Harga Minyak Mentah Bergerak Datar di Tengah Ketidakpastian Kebijakan Tarif AS

Sifi Masdi

Wednesday, 16-04-2025 | 10:38 am

MDN
Ilustrasi kilang minyak [ist]

 

 

 

Jakarta, Inakoran

Harga minyak mentah bergerak mendatar pada perdagangan Selasa (15/4/2025), mencerminkan sikap wait-and-see dari para investor terhadap dinamika kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang kerap berubah. Ketidakpastian ini memicu kekhawatiran atas prospek pertumbuhan ekonomi global dan, pada akhirnya, permintaan minyak dunia.

 

Berdasarkan laporan Reuters, harga minyak Brent turun sebesar 21 sen atau 0,3% menjadi US$64,67 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) juga melemah 20 sen atau 0,3% ke level US$61,33 per barel.

 

Ketidakkonsistenan kebijakan tarif AS menjadi sumber utama keresahan pasar. Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bahkan memangkas proyeksi permintaan minyak dunia, seiring meningkatnya risiko perlambatan ekonomi akibat perang dagang.

 

Hal serupa dilakukan oleh Badan Energi Internasional (IEA) pada Selasa (15/4), yang merevisi turun proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global tahun 2025 ke level terendah dalam lima tahun terakhir. Ketidakpastian ini juga mendorong sejumlah lembaga keuangan besar seperti UBS, BNP Paribas, dan HSBC untuk menurunkan proyeksi harga minyak.

 


BACA JUGA:

Harga Minyak Menguat Tipis di Tengah Negosiasi Nuklir Iran

IHSG Dibuka Menghijau, Naik 0,15% ke Level  6.451,54 

Harga Emas Antam Naik Rp 20.000 Per Gram: Rabu (16/4/2025)

Goldman Sachs Perkirakan Harga Minyak Terus Turun Hingga 2026: Apa Penyebabnya?


 

"Jika perang dagang memburuk, skenario terburuk kami adalah resesi mendalam di AS dan hard landing di China. Dalam kondisi itu, harga Brent bisa jatuh ke kisaran US$40–60 per barel dalam beberapa bulan ke depan," ujar Giovanni Staunovo, analis energi UBS.

 

Sejak awal bulan April, harga minyak telah terkoreksi sekitar 13% akibat kombinasi sentimen negatif dari kebijakan tarif dan peningkatan pasokan dari OPEC+, termasuk Rusia.

 

Meski begitu, pernyataan Trump pada Senin bahwa ia tengah mempertimbangkan perubahan tarif 25% atas impor mobil dari Meksiko dan negara-negara lain sempat memberikan sedikit angin segar bagi pasar.

 

Namun, inkonsistensi masih menjadi masalah. “Pemerintah AS mengumumkan berbagai kebijakan tarif yang saling bertentangan—mulai dari membebaskan produk elektronik, kemudian menyebut kebijakan itu sementara, hingga kini mempertimbangkan perubahan tarif mobil,” tulis analis dari Gelber and Associates.

 

Di dalam negeri, para eksekutif bank di AS memperingatkan bahwa ketidakpastian tarif dapat menekan belanja konsumen, yang merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi AS.

 

Data terbaru menunjukkan harga impor AS turun tak terduga pada Maret, dipicu oleh penurunan harga produk energi. Hal ini mengindikasikan bahwa tekanan inflasi mulai mereda, bahkan sebelum tarif baru diberlakukan. Namun, sebagian analis mengingatkan bahwa tarif justru berisiko memicu inflasi, yang dapat menyulitkan Federal Reserve (The Fed) untuk menurunkan suku bunga.

Kebijakan suku bunga yang tinggi, meski bertujuan meredam inflasi, bisa berdampak negatif pada daya beli dan permintaan energi.

 

Meski Trump mendorong eksplorasi minyak domestik, Administrasi Informasi Energi AS (EIA) memproyeksikan produksi minyak AS akan mencapai puncaknya pada 2027 di level 14 juta barel per hari, lalu stabil sebelum mulai menurun tajam menjelang akhir dekade.

 

Sementara itu, pelaku pasar menantikan rilis data stok minyak dari American Petroleum Institute (API) pada Selasa malam, serta data resmi dari EIA pada Rabu. Analis memprediksi penarikan stok sekitar 1 juta barel selama pekan yang berakhir 11 April, jauh lebih rendah dibandingkan penambahan 2,7 juta barel pada periode sama tahun lalu dan rata-rata 4,2 juta barel dalam lima tahun terakhir (2020–2024).


 

KOMENTAR