IHSG Menguat Setelah Dapat Sentimen Positif dari Bursa Wall Street

Sifi Masdi

Saturday, 27-07-2019 | 08:50 am

MDN
Perdagangan di Wall Street [ist]

Jakarta, Inako

Pasar finansial Indonesia akhirnya berhasil menghijau pada perdagangan Kamis (25/7/19) setelah melemah tiga hari berturut-turut. Rupiah menguat 0,11% ke level 13.975/US$, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 0,26% ke level 6.401,37. 

Sejalan dengan rupiah dan IHSG, harga obligasi Indonesia juga menguat, dengan imbal hasil (yield) tenor 10 tahun turun sebesar 9,29 basis poin menjadi 7,1525%. 

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. 

Penguatan IHSG mengikuti mayoritas bursa utama Asia lainnya, setelah mendapat sentimen positif dari bursa saham AS (Wall Street), dimana indeks S&P 500 dan Nasdaq mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada hari sebelumnya. 

Wall Street sebenarnya sudah mengirim sentimen positif dalam dua hari terakhir, tetapi sayangnya belum mampu mendongkrak kinerja IHSG. Hal tersebut terjadi karena rupiah yang hat trick mengalami pelemahan. 

Kala rupiah melemah, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian kurs sehingga aksi jual di pasar saham tanah air menjadi opsi yang sangat mungkin untuk diambil. 

Beruntung, indeks dolar akhirnya terkoreksi juga pada perdagangan Rabu lalu, sehingga rupiah memiliki ruang untuk menguat di hari Kamis. Lepasnya tekanan bagi rupiah membuat IHSG leluasa mengekor Wall Street dan bursa Benua Kuning lainnya. 

Dolar AS mengalami tekanan setelah data menunjukkan aktivitas sektor manufaktur Paman Sam merosot tajam di bulan ini. Pembacaan awal Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur AS versi IHS Markit untuk periode Juli berada di angka 50, dibandingkan bulan sebelumnya 50,6. Angka indeks di bulan Juli tersebut merupakan yang terendah sejak September 2009.

Indeks dari Markit ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 berarti kontraksi atau penyusutan aktivitas, sementara di atas 50 menunjukkan ekspansi atau berkembang. 

Indeks PMI AS di bulan itu tidak menunjukkan kontraksi, tetapi juga tidak berekspansi. Data tersebut tentunya memberikan tekanan bagi bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk segera bertindak agar mampu mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi Paman Sam. 

The Fed terlihat pasti akan memangkas suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) pada 31 Juli (1 Agustus waktu Indonesia), namun pertanyaan seberapa besar, atau seagresif apa pemangkasan yang akan dilakukan masih menjadi pertanyaan. 

Masih adanya pertanyaan itu membuat penguatan indeks dolar belakangan ini terlihat berlebihan. Peluang The Fed memangkas suku bunga 50 basis poin (bps) 31 Juli nanti memang kecil, tetapi pemangkasan sebanyak tiga kali di tahun ini masih terbuka lebar. Pelaku pasar sepertinya melupakan hal tersebut sehingga dolar terus menguat, tetapi ketika sadar lagi, maka dolar akan terkoreksi. 

Selain itu menghangatnya hubungan AS-China juga menjadi memberikan dampak positif ke pasar. Dalam wawancara dengan CNBC International kemarin waktu setempat, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa dirinya dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer akan bertandang ke China pada hari Senin (29/7/2019) untuk kemudian menggelar negosiasi dagang selama dua hari yang dimulai sehari setelahnya (Selasa, 30/7/2019).

Meski demikian, Mnuchin mengungkapkan bahwa saat ini ada banyak masalah yang belum bisa dipecahkan oleh kedua belah pihak.

"Saya akan mengatakan bahwa ada banyak permasalahan (yang belum bisa dipecahkan)," kata Mnuchin, dilansir dari CNBC International.

Lamanya negosiasi hingga mencapai hasil diperkirakan akan memakan waktu enam bulan. Meski cukup panjang sampai bisa diketahui apakah kedua negara akhirnya sepakat mengakhiri perang dagang, tetapi mulai mesranya lagi hubungan kedua negara memberikan hawa optimistis di pasar finansial, setidaknya kedua negara tidak lagi saling menaikkan bea impor.


 

KOMENTAR