Hadirkan Prof Stepehn B. Bevans, STFK Ledelero Gelar Simposium Internasional

Binsar

Monday, 09-09-2019 | 04:46 am

MDN
Prof. Dr. Stephen B. Bevans. [dokumentasi kampus]

Laporan Jean Loustar Jewadut, Mahasiswa STF Ledalero, Maumere Flores

Maumere-NTT, Inako

Rabu, 04 September 2019, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledelero mengadakan simposium internasional hari pertama. Simposium internasional ini diadakan dalam rangka menyongsong perayaan puncak 50 tahun STFK Ledalero pada Minggu, 08 September 2019.

Simak Video InaTV jangan lupa "klik Subscribe and Like" hadirkan Terang Untuk Indonesia Hebat.

 

Simposium internasional ini akan terjadi selama tiga hari sampai dengan Jumat, 06 September 2019 yang dihadiri oleh para peserta dari kalangan masyarakat umum dan mahasiswa yang sudah melakukan registrasi di bagian sekretariat STFK Ledalero.

Pada hari pertama simposium internasional ini, STFK Ledalero menghadirkan keynote speaker pertama yaitu Prof. Stephen B. Bevans, seorang Guru Besar pada Catholic Theological Union (CTU) di Chicago, USA.

Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, P. Dr. Otto Gusti Madung, dalam kata sambutannya menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah dengan susah payah bekerja untuk menyukseskan pelaksanaan simposium internasional dan berharap agar para peserta simposium internasional memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru yang berguna bagi progresivitas bangsa dan Gereja.

Kepada para mahasiswa, P. Dr. Otto Gusti Madung mengharapkan agar para mahasiswa mampu menjadikan filsafat dan teologi sebagai ilmu yang terbuka untuk berdialog dengan ilmu-ilmu lain. “Filsafat dan teologi mesti menggunakan pendekatan interdisipliner dalam merefleksikan segala sesuatu di dalam kehidupan ini”, harap Ketua STFK Ledalero.

Kegiatan simposium internasional dibuka secara resmi melalui pemukulan gong sebanyak tiga kali yang dilakukan oleh P. Dr. Lukas Jua, SVD, Provinsial SVD Ende. Pada hari pertama simposium internasional ini juga, dilaksanakan peluncuran dua buah buku yaitu buku kenangan 50 tahun STFK Ledalero yang diurus oleh P. Juan Orong, SVD dan buku kumpulan artikel ilmiah yang ditulis oleh beberapa penulis dalam rangka 50 tahun STFK Ledalero yang diedit oleh Rm. Dr. Mathias Daven, Pr dan P. Dr. Georg Kirchberger, SVD. Setelah resmi diluncurkan, P. Juan Orong, SVD dan Rm. Dr. Mathias Daven, Pr memberikan kedua buku tersebut kepada Prof. Bevans, Uskup Sorong (Mgr. Hilarion Datus Lega), Pater Provinsial SVD Ende, Pater Ketua Yayasan St. Paulus Ende, perwakilan alumni, dan perwakilan mahasiswa STFK Ledalero.

 

P. Dr. Otto Gusti Madung, SVD (Ketua STF Ledalero) [ist]

 

Paus Fransiskus dan Inkulturasi

Simposium internasional pada hari pertama menghadirkan Prof. Stephen B. Bevans sebagai keynote speaker pertama yang berbicara tentang Paus Fransiskus dan Inkulturasi. Kegiatan pemaparan materi dan diskusi dimoderatori oleh P. Drs. Alfons Mana, SVD dan menghadirkan dua penanggap terhadap paparan Prof. Bevans yaitu P. Dr. Leo Kleden, SVD yang memberikan tanggapan dari perspektif filsafat hermeneutik dan P. Dr. John Mansford Prior, SVD yang memberikan tanggapan dari perspektif teologi kontekstual dan misiologi.

Dalam paparannya, Prof. Bevans menegaskan tentang komitmen Paus Fransiskus untuk merangkul inkulturasi sebagai sebuah cara berteologi dan cara menyajikan ajaran Gereja dalam dunia dewasa ini. Untuk membuktikan komitmen Paus Fransiskus dalam merangkul inkulturasi, Prof. Bevans mengulas secara terperinci tiga dokumen utama Paus Fransiskus yaitu Evangelii Gaudium, Laudato Si’, dan Amoris Laetitia dan membuat komentar singkat atas Motu Proprio “Magnum Principium” dan perjalanan Paus Fransiskus ke Myanmar pada tahun 2017.

Dalam Evangelii Gaudium, berdasarkan analisis Prof. Bevans, Paus Fransiskus memproklamiskan sebuah pertalian yang kuat antara kebutuhan Gereja untuk memaklumkan Injil dan cara Gereja melakukannya, yakni dengan sungguh-sungguh memperhatikan konteks budaya tertentu. Semua orang Kristen memiliki tugas untuk melancarkan karya evangelisasi. Kesalehan populer yang hidup dalam suatu masyarakat dengan konteks budaya tertentu, menurut Paus Fransiskus, mesti menjadi sebuah sumber teologi, di samping sumber Alkitab dan tradisi Gereja.

 

Paus Fransiskus [ist]

 

Dalam Laudato Si’, Paus Fransiskus berusaha membahas kelestarian ekologis dengan menggunakan metode inkulturasi. Tiga hal yang mesti selalu ada dalam metode inkulturasi, menurut Paus Fransiskus, adalah melihat, menilai, dan bertindak. Pada awalnya, Paus Fransiskus mengajak seluruh umat beriman untuk membuka mata dan melihat fakta yang terjadi di bumi. Setelah melihat, Paus Fransiskus coba menilai fakta krisis ekologi yang terjadi dengan bertolak dari refleksi biblis tentang penciptaan. Pada tahap akhir, Paus Fransiskus mengajak semua umat beriman dari konteks budaya masing-masing coba mengembangkan sebuah teologi ekologi yang integral yang didasarkan pada tradisi Kristen.

