Pencawapresan Gibran Bentuk Penghinaan Terhadap Intelektual Masyarakat Indonesia

Sifi Masdi

Wednesday, 15-11-2023 | 17:12 pm

MDN
Pengamat Politik Tjoki Aprianda Siregar [inakoran]

 

 

 

Jakarta, Inako

Lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapresnya Prabowo Subianto merupakan pelecehan dan bahkan penghinaan terhadap kecerdasan atau intelektualitas masyarakat Indonesia.

Pernyataan ini disampaikan oleh pengamat Politik Tjoki Aprianda Siregar. Ia mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK)  nomor 90/PUU/XXI/2023 yang meloloskan Gibran menjadi Cawapres merupakan berkat “bantuan tidak kasat mata” pamanya, Anwar Usman, yang saat itu menjadi Ketua MK.

Presiden Joko Widodo dan Anwar Usman [ist]

 

BACA JUGA:  Pengamat Nilai Pencawapresan Gibran Adalah Normalisasi Pelanggaran Hukum

“Fenomena tersebut merupakan pelecehan dan bahkan penghinaan terhadap intelektualitas masyarakat Indonesia, dan siapa pun yang menjadi aktor yang terlibat hingga fenomena itu muncul secara tidak langsung menganggap bodoh publik Indonesia,” kata Tjoki dalam pesan tertulis kepada Inakoran, Rabu (15/11/2023).

Sementara Peneliti Politik BRIN, Firman Noor mengatakan, Presiden Joko Widodo sudah lama terbuai kekuasaan, sehingga merasa dirinya benar dan akan selalu mendapat dukungan.

 

 

 

 

“Kalau satu kekuasaan sedemikian diagungkan, dibela, demikian ditafsirkan selalu secara positif, dibenarkan meski salah, dalam waktu lama, hilang sensitifnya, ada syndrome ketidaksensitifan,“ kata Firman dalam keterangan tertulisnya kepada Inakoran, Rabu (5/11).

Keluarga Presiden Jokowi [ist]

 

 

BACA JUGA: Wajah Demokrasi Buruk Karena Kepentingan Politik Keluarga

Firman khawatir, karena awalnya tidak pernah dikritik, kini Jokowi malah menghabisi balik orang yang mengkritiknya. Jokowi, memiliki inner circle yang punya prinsip ‘Asal Bapak Senang’ yang kemudian kebal terhadap kritik ataupun masukan.

“Ini mengidentifikasikan bagaimana Jokowi melihat kekuasaan, mencerminkan pandangan dia terhadap demokrasi yang tidak menggembirakan,” kata Firman.

Menurut Firman, dengan kondisi yang ada sekarang, kritik akan sulit dibungkam. “Semakin ada aksi-reaksi,  semakin penguasa bersikap tidak sensitif, akan menyemai banyak kalangan bersikap kritis terhadapnya,” sebut Firman.

Dosen Ilmu Politik di Universitas Indonesia ini pun menambahkan, Jokowi masih percaya diri, seolah berada ‘diatas angin’ karena ada kelompok ‘silent majority’ yang dianggap berpihak padanya.

Pasangan Prabowo-Gibran mendapat nomor urut 2 di KPU [ist]


 

BACA JUGA: Soal Polemik MK, Senator Filep: di Tengah Elegi Hukum, Kita Tetap Optimis Masa Depan Hukum Bisa Lebih Baik

“Jokowi merasa secure, atau aman-aman saja. Sejauh kunci yang bisa melengserkan dia bisa tersentuh, ini kayak radio rusak saja. Tetapi tidak powerful, dia masih merasa secure.” tandas Firman.

Telanjangnya manuver politik kekuasaan membuat dukungan terhadap Jokowi pelan-pelan berkurang. Paska putusan MK, sejumlah tokoh nasional dan pegiat demokrasi melontarkan kekecewaan mereka terhadap sikap Jokowi. Yang terbaru adalah pernyataan sikap agamawan Romo Magnis.

“Dan tahun-tahun terakhir dengan dukungan presiden mengebiri KPK. Penguasa tanpa malu mencoba membangun dinasti keluarga dan kekuasaan keluarga. Saya ulangi yang dibilang tadi yang gawat kalau orang tidak melihat bahwa itu tidak beres," ujar Romo Magnis dalam acara bersama para tokoh nasional di Jakarta.

Kekecewaan para tokoh bangsa ini tentu disebabkan karena sejumlah pembajakan demokrasi  dengan memanipulasi hukum lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi jalan bagi putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi bakal calon wakil presiden (bawacapres).

 

 

 

BACA JUGA: Menko PMK dan Kapolri Bareng Tanam  Pohon di Madiun

Drama di MK menunjukkan perekayasaan hukum dengan memanfaatkan intervensi dari pihak penguasa dan mempertontonkan upaya kolusi, nepotisme, dan membangun politik dinasti. Dugaan ini makin jelas setelah Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan memberhentikan Ketua MK Anwar Usman yang telah terbukti melakukan pelanggaran etik yang berat.

Kemudian, penggunaan alat negara oleh Pemerintah, baik dari penegak hukum, militer, hingga sumber daya ekonomi yang ada, untuk menekan pihak yang tidak sejalan, dan bahkan untuk mendukung pasangan bacapres dan bacawapres tertentu. Sehingga netralitas negara dalam pemilu kini dipertanyakan oleh publik.

Krisis Moralitas

Sementara itu, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai situasi demokrasi saat ini khususnya menghadapi tahapan kampanye di Pemilu 2024 semakin mengalami krisis keadaban dan moralitas.

“Situasi ini menimbulkan keresahan apalagi untuk anak anak muda seperti saya di mana diharapkan pemilu bisa melahirkan pemimpin profetik yang bisa mengubah peradaban bangsa semakin lebih baik tetapi faktanya ketika yang harus kita lalui adalah proses hukum yang cacat moral makin menunjukkan ketamakan yang semakin menjadi-jadi,” tegas Neni.

 

BACA JUGA: Majelis Permusyawaratan Rembang (MPR): Kepercayaan Kepada Elit Kian Tipis Jelang Pilpres 24

“Menjelang tahapan kampanye para menteri yang masuk koalisi mulai menggelontorkan program bansos, memangnya indonesia ini terus menerus kondisinya darurat sehingga program program bansos dengan sengaja dilakukan saat masuk tahapan kampanye? Apalagi nanti kan semua hasil pemilu ketika muncul perselisihan sengketa hasil semua ujungnya di MK sementara kita tau saat ini bagaimana kondisi para hakim MK,” tambahnya.

Oleh sebab itu, Neni menilai suara kritis dan panduan moral dari para tokoh bangsa patut selalu digaungkan. Apalagi ketika tahapan pemilu yang tengah berlangsung dan potensi kecurangan yang masif. Hukum dinilai sudah dijadikan alat melanggengkan kekuasaan, semua aturan main diperalat dengan menghalalkan segala cara, yang penting tujuan tercapai.

“Untuk mengontrol jalannya pemilu saya kira saat ini memang kita butuh para muadzin bangsa yang terus menyuarakan secara lantang terkait dengan keresahan yang terjadi dan permasalahan bangsa yang kian terpuruk,” tegasnya.


 


 

KOMENTAR