Dr. Tintin Surtini: Prihatin Berita Mafia Tanah yang Sudutkan Notaris dan PPAT
Jakarta, Inako
Pemberitaan Kasus Mafia Tanah sangat gencar dilakukan oleh sejumlah media nasional, terlebih setelah kasus yang menimpa artis yang mengaku “DIKERJAIN” mafia Tanah, sangat memprihatinkan karena menyudutkan Notaris dan PPAT.
Hal ini diungkapkan pengamat Hukum Agraria, Dr. Tintin Surtini, SH., MH., M.KN, dalam keterangan tertulis yang diterima Inakoran.com, Jumat (19/11/2021).
BACA JUGA: Info Rupiah Hari Ini, 19 November 2021
Terkait dengan istilah Mafia Tanah, Tintin Surtini menjelaskan pengertian istilah tersebut. Ia mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan Mafia Tanah adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang saling bekerja sama untuk merebut tanah orang lain.
Modus yang biasa dilakukan oleh mafia tanah: pemalsuan dokumen (untuk hak); mencari legalitas di pengadilan; -penduduk legal/tanpa hak (wilde occupatie); rekayasa perkara; kolusi dengan oknum aparat untuk mendapatkan legalitas; kejahatan korporasi seperti penggelapan dan penipuan; pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah; serta hilangnya warkah tanah atau hilangnya buku tanah di BPN.
BACA JUGA: Surat Terbuka Masyarakat Adat Terlaing, Desa Pota Wangka, Boleng, Labuan Bajo
Menurut Tintin, mafia tanah sendiri tentu bisa dikategorikan ke dalam Kasus Pertanahan yang harus diselesaikan sampai dengan tuntas. Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Penanganan Dan Penyelesaian Kasus Pertanahan Pasal 1 angka:
1. Kasus Pertanahan yang selanjutnya disebut Kasus adalah sengketa, konflik, atau perkara tanah yang disampaikan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya untuk mendapatkan penanganan dan penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Sengketa Pertanahan yang selanjutnya disebut Sengketa adalah perselisihan tanah antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.
3. Konflik Pertanahan yang selanjutnya disebut Konflik adalah perselisihan tanah antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.
4. Perkara Pertanahan yang selanjutnya disebut Perkara adalah perselisihan tanah yang penanganan dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.
BACA JUGA: Tidak ada Kemerdekaan Petani Tanpa Reforma Agraria
Dalam berbagai kesempatan Menteri ATR/Kepala BPN Bapak Dr. Sofyan A. Djalil, S.H., M.A., M.ALD, mengatakan bahwa MAFIA TANAH sudah banyak masuk ke orang BPN, Notaris dan PPAT atau Aparat Penegak Hukum dan Pengadilan.
“Menyikapi statement tersebut tentu yang disebut dalam statement harus menyikapinya dengan POSITIF THINKING, dengan cara melakukan koreksi diri dan selalu menjalankan jabatan dengan baik,” tegas Tintin.
Terkait dengan marak pemberitaan mafia tanah belakangn ini, Prof. Nurhasan Ismail (Guru Besar Hukum Agraria UGM) menyebutkan 7 (tujuh) Penyebab Munculnya Mafia Tanah: (1). Administrasi pertanahan belum terintegrasi; (2). tanda bukti hak atas tanah belum tunggal; (3). Sikap abai pemilik terhadap sertifikat; (4). kebijakan pemberian hak atas tanah bersifat liberal dan pengawasan lemah; (5). berakhir atau hapusnya hak atas tanah belum sistematis; (6). tingginya tingkat persaingan antar notaris/PPAT; dan (7). lemahnya profesionalisme penegak hukum.
Menurut Tintin, dalam kaitannya dengan keterlibatan Notaris atau PPAT dalam Kasus Mafia Tanah, orang haris melihat dengan kacamata yang objektif, karena Proses Peralihan Hak Atas Tanah pasti akan melibatkan PPAT atau Notaris.
BACA JUGA: Daftar Masalah Agraria di Labuan Bajo, Ini Kata Kementerian Agraria
“Akan tetapi tentu harus hati-hati dalam memberikan PENGHAKIMAN bahwa PPAT terlibat atau Notaris terlibat, apalagi sebelum dilakukan pemeriksaan. Kalau hanya berdasarkan asumsi sungguh ‘tidak tepat’ dan ‘zholim’. Apalagi pemberitaan oleh media yang dilaporkan oleh wartawan,” tambah Tintin.
Sebagaimana difahami wartawan mempunyai kemerdekaan dalam menjalankan profesinya. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 ayat (3) UU Pers). Ini berarti pers tidak dapat dilarang untuk menyebarkan suatu berita atau informasi jika memang hal tersebut berguna untuk kepentingan publik.
Lebih jauh Dr. Tintin mengatakan, bahwa dalam mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Ini berarti kemerdekaan pers itu tidak tanpa batas. Ada hal-hal yang membatasinya yang perlu diperhatikan oleh pers dalam memuat berita. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat (1) UU Pers). Termasuk didalamnya tentu tidak boleh melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Asas presumption of innocence, tegas Tintin, merupakan suatu cita-cita atau harapan agar setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan dianggap tidak bersalah, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun dalam kenyataannya, asas hukum itu tidak selalu dapat diterapkan.
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 selanjutnya disebut sebagai UU Kekuasaan Kehakiman). Ketentuan ini, dikenal dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), yang menginginkan agar setiap orang yang menjalani proses perkara tetap dianggap sebagai tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannya,” pungkasnya.
KOMENTAR