Aksi Teror dan Gunakan  Dokumen  Palsu  Dalam Menguasai Lahan Adat di Lingko Menjerite dan Nerot

Hila Bame

Thursday, 28-01-2021 | 20:33 pm

MDN
Ayam jantan putih dan telur ayam kampung bagian penting dalam ritual adat. Masyarakat Adat Terlaing tengah melangsungkan ritual di Compang mereka di kampung adat Terlaing.

 

Jakarta, INAKORAN

 

Aksi teror dan penggunaan dokumen palsu dalam mengusasi lahan adat di kawasan Pantura, Manggarai Barat, NTT  kian merebak.

Kondisi ini sungguh memprihatinkan  dan dikhawatirkan tanah-tanah para leluhur masyarakat adat kawasan itu habis diseroboti para mafia, demikian rilis Masyarakat Adat Manggarai Barat yang diterima Inakoran.com Kamis (28/1/21). 

 

Aksi para mafia ini bergerak secara massif, merambah tanah-tanah adat, mulai dari Sepang Nggieng, Rareng hingga kawasan Menjerite dan Nerot. Masyarakat Sepang-Nggieng sudah dikuasai mafia dengan menerbitkan sertifikat dengan jumlah fantastik mencapai 563 sertifikat. Semua sertifkat ini tak satu pun dimiliki orang asli Manggarai.

BACA: 

IKI dan Dukcapil Lebak Lakukan Pelayanan KTP Warga dari Rumah ke Rumah Sonsong Industri 4.0

Kondisi yang lebih mengerikan terjadi di Menjerite. Pada tahun 2017, kawasan ini terjadi pertumpahan darah karena sengketa tanah. Tidak berhenti di sini, tahun 2020 ini nyaris terjadi lagi pertumpahan darah di lingko Menjerite dan Nerot.

 

Kejadian akhir tahun 2020 ini dipicu oleh ulah ahli waris DG Turuk, Moses H Fono. Saudara Fono  semena-mena  menghibahkan tanah 20 hektar tanah adat Lancang dan Terlaing ke Kodam Udayana. Masyarakat adat Lancang dan Terlaing marah besar karena saudara Fono ini bukan warga adat dan tidak mempunyai hak atas tanah adat. Nyaris terjadi pertumpahan darah, tetapi para tetua adat menahan diri, meredam emosi masyarakat, ujar Hendrik Jempo, tua gendang Terlaing. “Hampir terjadi paki tambur bobol gong (sirene perang tanding-red),” jelas Jempo lagi.

 

“Ulah para ahli waris DG Turuk ini tak henti-henti meresahkan masyarakat” tambah Jempo. Akhir tahun 2020 lalu, mereka menggunakan dokomen Wangkung 2011 yang penuh rekayasa dan konspirasi  untuk menggagalkan penerbitan  ratusan sertifikat masyarakat adat Terlaing di kawasan Nerot dan Menjerite.

 

Selain kasus di atas,  Saudara Abdullah Duwa warga Rangko, yang memposisikan diri sebagai tua Golo, juga makin runyam masalah tanah di Menjerite. Ia pendatang dan Rangko bukanlah kampung adat, tetapi ia menempatkan diri sebagai Tua Golo? Benar-benar aneh dan tidak masuk akal, jelas Jempo. Diduga, banyak alas hak digunakan oleh Duwa dalam proses penerbitan sertifikat di Menjerite dan sekitarnya.

 

Dengan mengkaji rekam jejak para ahli DG Turuk dengan cara teror sebagaimana terjadi tahun 2008 dan akhir 2020 dan juga menggunakan dokumen Wangkung 2011 yang penuh rekayasa dan knspirasi, maka masyarakat Terlaing dan Lancang menyurati  Badan Pertahanan (BPN) Nasional Manggarai Barat perihal keberadaan para ahli waris DG Turuk di Lingko Nerot dan Menjerite.

