Dedi Mulyadi: Gubernur Konten atau Gubernur Kompeten?

(Oleh: H. Adlan Daie – Analis Politik dan Sosial Keagamaan)
JAKARTA, INAKORAN.com - Apakah Dedi Mulyadi hanya gubernur konten yang piawai membuat konten di media sosial, atau justru gubernur kompeten yang memiliki kekuatan visi, keterampilan teknokratis, dan integritas teruji untuk menjalankan tugas secara baik dan efisien sebagai Gubernur Jawa Barat?
Harus diakui, saat ini Dedi Mulyadi tidak hanya memimpin Jawa Barat, tetapi juga memimpin algoritma digital. Setiap kali membuka media sosial, entah Instagram, TikTok, atau YouTube, wajah yang muncul bukan lagi selebritas, influencer, atau tokoh-tokoh politik nasional, melainkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
Dedi Mulyadi memang tampak terus aktif menggunakan berbagai platform media sosial untuk menampilkan aktivitas kepemimpinannya sejak dilantik pada 26 Februari 2025.
Di Instagram, jumlah pengikut Dedi Mulyadi mencapai 3 juta dengan total 6.683 unggahan. Di YouTube, jumlah pelanggan mencapai 7 juta dengan sekitar 4 ribu video yang diunggah (CNN, 30/4/2025).
Ia mendominasi jagat algoritma digital hingga Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas'ud, dalam forum rapat Gubernur se-Indonesia di Komisi II DPR RI (29/4/2025), menyebut Dedi Mulyadi sebagai gubernur konten—dipersepsi publik sebagai sebuah sindiran terhadap Dedi Mulyadi.
Bahkan Wakil Menteri Perumahan Rakyat, Fahri Hamzah, dalam suatu acara bersama para kepala desa—meskipun tidak menyebut nama—tampak marah-marah mengingatkan khalayak untuk tidak tertipu oleh pemimpin yang dibesarkan media sosial, mewaspadainya sebagai sebuah tipuan politik belaka.
Politik di era rezim politik elektoral adalah tentang citra. Citra tentang pemimpin politik dalam persepsi publik. Citra dapat dibangun melalui komunikasi branding politik di media sosial.
Branding politik, dalam definisi sederhana, adalah proses menciptakan dan mengelola citra politik seseorang dengan tujuan membangun relasi emosional dengan publik (pemilih atau khalayak).
Branding politik jelas penting di era rezim politik elektoral yang semakin kompetitif di tengah arus media sosial yang berlimpah, guna membangun citra pembeda dari lawan atau politisi lain untuk menarik dukungan dan perhatian publik.
Tidak sedikit politisi atau kepala daerah lain melakukan pencitraan seperti Dedi Mulyadi, diunggah ke media sosial seperti masuk ke gang-gang sempit, kawasan kumuh, terjun ke kali kotor, dan menyapa sejumlah pedagang lansia atau anak-anak di pinggir jalan dengan sorotan kamera.
Pertanyaannya, mengapa Dedi Mulyadi begitu besar mendapatkan atensi publik dengan tren positif yang sangat tinggi dibanding pencitraan politisi lain? Apakah ia sekadar piawai bermain konten, atau ada kekuatan lain yang menguatkan branding politiknya di media sosial?
Dalam perspektif penulis, kunci kekuatan branding politik Dedi Mulyadi adalah keberhasilannya menggabungkan elemen-elemen marketing politik dengan meletakkan kekuatan nilai integritas, teladan kepemimpinan, dan maslahat kebijakan dalam strategi komunikasi politik.
BACA JUGA: Dedi Mulyadi dan Konsepsi Zakat Dalam Distribusi Keadilan Bernegara
Dengan kata lain, ia tidak sekadar piawai bermain konten di media sosial untuk mempromosikan diri secara personal, tetapi ia hadir membawa kebijakan-kebijakan yang menggugah ruang publik dan berkaitan langsung dengan kebutuhan maslahat publik.
