Bilveer Singh: Media Barat Tidak Berimbang Memberitakan Aksi Teror Pelaku Kulit Putih
Jakarta, Inako
Pemberitaan media Barat mengenai peristiwa penembakan oleh pelaku berkulit putih terhadap jama’ah sholat Jum’at di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, dan peristiwa-peristiwa serupa oleh pelaku berkulit putih di Australia dan Amerika Serikat selama dua tahun terakhir tidak berimbang.
Pernyataan ini disampaikan oleh Bilveer Singh, gurubesar Ilmu Politik pada National University of Singapore (NUS), dalam Diskusi Tematik Online yang diadakan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) DKI Jakarta, Sabtu (18/7).
Media Barat diamatinya senantiasa menyebutkan pelaku individu kulit putih yang mengalami gangguan jiwa, stress berat, atau sedang menghadapi masalah keluarga. Media Barat tidak pernah menyebut pelaku sebagai teroris, berbeda halnya apabila pelaku penyerangan adalah seorang Muslim atau anggota kelompok Islam radikal yang selalu mereka berikan atribut sebagai teroris.
Bilveer Singh menyampaikan pula bahwa narasi terorisme di pemberitaan media Barat kerap kali dikaitkan dengan aksi kekerasan yang dilakukan kelompok ekstremis agama (Islam). Narasi tersebut mendominasi di ruang publik seolah mengabaikan kenyataan bahwa kelompok atau individu non-Muslim pernah juga melakukan aksi-aksi kekerasan serupa, termasuk individu-individu yang disebutnya sebagai bagian dari pengusung supremasi kulit putih atas warga kulit hitam dan kulit berwarna.
“Isu kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok yang ingin mewujudkan supremasi kulit putih sesungguhnya sudah lama berlangsung, namun jarang diekspose ke publik apalagi didiskusikan,” kata Bilveer lagi.
Karenanya, publik perlu mengetahui bahwa “kelompok teroris” tak hanya kelompok-kelompok agama yang ekstrim atau radikal, namun juga kelompok yang ingin mewujudkan supremasi kulit putih tanpa disadari khalayak sudah mulai bangkit di beberapa negara Barat. Disesalkannya narasi itu di ruang publik tidak mendominasi.
Menurut Bilveer, jarangnya pembahasan tentang hal itu di media Barat karena tampaknya sejumlah pemimpin negara-negara Barat sengaja mempertahankan label bahwa teroris adalah kelompok agama yang ekstrim.
Bilveer menjelaskan bahwa individu-individu atau kelompok yang mengusung visi supremasi kulit putih memiliki keyakinan rasnya lebih unggul dibandingkan ras-ras lain. Mereka “merasa berhak mendominasi” atas kelompok-kelompok ras yang lain karena melihat “fakta sejarah”. Menurut pemikiran mereka, ras kulit putih telah melakukan kolonialisme dan imperialisme sehingga menguasai sumber daya ekonomi, politik, budaya, dan sosial ras-ras bangsa lain.
Merebaknya pandemi virus Corona atau Covid-19 ke berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Serikat disusul dengan munculnya narasi di Amerika Serikat (AS), yang tampaknya tidak terlepas dari campur tangan Pemerintahan Presiden Donald Trump, yang menyebutkan bahwa “virus tersebut dikirim dari Asia dan dibuat Asia”.
Meski tidak eksplisit menyebutkan, namun yang dimaksud sepertinya dikirim oleh Tiongkok. Narasi selanjutnya yang dibangun adalah “tindakan pengiriman virus dari Asia ini harus direspons dengan keras oleh warga AS”. Secara tidak langsung menurut Bilveer, narasi ini dikhawatirkan dapat mendorong sentimen kebangkiran ras kulit putih di AS.
