Wajah Demokrasi Buruk Karena Kepentingan Politik Keluarga

Sifi Masdi

Tuesday, 14-11-2023 | 10:19 am

MDN
Presiden Jokowi dan Iparnya Anwar Usman [ist]

 

 

 

Jakarta, Inako

Manuver politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mencoreng wajah demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau banyak kritik yang ditujukan ke Jokowi dari masyarakat, pegiat hukum dan demokrasi, termasuk pertemuan tokoh nasional di Rembang.

Pernyataan ini disampaikan oleh pengamat Politik dari Citra Institute, Yusa Farchan. “Harus diakui bahwa manuver politik Jokowi yang lebih mengedepankan kepentingan politik keluarganya turut memperburuk wajah demokrasi.” ujar Yusak, Senin  (13/11).

 

BACA JUGA: Majelis Permusyawaratan Rembang (MPR): Kepercayaan Kepada Elit Kian Tipis Jelang Pilpres 24

Ia mengatakan bahwa Skandal Mahkamah Konstitusi (MK), merupakan bukti adanya intervensi pada Putusan 90. Majunya  Putra Sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang didukung oleh Koalisi Indonesia Maju, meski cacat formil, membuat wajah simpatik Jokowi berubah.

“Ada kecenderungan di mana demokrasi kita sudah dibajak oleh kepentingan oligarki,“ kata Yusak.

‘Karpet merah’ yang digelar, justru menimbulkan persoalan. Ada apatisme bahwa Pemilu tidak akan berjalan JURDIL. Meskipun UU memberikan ruang yang longgar bagi praktik politik dinasti, tetapi pelembagaan politik Dinasti melalui prosedur formal demokrasi (pemilu) justru semakin menambah runyam persoalan. “ tambah Yusak.

Dekan FISIP Universitas Sutomo ini menambahkan, sebagai kepala negara, Jokowi seharusnya bisa menjadi garda terdepan dalam mencegah nepotisme. Manuver Jokowi turut menyumbang terjadinya krisis nilai dan etika yang terjadi di lingkaran kekuasaan. Ini yang menjadi keprihatinan kita semua.

 

 

 

 

BACA JUGA: Soal Polemik MK, Senator Filep: di Tengah Elegi Hukum, Kita Tetap Optimis Masa Depan Hukum Bisa Lebih Baik

‘Kerusakan demokrasi’ akibat Putusan MK sudah begitu dalam, namun masih ada harapan bahwa Jokowi akan memperbaiki kebijakannya, memperkuat pilar demokrasi. Di ujung kekuasaannya, Presiden Jokowi harusnya bisa meninggalkan legacy yang baik terkait bagaimana memperkuat pilar-pilar penting demokrasi,” tandas Yusak.

Runtuhnya Peradaban Politik

Sebelumnya, sebanyak 19 tokoh bangsa berkumpul di kediaman KH Ahmad Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus, Minggu (12/11/2023). Mereka menyampaikan ungkapan prihatin atas kondisi demokrasi Indonesia yang terjadi belakangan.

Budayawan Antonius Benny Susetyo yang turut hadir dalam pertemuan tersebut, menuturkan kondisi saat ini yang sarat krisis konstitusi dan demokrasi butuh penyikapan segera yakni dengan mengembalikan politik pada jalan kebudayaan.

"Gus Mus mengusulkan bagaimana kalau sekarang panglimanya adalah kebudayaan. Kalau kebudayaan itu nilai, ada integritas, kejujuran, kepantasan publik, kepatuhan pada moralitas, kepatuhan pada etika. Itu harus dijadikan jalan dalam membangun keadaban berpolitik," terang sosok yang akrab disapa Romo Benny itu.

Politik saat ini dipandang telah bergeser dari yang seharusnya. Ketika politik dimaknai hanya kekuasaan dan ekonomi, maka politik kehilangan keadaban publik. Hal itu mengakibatkan eksploitasi nilai-nilai kemanusiaan dan hilangnya kehilangan martabat manusia.

Keadaban politik tidak memberi ruang pada politik yang menghalalkan segala cara, memanipulasi, kemudian menciptakan ketidakharmonisan, menciptakan situasi yang tidak menyenangkan, dan permainan-permainan yang manipulatif.

“Politik jalan kebudayaan itu mengembalikan politik yang adiluhung, berdasarkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan," ujarnya.

 

 

 

BACA JUGA: Pencawapresan Gibran Cacat Legitimasi Karena Manuver Inkonstitusional

Menurut Yusak, politik saat ini sudah sedemikian jauh dari nilai keadaban. Hal itu terlihat dari konstitusi yang dipermainkan sedemikian rupa. Padahal, konstitusi seharusnya menjadi pengikat dan nilai bersama yang menjadi acuan dalam berpolitik.

"Kita melihatnya ada indikasi, dengan keputusan MK kemarin. Di mana konstitusi itu sudah diingkari. Kalau konstitusi diingkari dan tidak dijadikan pijakan. Runtuhlah peradaban politik itu," tegasnya.

 

Netralitas Negara

Selain itu, Romo Benny juga menyoroti isu netralitas. Menurutnya aparat negara harus bersikap adil dan tidak membiarkan diri diperalat untuk memenangkan satu pihak.

"Aparat sebagai penyelenggara negara harus berlaku adil. Artinya mereka tidak boleh diperalat untuk kepentingan memenangkan pihak tertentu," tegasnya.

Aparat negara dituntut untuk bisa mengambil jarak yang sama dan tidak mengeluarkan peraturan dan kebijakan berat sebelah.

"Netralitas itu butuh partisipasi publik untuk mengawasi. Masyarakat harus aktif. Kita juga berharap KPU dan Bawaslu secara aktif mengawasi tentang keluhan dari publik," sambungnya.

Ia berharap KPU dan Bawaslu juga harus bertindak cepat bila ada sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, bertentangan dengan netralitas, dan nilai-nilai peradaban demokrasi.

“Jangan sampai KPU dan Bawaslu itu membiarkan itu semua terjadi dan seolah-olah diam membisu. Itu yang membuat publik semakin tidak punya harapan. Dia kan harus aktif terlihat untuk pengawasan. Dia dibayar untuk itu,” pungkasnya.

 

 

 

 

 

KOMENTAR