 

Surat ke BPN Mabar ini ditanda-tangani oleh  Bone Bola (tua Golo Terlaing), Hendrik Jempo (tua Gendang Terlaing) Theodorus Urus (tua Golo Lancang) Bone Bedu (tokoh adat Lancang) dan Mikhael Antum (tua dusun Lancang).

 

Berikut kutipan surat ke BPN Mabar:

 

 

Para ahli waris DG Turuk yaitu saudara Moses H Fono, Eduardus G W Gunung, Blasius Aman dan Naldo adalah bukan warga adat Terlaing atau Lancang. Mereka, bahkan kedua orang tuanya, berasal dari luar Manggarai Barat.

 

Dalam tradisi adat Manggarai, jika pendatang hidup dalam satu komunitas adat, ia tidak memiliki hak atas tanah adat.

 

Dalam tatanan adat Manggarai, kultur masyarakat adat dilandasi lima dasar utama yaitu memiliki mbaru gendang (rumah adat), compang (mesbah sakral) wae tiku (mata air),   Natas (ruang bermain di depan rumah adat) dan lingko (tanah adat).

 

Para ahli waris DG Turuk yang menggunakan Tua Golo Kampung Rangko, Abdullah Duwa, perlu dijelaskan bahwa Rangko bukan kampung adat, tetapi kampung Nelayan. Sebagian besar warga yang hidup di sini adalah pendatang dan pekerjaan mereka sebagai nelayan. Wilayah garapan mereka di laut dan hanya tinggal di darat. Di Kampng Rangko tidak ada Compang, tidak ada mbaru gendang, dan tidak mempunyai tanah adat.

 

Posisi Saudara Abdullah Duwa di Rangko hanyalah Riang (penjaga). Pekerjaannya sebagai nelayan dan tidak benar jika ia menyatakan diri sebagaiTua Golo.

 

Bapak Abdullah Duwa atau Bapak Semai tidak mempunyai hak untuk mengeluarkan alas hak dalam proses penerbitan sertifikat tanah adat di Menjerite dan sekitarnya. Jika ada sertfikat yang didasari alas hak Abdullah Duwa atau Semai maka sertikat itu  tidak sah.

 

Lingko Menjerite dan Nerot adalah tanah ulayat masyarakat adat Terlaing dan Lancang. Peta tanah ulayat Terlaing sudah diakui oleh para tua adat di tapal batas, pihak pemerintah bahkan pihak Kehutanan Manggarai Barat (peta terlampir). Saudara Abdullah Duwa yang berposisi sebagai Tua Mukang juga sudah menanda-tangani peta ulayat itu. Meski sebagai Tua Mukang memang tidak memiliki kekuatan dalam dokumen peta ulayat itu.

 

Para ahli waris GT Turuk yang menggunakan dokumen dari pertemuan di Wangkung 2011 adalah dokumen rekayasa dan konspirasi. Dengan menggunakan dokumen rekayasa ini ratusan sertifikat masyarakat adat Terlaing terhambat penerbitan di BPN padahal dokumen itu sudah memenuhi persyaratan hingga sudah bayar administrasi ke negra.

 

Para ahli DG Turuk diduga mengadu domba antara masyarakat adat dengan TNI khususnya Komdam Udayana. Bulan Oktober-Desember 2020, terjadi ketegangan luar biasa di wilayah Menjerite dan Nerot dan nyaris pertumpahan darah karena ahli waris DG Turuk, Moses H Fono menyeroboti  tanah adat dan menyerahkan kepada Kodam Udayana. Kondisi tenang setelah TNI mengembalikan  tanah adat ke masyarakat adat Terliang dan Lancang.

 

Rekam jejak para ahli DG Turuk sangat berbahaya. Tahun 2008  dan 2020 nyaris pertumbahan darah di Menjerite.

 

Masyarakat adat Terlaing dan Lancang sudah menyampaikan somasi kepada para ahli waris DG Turuk untuk segera mengosongkan kawasan Menjerite yang mereka kuasai.

 

KOMENTAR