Deflasi 4 Bulan Berturut-Turut: Indikasi Daya Beli Masyarakat Merosot?

Sifi Masdi

Tuesday, 10-09-2024 | 10:30 am

MDN
Ilustrasi belanja  di salah satu ritel modern [ist]

 

 

 

Jakarta, Inakoran

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya deflasi pada periode Mei hingga Agustus 2024, yang berlangsung selama empat bulan berturut-turut. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran bahwa daya beli masyarakat Indonesia melemah dan merosot.

 

Hal ini diungkapkan oleh beberapa ekonom, termasuk Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto. Menurut Eko, deflasi yang terjadi selama empat bulan tersebut merupakan sinyal melemahnya konsumsi rumah tangga, yang menjadi salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.

 

Salah satu indikator yang menunjukkan penurunan daya beli masyarakat adalah lambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Eko Listiyanto menjelaskan bahwa konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,9 persen secara kuartalan (quarter-to-quarter) pada kuartal pertama dan kedua 2024. Pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi COVID-19, di mana konsumsi rumah tangga minimal tumbuh 5 persen.

 

Lebih lanjut, Eko menyoroti bahwa momen Lebaran dan Pemilu, yang biasanya meningkatkan konsumsi masyarakat, justru tidak memberikan dampak signifikan tahun ini.

 


 

BACA JUGA:

Rekomendasi Saham Pilihan: Selasa, 10 September 2024

Gaji Pekerja Bakal Dipotong Lagi untuk Program Pensiun: Apa Urgensinya?

Erick Thohir Siap Setor Deviden BUMN Rp 90 Triliun di Era Prabowo

 


 

"Tren pelemahan ini harus menjadi alarm bagi pemerintah, karena lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga," ujarnya. Dengan melemahnya konsumsi, Eko memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi terganggu jika tidak ada langkah-langkah efektif untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

 

Tanggapan Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pandangan yang berbeda terkait fenomena deflasi ini. Menurutnya, deflasi selama empat bulan berturut-turut tidak bisa secara langsung diartikan sebagai melemahnya daya beli masyarakat. Ia menjelaskan bahwa inflasi inti atau core inflation, yang mencerminkan permintaan barang dan jasa di luar komponen harga pangan dan energi, masih berada di level positif. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan konsumsi masyarakat masih stabil.


 

 

 

"Kalau melihat dari inflasi inti, daya beli masih terjaga. Deflasi ini lebih disebabkan oleh penurunan harga pangan yang memang diupayakan oleh pemerintah," jelas Sri Mulyani.

 

Penurunan harga pangan, lanjutnya, merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang diterapkan untuk mengendalikan inflasi, khususnya di sektor pangan yang sempat mengalami kenaikan harga signifikan, seperti pada beras akibat dampak El Nino.

 

Sri Mulyani juga menegaskan bahwa deflasi yang disebabkan oleh penurunan harga pangan sebenarnya adalah tren positif. Pemerintah memang sengaja mengupayakan stabilisasi harga pangan untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah yang rentan terhadap kenaikan harga barang kebutuhan pokok.

 

"Jika deflasi terjadi karena harga pangan turun, itu adalah hal yang baik. Pemerintah tetap waspada terhadap potensi inflasi ke depan, namun untuk saat ini inflasi inti masih dalam kondisi yang baik," tambahnya.

 

Meskipun demikian, pemerintah tetap memantau pergerakan inflasi ke depan. Situasi global, perubahan cuaca, dan dinamika harga komoditas internasional menjadi faktor-faktor yang akan terus diperhatikan untuk memastikan stabilitas ekonomi di Indonesia.

 

 

KOMENTAR