Kembali ke Jati Diri Gotong Royong Hadapi Corona

Hila Bame

Thursday, 26-03-2020 | 23:35 pm

MDN

 

Oleh Aris Heru Utomno

Direktur Sosialisasi, Komunikasi dan Jaringan BPIP

 

Jakarta, Inako

 

Dalam menyikapi situasi pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang belum diketahui kapan akan berakhir, sudah seharusnya kita mulai kembali kepada cita-cita pendiri Bangsa, khususnya presiden pertama RI Soekarno. Dalam pidatonya di hadapan perserta pertemuan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri), Soekarno menyampaikan mengenai pendirian negara Indonesia sebagai negara gotong royong.

 

Dalam pandangan Soekarno, “gotong royong” menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan satu karyo, satu gawe. Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.

 

Semangat gotong royong yang dikemukakan Soekarno sejatinya bukan hal yang asing karena sudah menjadi kearifan lokal masyarakat Indonesia sejak lama seperti tampak pada gotong royong pindahan rumah di Yogyakarta yang disebut Sambatan atau Mappalette Bola di Bugis, Sulawesi Selatan. Soekarno menggali nilai-nilai kearifan lokal tersebut sebagai nilai-nilai mutiara Pancasila dan dasar negara.

 

Sayangnya ketika ancaman COVID-19 sudah di depan mata dan kita semua membutuhkan semangat gotong royong dan tolong menolong menghadapi COVID-19, masih terdapat sikap saling menyalahkan dan pertentangan berdasarkan kepentingan politik golongan, agama dan ras, yang justru berpotensi memecah belah masyarakat. Di media sosial, alih-alih mendepankan semangat persatuan dan gotong royong serta mendahulukan keselamatan rakyat, masih ada sekelompok influencer atau buzzer yang suka memperkeruh suasana dengan narasi-narasi yang mengarah pada adu domba.

 

Padahal kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar penanganan COVID-19 dilakukan dibawah koordinasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan yang dipimpin Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, jelas menunjukkani suatu arahan untuk bergotong-royong antar seluruh pihak terkait. Pelaksanaan kegiatan dilakukan satu visi, memiliki kebijakan yang sama, dan setiap kebijakan-kebijakan yang ada di provinsi semuanya dihitung baik dampak dari kesehatan dan keselamatan rakyat maupun dampak sosial ekonomi yang mengikutinya. Arahnya jelas yaitu keselamatan, penyiapan bantuan sosial, dan memperhitungkan dampak ekonomi.

 

Semua kebijakan dan arahan yang disampaikan Presiden tentunya sudah melalui pertimbangan seksama dan pembahasan bersama dengan mendengarkan masukan dari semua pihak terkait seperti kepala daerah. Karenanya kepatuhan terhadap kebijakan dan arahan Presiden pada dasarnya merupakan bagian dari perwujudan nilai-nilai Pancasila, terutama sila ke-empat yaitu musyawarah mufakat. Karena itu, perdebatan mengenaii perlu tidaknya penerapan kebijakan lockdown menghadapi COVID-19 misalnya, hendaknya tidak perlu dipolitisasi

 

Yang diperlukan saat ini adalah saling bergotong royong, saling menguatkan dan tolong menolong sehinga tidak terjadi kebingungan dan kepanikan di masyarakat. Sudah sekitar seminggu masyarakat dihimbau untuk melakukan social distancing dengan tidak keluar rumah, menghindari kerumunan dan membatalkan kegiatan yang mengumpulkan orang banyak. Namun praktiknya, dengan berbagai alasan, masih banyak anggota dan kelompok masyarakat yang belum peduli dengan daya sebar COVID-19 yang sedemikian cepat secara eksponensial, bertahap dan tiba-tiba, sehingga bertambah banyaknya korban tinggal menghitung hari. Ibarat multi level marketing yang dengan cepat mendapatkan downline, sampai akhirnya ketemu downline yang rentan dan perlu dirawat di Instalasi Gawat Darurat atau Intesive Care Unit dan sebagainya tapi rumah sakit penuh semua karena pasien yang membludak.

 

Contoh ekstrim dari ketidakpedulian sebagian anggota atau kelompok masyarakat untuk bergotong royong atau tolong menolong tampak dari ketidapatuhan untuk melaksanakan himbauan social distancing. Tidak sedikit yang masih suka berkerumun.  Bahkan di Kendari, sebuah keluarga memaksa untuk membongkar mayat  positif COVID-19 yang sudah terbungkus rapat, sebelum mayat tersebut dikuburkan. Akibatnya satu kampung menjadi orang dalam pengawasan COVID-19.    

 

Tenaga medis yang mengurusi pasien COVID-19 sejauh ini telah bekerjakeras, bergotong royong dan tolong menolong, namun kerja keras dan pengorbanan mereka akan sia-sia apabila tidak diikuti gotong royong masyarakat luas.

 

Karena itu, kerjasama dan gotong royong masyarakat menghadapi COVID-19, baik perorangan maupun kelompok merupakan wujud nyata dukungan masyarakat di era modern. Gotong royong bukan sekedar membersihkan lingkungan atau bersama-sama memindahkan rumah seperti masa lalu. Gotong royong di era modern adalah kolaborasi di masyarakat tanpa memandang platform, suku, agama, agama dan ras.

 

Apresiasi layak disampaikan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang antara lain berinisiatif memetakan pola penyebaran COVID-19 agar mudah penanganannya, melakukan penggalangan dana guna memenuhi kekurangan obat-obatan dan peralatan medis di rumah sakit atau uoaya menyediakan kamar-kamar hotel untuk perawatan korban positif COVID-19.. Hal tersebut menunjukkan bahwa semangat gotong royong seperti yang dicita-citakan Soekarno sejatinya masih tetap hidup dan berkembang sebagai kearifan lokal di dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

 

Akhirnya, menyikapi kondisi saat ini dan memaknai kembali cita-cita Soekarno menjadikan Indonesia sebagai negara gorong royong maka kita mesti kembali pada jati diri bangsa dan negara yang nilai-nilainya digali dari kearifan lokal. Karenanya dipandang perlu untuk senantiasa mengedukasi dan membudayakan masyarakat mengenai nilai-nilai gotong royong sebagai kearifan lokal yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia.

 

Edukasi dan pembudayaan mengenai gotong royong diperlukan bukan hanya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara gotong royong, tetapi juga untuk menjawab tantangan perkembangan global pasca COVID-19. Karena seperti kata Yuvak Noah Harari dalam artikelnya di Financial TimesThe World After Coronavirus” “Hari-hari mendatang, kita masing-masing harus memilih mempercayai data ilmiah dan ahli kesehatan, ketimbang teori konspirasi yang tidak berdasar dan politisi yang mementingkan diri sendiri.”

 

 

 

 

KOMENTAR