Di sinilah letak pembedanya. Branding politik dalam konteks Dedi Mulyadi tidak ia tempatkan hanya untuk menciptakan identitas diri yang unik dan membedakan, agar dikenali publik—seperti konsisten mengenakan ikat kepala khas Sunda dalam tampilannya.
Ia tampil dengan kekuatan gagasan dan pesan yang mencerminkan nilai-nilai, visi, dan misi yang diusungnya, sehingga publik mudah mengasosiasikan bahwa Dedi Mulyadi adalah figur politik harapan dan rujukan keteladanan publik.
Artinya, ia tidak sekadar blusukan dalam irama konten yang disorot kamera untuk mendengar berbagai persoalan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan visi yang mendorong gagasan dan terobosan kebijakan hingga membentuk relasi emosional dengan persepsi pemilih.
BACA JUGA: Mulai 2 Mei, Siswa Nakal di Jawa Barat ‘Dididik’ Selama 6 Bulan di Barak Militer
Ia tidak tersandera kepentingan elektoral sesaat dalam merawat citra politik. Ia tidak terbebani oleh kepentingan basis pendukungnya untuk diakomodasi dalam slot-slot komisaris dan direksi di puluhan BUMD milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat, kecuali dalam kerangka maslahat publik.
Ia begitu percaya diri dan cepat mengambil kebijakan besar, misalnya pemutihan tunggakan pajak dan denda kendaraan, atau berani mengambil risiko dengan membongkar vila-vila di daerah resapan air untuk mencegah banjir tahunan di Jawa Barat.
Daya hentak kebijakannya mengubah paradigma kerja birokrasi yang rumit dan cenderung berafiliasi secara politis, menjadi kerja birokrasi yang sat set dan cepat sebagai pelayan publik, tetapi juga dalam proporsi yang berkeadilan—misalnya tentang dana hibah yang mengundang pro dan kontra di ruang publik akhir-akhir ini.
Itulah kekuatan branding politik Dedi Mulyadi yang melampaui efek teritorial daerah yang dipimpinnya, menggema di seluruh Indonesia—hal yang sulit dilakukan oleh pemimpin yang lahir dari pencitraan konten buatan untuk merawat pesona citra politik di ruang publik.
BACA JUGA: Siswa Nakal Mesti Ditangani Psikolog dan Psikiater, Bukan Dikirim ke Barak Militer
Itulah gambaran tentang Dedi Mulyadi, setidaknya dalam perspektif penulis, bahwa ia adalah gubernur yang kompeten, kuat dalam gagasan, cepat dalam terobosan, dan memiliki kemampuan taktis dalam teknokrasi politik dengan integritas teruji sebagai modal keberanian dan keteladanan kepemimpinan.
Ia kompeten sebagai Gubernur Jawa Barat dengan meletakkan aktivitas politiknya dalam konten-konten kreatif sebagai keniscayaan strategi komunikasi politik di era tanpa batas, era media sosial untuk akselerasi pencapaian tujuan pembangunan.
Jadi, kepiawaian memainkan konten di media sosial hanyalah strategi komunikasi politik dalam mengekspresikan kompetensi kepemimpinannya melalui kebijakan-kebijakan yang maslahat bagi publik, meskipun menimbulkan pro dan kontra di ruang publik, bahkan tak jarang bersifat framing seolah-olah Dedi Mulyadi tidak afirmatif terhadap program-program keagamaan.
Tentu, betapapun ia mendapatkan atensi publik yang sangat tinggi, kritik tajam tetap penting terhadap kepemimpinan Dedi Mulyadi. Hal ini bukan sekadar konsekuensi dari sistem demokrasi yang memberi ruang bagi pikiran alternatif, tetapi lebih dari itu, untuk memperluas dimensi maslahat publik dalam setiap kebijakannya.
Wassalam.
TAG#Inakoran, #Dedi, #Jawa Barat, #Integritas
196681386
KOMENTAR