hampir seluruh rumah sakit di London. Saat ini pun, beberapa rumah sakit di Jakarta sudah mulai menerapkan pemilahan kasus saat datang ke rumah sakit.
BACA JUGA:Harga Minyak Langsung Melonjak, Setelah Trump Telpon Putin
Pemeriksaan computed topography (CT) scan merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan di London.
Pasien dengan kecurigaan kearah infeksi COVID-19 yang memiliki kondisi hipoksia akan segera diambil swab tenggorok dan dilakukan pemeriksaaan CT scan.
Pada beberapa kasus pasien sehat dengan foto ronsen dada yang bersih, didapatkan gambaran ground glass appearance pada CT scan yang khas dengan infeksi COVID-19.
Berdasarkan hasil pengumpulan kasus-kasus pasien dalam pengawasan (PDP), didapatkan bahwa CT scan memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan real time – polymerase chain reaction (RT-PCR) dalam mendiagnosis infeksi COVD-19 pada perjalanan awal penyakit.
BACA JUGA: Virus Corona Masih Hantui Pergerakan Harga Minyak Dunia
Kekurangan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan merupakan masalah yang tidak hanya dihadapi di Indonesia tapi juga negara-negara lainnya. Dibutuhkan arahan tegas mengenai penggunaan APD seperti N95 maupun hamzat suit, untuk mencegah penularan infeksi kepada petugas kesehatan.
Langkah preventif, diagnostik, dan terapetik dalam manajemen COVID-19
Preventif: Social distancing merupakan kunci utama dalam mencegah terjadinya transmisi infeksi COVID-19.
Karantina wilayah merupakan salah satu alternatif yang dapat dijalankan untuk mewujudkan social distancing.
Penutupan toko dan rumah makan dan hanya membuka tempat penjualan yang esensial sepeti supermarket, dan apotik dapat menjadi alternatif lainnya.
Dibutuhkan keputusan segera oleh pemerintah apabila alternatif yang telah disebutkan tidak dipilih.
BACA JUGA:Kekurangan Kondom Menjulang setelah Penguncian Virus Corona Menutup Produsen Top Dunia
Diagnostik:
Sampai saat ini masih banyak pasien yang belum mendapat informasi mengenai status COVID-19 dirinya setelah 2-3 hari dilakukan swab tenggorok.
Pusat pemeriksaan molekuler COVID-19 harus diperbanyak, salah satunya adalah dengan mengkoordinasikan sebagian besar laboratorium di kota-kota besar dan menentukan alur untuk meningkatkan kapasitas pemeriksaan molekuler dengan menggunakan RT-PCR.
Dibutuhkan pedoman pemeriksaan CT scan pada pasien COVID-19, termasuk diantaranya; indikasi pemeriksaan CT scan, alur pasien masuk kedalam ruangan CT scan, APD yang dibutuhkan di ruangan CT scan, dan jadwal pembersihan ruang CT scan dengan disinfektan secara reguler.
Terapetik (terapi)
Berbagai RS di Indonesia memberikan terapi yang bervariasi pada pasien dengan infeksi COVID. Hal tersebut disebabkan karena belum ada pengobatan yang resmi dikatakan sebagai obat lini pertama. Dibutuhkan sarana komunikasi yang terdiri dari para ahli multidisiplin untuk membahas kasus COVID-19 yang bermasalah.
Gambaran RS Universitas Indonesia sebagai RS rujukan COVID-19 di Depok untuk mengantisipasi kasus komplikasi dengan resiko kematian
RS Universitas Indonesia (RSUI) sedang mempersiapkan diri untuk menjadi RS rujukan COVID-19. Kondisi saat ini sudah ada 300 tempat tidur pasien yang siap menerima pasien PDP atau positif terkonfirmasi COVID-19.
Halaman disamping RSUI dapat dibangun fasilitas RS tambahan untuk menerima pasien PDP atau pasien terkonfirmasi COVID-19. Diperkirakan memiliki kapasitas untuk 900 tempat tidur pasien. Selain itu, RSUI juga memiliki 4 tenda yang direncanakan untuk skrining keluarga atau pengunjung pasien.
TAG#coronavirus, #diskusi covid19
198736628

KOMENTAR