Derita Nasabah BPR dan Tanggung Jawab pemimpin

Hila Bame

Monday, 15-05-2023 | 10:28 am

MDN

 


Oleh : H. Adlan Daie
Pemerhati pollitik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Dalam pandangan moralitas politik Imam Al Ghazali dalam kitabnya "Ihya Ulumudin", kitab sangat terkenal di pesantren pesantren NU dijelaskan bahwa "rakyat rusak karena pemimpinnya rusak, pemimpin rusak karena ulamanya rusak", ,berkelindan dan saling berkait satu sama lain dalam sebuah sistem sosial.


Penulis meletakkan posisi para nasabah BPR KR dalam konstruksi pandangan moralitas politik Imam Al Ghazali di atas adalah rakyak dirugikan dan "dirusak" harapannya, tak berdaya menuntut dana tabungan dan "deposito" hak milik mereka sendiri yang tersandra di lembaga keuangan sah milik pemerintah daerah akibat rusak dan minusnya tanggung jawab pemimpin.


Dalam sistem politik demokratis pemimpin adalah pejabat eksekutif, legislatif dan partai politik. Mereka rusak atau dalam diksi Daniel Dhakidie disebut "defisit akuntabilitas" dan minus tanggung jawab politik karena rusaknya Ulama. Dalam konteks ini ulama adalah mencakup di dalamnya tokoh agama, publik figur , pers dan media publik. Mereka abai mengontrol prilaku dan kebijakan pemimpin pemimpin politik.


Prof. Dr. Haedar Nasir Ketua Umum PP Muhammadiyah membaca kelindan kerusakan sistemik dalam konstruksi model sosial di atas dengan merujuk pada tafsir al qur an surat Al  Isra", ayat 16 - mereka adalah termasuk golongan   "Al.Muthrafun", yakni para elite dan pemimpin politik "ugal ugalan", pemimpin minus dan defisit "akal sehat politik" tapi surplus "akal akalan politik".


Pemimpin politik  baik eksekutif, legislatif dan institusi partai politik dalam sistem demokrasi hadir dan dipilih bukan untuk "memusuhi masa lalu" kecuali dalam sistem khilafah dimana pergantian rejim "kekhilafahan" memang dibangun untuk dendam menghancurkan rejim sebelumnya. Ini tipe pemimpin primitif dalam perspektif  "nation state", negara bangsa modern. 


Sistem politik kita tegas tegas menolak sistem khilafah tersebut. Sistem politik kita adalah sistem demokrasi dibangun di atas prinsip "continuity and change", keberlanjutan dan perbaikan. Inilah sistem politik beradab menghargai karya penduhulu yang baik, membuka opsi perbaikan ke depan dan menjamin hak hak warga negara di bawah otoritas politiknya.


Dalam kesadaran sistem politiik demokratis inilah tidak ada argument hukum apapun dan atas nama apapun dan siapa pun untuk menyandra dana nasabah milik mereka yang dituntut berkali kali  dalam unjuk rasa mereka.


Karena itu tuntutan para nasabah tidak boleh dibentur benturkan dengan alasan kebutuhan alokasi dana untuk infra struktur publik
Cara ini adalah the real politik adu domba menghadap hadapkan nasabah dengan rakyat.


Pertimbangan elektoral politik dan tukar tambah kepentingan sehingga  para pemimpin politik memilih "ogah" dan minus tanggung jawabnya membela nasabah hanyalah watak politisi yang pantas dihukum tidak dipilih kembali dalam pileg dan pilkada 2024.


Di sinilah urgensi penting posisi ulama (tokoh agama, publik figur, pers, cendekiawan) dalam sistem sosial politik demokratis. Mereka adalah pelita penuntun untuk "mengingatkan" para pemimpin politik tegak lurus dalam prinsip kepemimpinan semata mata demi maslahat publik. 


Dalam prinsip kepemimpinan Imam Syafie disebutkan "tasharruful imam 'ala al roiyah manutun bil maslahah", pemimpin hanya dianggap pemimpin jika pikiran dan tindakan politiknya hanya demi maslahat publik dan tidak merugikan rakyat yang dipimpinnya.


Dengan kata lain jika bukan itu tugas pemimpin buat apa mereka dipilih selain hanya buang buang dana rakyat untuk membiayai "pesta" politik pemilihan mereka? 
 

 

TAG#ADLAN, #BPR, #BANK, #FINANSIAL

161725351

KOMENTAR