Guru Besar UI: Netralitas Hanya Slogan Belaka dan Publik Sadari itu

Saverianus S. Suhardi

Thursday, 30-11-2023 | 10:24 am

MDN
Guru Besar Antropologi Hukum Sulistyowati Irianto saat ditemui di Sekolah Tinggi FIlsafat (STF) Driyarkara pada Senin (27/11/2023). [Foto: Inakoran]

 

 

Jakarta, Inakoran.com

Seruan pemerintah untuk setiap aparat negara agar netral di pemilihan presiden mendatang hanya slogan dan kesadaran palsu belaka. 

BACA JUGA: Ganjar Dapat Buku dari Uskup Merauke Berjudul “Belajar Mencintai Papua”

Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto saat ditemui di Jakarta pada Senin (29/11/2023).

Prof Sulis awalnya menjelaskan persoalan politik yang sedang kita hadapi saat ini, terutama terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Putusan ini melanggar etika karena ada persoalan nepotisme dan dinasti politik di dalamnya.

“Putusan itu (MK) sungguh-sungguh melanggar etika, karena ada persoalan nepotisme dan dinasti politik di dalamnya,” terang Prof Sulis.

Selain itu, putusan MK juga melanggar hukum karena ditambahkan klausul yang baru.

Klausul itu menyebut setiap calon presiden-wakil presiden harus berusia 40 tahun, kecuali yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

“Orang yang berkepentingan untuk diperjuangkan dengan putusan itu, bisa diperjuangkan. Kita sudah tahu siapa,” jelas peraih Cendikiawan Berdedikasi' dari Kompas tahun 2014 itu.

Prof Sulis melanjutkan, persoalan terus bergulir, hingga pemerintah menyerukan Pemilu harus netral, aparat negara diancam akan diganti jika tidak netral.

“Tetapi kenyataan menunjukkan hal yang sama sekali berbeda. Netralitas itu hanya slogan, bentuk kesadaran palsu kepada publik,” jelas dia.

Namun, Prof Sulis menilai publik sudah cerdas dan mengetahui bahwa netralitas itu tidak ada.

 

KOMENTAR