Kemenangan Trump dalam pemilihan presiden AS diamati Bilveer Singh sebagai kebangkitan warga kulit putih AS, atau wujud “ketidakpuasan” atau “kekecewaan” sebagian warga kulit putih AS, khususnya mereka yang mengusung visi supremasi kulit putih, terhadap terpilihnya Barack Obama yang berkulit hitam sebagai Presiden AS periode sebelumnya. Periode pemerintahan Trump yang cenderung menafikkan perlakuan tidak manusiawi oleh individu kulit putih terhadap individu kulit hitam seperti yang terjadi baru-baru ini dalam kasus polisi memperlakukan warga kulit hitam di Minneapolis disebut Bilveer sebagai indikasi kebangkitan mereka yang mengusung visi supremasi kulit putih.
Bilveer Singh berpendapat, Indonesia sebagai bagian dari Asia Tenggara perlu memperhatikan pergerakan kelompok tersebut supaya pengaruhnya bisa dibendung. Menurut Bilveer, kelompok pengusung ide-ide supremasi kulit putih bisa saja mempengaruhi kelompok-kelompok non-muslim di Indonesia. Terlebih, orang-orang Barat dan Eropa sebagai wisatawan dan ekspatriat mudah masuk ke Indonesia.
Kendati demikian, Bilveer mengingatkan, hal-hal yang disampaikannya tersebut bukan dimaksudkan agar publik Indonesia untuk membenci ras kulit putih, namun semata-mata ingin membuka mata masyarakat.
“Saya mau sharing, namun bukan supaya masyarakat Indonesia membenci ras kulit putih. Saya ingin kita bisa memahami perkembangan yang terjadi yang selama ini mungkin luput dari pengamatan kita, dan yang lebih penting apa bisa kita lakukan untuk mengantisipasi hal tersebut,” pungkasnya.
Sementara itu, Dr. Wawan Hari Purwanto, Deputi VII/Jurubicara Badan Intelejen Negara (BIN) selaku pembicara dalam diskusi yang sama, menjelaskan bahwa radikalisme bisa tumbuh dalam diri individu-individu yang “hatinya kosong, perutnya kosong, dan otak atau pikirannya kosong”. Dalam situasi seperti itu, pemikiran-pemikiran ekstrim dapat dengan relatif mudah mempengaruhi mereka. Tantangan bagi aparat dan kelompok masyarakat yang peduli adalah individu-individu yang telah terpapar paham radikal ini tidak begitu mudah dideradikalisasi.
Wawan selanjutnya berbagi pengalamannya, bahwa pendekatan kekuasaan tidak akan pernah dapat menyadarkan mereka yang terpapar paham ekstrim. Pendekatan yang terbukti lebih cocok dan sejauh ini efektif adalah pendekatan humanisme, yang dilakukan secara informal, kepada mereka sebagai sesama manusia yang sesungguhnya masih punya hati dan rasa kemanusiaan.
Pengamat masalah-masalah kebangsaan, Tjoki Aprianda Siregar, yang juga menjadi moderator Diskusi, ketika diminta pandangannya oleh InaKoran (19/7) menyatakan bahwa sejauh ini sangat kecil kemungkinan individu kulit putih dari Australia, Selandia Baru atau AS melakukan aksi penyerangan terhadap massa di Indonesia, apalagi memperhatikan peristiwa-peristiwa serangan dengan senjata api oleh individu kulit putih selama ini terjadi di negara mereka. Meski tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat terjadi di Indonesia dengan memperhatikan sejarah aksi teror di Indonesia di masa lalu seperti Bom Bali I tahun 2002, Bom Bali II tahun 2005 yang mengakibatkan begitu banyak wisatawan asing meninggal, terutama dari Australia.
Tjoki menyebutkan, mungkin saja anak-anak, keponakan, atau cucu korban menanggung kesedihan yang tidak dapat mereka lupakan hingga kini setelah mereka dewasa, dan malah menumbuhkan rasa dendam, yang dikhawatirkan dimanfaatkan kelompok-kelompok pengusung ide-ide supremasi kulit putih. Diakui bahwa mereka dapat berpura-pura menjadi turis berlibur ke Indonesia untuk melakukan aksinya, namun Tjoki meyakini kinerja aparat keamanan di tanah air saat ini akan dapat mendeteksi mereka sebelum dapat melakukan aksinya.
TAG#Muslim, #Barat, #Teroris, #Tjoki Aprianda Siregar, #Supremasi Kulit Putih
188649511
KOMENTAR