Dalam Amoris Laetitia, Paus Fransiskus menegaskan tentang pentingnya sikap berani untuk mengambil risiko sebagai syarat untuk melakukan inkulturasi. Dokumen ini memberikan gambarang yang jelas tentang Allah yang mengasihi manusia tanpa syarat apapun dan kasih-Nya itu bersifat kekal. Gereja mesti mengambil bagian dalam kasih Allah itu. Paus Fransiskus menulis: “jalan Gereja tidaklah menghukum siapapun selamanya; tetapi mencurahkan rahmat Allah bagi semua yang memintanya dengan hati tulus” (AL 296).

Dalam Magnus Principium dan perjalanannya ke Myanmar, Paus Fransiskus tetap memegang teguh komitmennya untuk merangkul inkulturasi dalam evangelisasi. Di Myanmar pada tahun 2017, Paus Fransiskus menunjukkan keberpihakannya yang total terhadap kelompok manusia yang sangat menderita karena menurutnya Allah senantiasa hadir dalam diri mereka.

P. Dr. Leo Kleden, SVD dalam tanggapannya terhadap paparan Prof. Bevans menegaskan tentang perubahan dari Gereja konvensional ke Gereja misionaris. Gereja misionaris adalah Gereja yang terus menerus melakukan karya evangelisasi dengan merangkul secara harmonis inkulturasi atau berangkat dari konteks tertentu. Dalam hal ini, konteks menjadi salah satu sumber berteologi sehingga lahirlah teologi dengan pendekatan kontekstual. Senada dengan P. Dr. Leo Kleden, SVD, P. Dr. John Mansford Prior, SVD juga menegaskan bahwa metode inkulturasi Paus Fransiskus mempunyai ciri holistik dan integral. Inkulturasi, menurut beliau, tidak pernah dapat dipisahkan dari dialog dengan Islam dan tradisi-tradisi iman lainnya dan juga dialog dengan situasi glokal (global dan lokal). Dalam dialog dengan situasi glokal, hibriditas tidak bisa dielakkan, tetapi hegemoni mesti ditantang. Artinya, kebudayaan global tidak boleh menindas kebudayaan lokal dan kebudayaan lokal tidak boleh menolak kebudayaan global tanpa alasan rasional yang kuat.

 

P. Dr. Leo Kleden, SVD [ist]

 

“Inkulturasi tidak saja berhubungan dengan tradisi iman agama tertentu, tetapi juga inkulturasi berarti berdialog dengan alam. Paus Fransiskus menunjukkan hal ini melalui salah satu dokumennya yaitu Laudato Si’, tegas P. Dr. John Prior, SVD. Dalam analisis P. Dr. John Prior, SVD juga, Paus Fransiskus lebih tepat menghayati aliran teologi rakyat karena selain karena dia adalah Paus sederhana, dia juga memiliki kedekatan personal dengan orang-orang miskin.

Siapa Subjek Teologi?

Pemaparan materi yang diberikan oleh Prof. Bevans dan tanggapan yang diberikan oleh P. Dr. Leo Kleden, SVD dan P. Dr. John Prior, SVD memancing antusiasme para peserta simposium internasional untuk mengajukan pertanyaan. Siapa yang menjadi subjek teologi? Kalau subjeknya adalah Allah yang menginkardinasikan diri-Nya dalam diri Yesus, maka hanya ada satu teologi sehingga sulit melahirkan teologi kontekstual. Di manakah peran manusia dalam teologi?

Menanggapi pertanyaan tersebut, Prof. Bevans menegaskan bahwa memang benar Allah yang kemudian menginkardinasikan diri-Nya dalam diri Yesus adalah subjek utama teologi. Namun, Allah sebagai pribadi yang transenden sekaligus imanen mesti selalu didekati oleh manusia sebagai pribadi yang imanen. Ketika manusia dengan segala keterbatasannya berusaha mendekati dan mengenal Allah, maka manusia turut menjadi subjek teologi. Tidak ada manusia di luar konteks. Setiap manusia lahir dari dan dibesarkan dalam sebuah konteks tertentu. Konteks budaya dan agama tertentu bisa menjadi salah satu sumber berteologi bagi manusia yang menjadi salah satu subjek teologi.

Hubungan Kecerdasan, Keberanian, dan Kekudusan

Menggunakan konteks sebagai salah satu sumber teologi selalu melibatkan kecerdasan, keberanian, dan kekudusan. Berdasarkan pengalaman pastoral salah seorang peserta simposium internasional, dia melihat kemiskinan keberanian di kalangan para pemimpin Gereja. Kepada P. Dr. Leo Kleden, SVD, Rm. Luis Jawa, Pr, bertanya tentang bagaimana hubungan antara kecerdasan, keberanian, dan kekudusan?

Dari perspektif filsafat, P. Dr. Leo Kleden, SVD menegaskan bahwa filsafat bermula dari sapere aude (berani berpikir sendiri). Berpikir berarti mencari kebenaran. Orang yang setia mencari kebenaran dan menunjukkan otentisitas hidup, menurut P. Dr. Leo Kleden, SVD, dapat dikatakan sebagai orang kudus. Orang kudus adalah orang yang mencintai kebenaran dan selalu menunjukkan keaslian hidupnya kepada semua orang. Orang kudus bukanlah orang yang mengimitasi hidup orang lain.

 

 

KOMENTAR