Harga Minyak Dunia Naik Tipis: Dampak Konflik Timur Tengah

Sifi Masdi

Monday, 09-12-2024 | 12:57 pm

MDN
Ilustrasi kilang minyak [ist]


 

 

 

Jakarta, Inakoran

Harga minyak dunia mengalami kenaikan tipis pada Senin, 9 Desember 2024, di tengah meningkatnya ketegangan di Timur Tengah setelah pemberontakan yang menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Meskipun ada ketegangan geopolitik, kekhawatiran akan lemahnya permintaan dari China tetap membayangi pasar minyak.

 

Dilaporkan oleh Reuters, harga minyak mentah Brent naik sebesar 22 sen, atau 0,3%, menjadi US$ 71,34 per barel pada pukul 0140 GMT. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami kenaikan serupa, naik 22 sen menjadi US$ 67,42 per barel. Kenaikan ini terjadi meskipun minggu lalu Brent mengalami penurunan lebih dari 2,5%, dan WTI turun 1,2%.

 

Pemberontakan di Suriah yang mengakibatkan tergulingnya Presiden al-Assad menambah lapisan ketidakpastian politik di kawasan yang sudah bergejolak ini. Ketidakstabilan baru di Timur Tengah sering kali berdampak pada harga minyak global, dan perkembangan ini memberikan dukungan bagi pasar minyak.

 

"Perkembangan di Suriah telah menambahkan lapisan ketidakpastian politik baru di Timur Tengah, memberikan dukungan terhadap pasar minyak," ungkap Tomomichi Akuta, ekonom senior di Mitsubishi UFJ Research and Consulting.

 


 

BACA JUGA:

Harga Emas Global Naik: Dampak Rencana The Fed Turunkan Suku Bunga

Saham AADI dan GOTO Naik Signifikan di Awal Pekan

Harga Minyak Dunia Turun: Pasokan Masih Surplus

Harga Minyak Naik Tipis di Tengah Dinamika Global

 


 

Permintaan dari China

Di sisi lain, kekhawatiran akan lemahnya permintaan dari China juga menjadi perhatian utama. Saudi Aramco, eksportir minyak mentah terbesar di dunia, mengumumkan pemangkasan harga minyak untuk pembeli Asia pada Januari 2025 ke level terendah sejak awal 2021. Langkah ini mencerminkan penurunan permintaan dari China, yang merupakan importir minyak terbesar di dunia.

 

Minggu lalu, OPEC+ memutuskan untuk menunda peningkatan produksi minyak selama tiga bulan hingga April 2025 dan memperpanjang pemotongan produksi hingga akhir 2026. Meskipun OPEC+ bertanggung jawab atas sekitar setengah dari produksi minyak dunia, perlambatan permintaan global—terutama dari China—serta meningkatnya produksi di negara lain telah memaksa organisasi ini untuk beberapa kali menunda rencana mereka.

 

Sementara itu, jumlah rig minyak dan gas yang aktif di Amerika Serikat mencapai angka tertinggi sejak pertengahan September, menunjukkan adanya peningkatan produksi dari produsen minyak mentah terbesar dunia. Ini menjadi faktor tambahan yang berpotensi menekan harga minyak dalam waktu dekat.

 

 

 

 

KOMENTAR