Jaringan Perempuan Nilai Klaim PC Soal Perkosaan Tidak Bisa Langsung Dipercaya
Jakarta, Inako
Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban kekerasan Seksual (JPHPKKS) menyoroti kasus kematian Brigadir J yang telah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Hal itu tidak terlepas dari berbagai kejanggalan yang terekspose mengiringi kematian Brigadir J dan keterlibatan sejumlah personel kepolisian dalam kasus tersebut.
“Adapun isu kekerasan seksual diduga sebagai motif pembunuhan sempat muncul di awal kasus, namun kasusnya dihentikan oleh Kepolisian setelah dilakukan investigasi dan gelar perkara. Laporan tersebut dihentikan atau SP3 karena tidak memiliki peristiwa pidana,” demikah rilis yang diterima Inakoran, Sabtu (10/9/2022).
Menurut JPHPKKS, isu kekerasan seksual kembali mencuat menyusul kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan oleh Lembaga Negara (Komnas HAM) yang terlibat dalam pemeriksaan kasus pembunuhan Brigadir J Dimana kesimpulan dan rekomendasi tersebut banyak menuai kritikan publik. Di satu sisi Lembaga Negara tersebut menyatakan dalam temuannya, bahwa terdapat langkah-langkah sistematis untuk menghalang-halangi proses hukum atau obstruction of justice.
Tetapi disisi yang lain, tetap memeriksa Putri Candrawati (PC) dan tidak mencurigai perubahan TKP yang semula di Jakarta diubah ke Magelang, juga mengubah dari laporan pelecehan seksual menjadi kekerasan seksual.
Sebagai Jaringan yang koncern dengan isu kekerasan seksual JPHPKKS menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa benar adanya ketimpangan gender di masyarakat membuat perempuan dipandang lebih rentan ketimbang laki-laki sebagai korban kekerasan seksual. Sehingga tidak melihat latar belakang dan status sosial perempuan, perempuan bisa menjadi korban.
Namun disisi lain, anggapan bahwa semua perempuan lemah dan tidak berdaya juga keliru. Perempuan memiliki agensi pada dirinya, dan mengabaikan hal ini justru membuat kita menjadi bias.
Dalam kasus PC kita perlu hati-hati, profil PC berbeda dengan umumnya korban kekerasan seksual yang diketahui atau didampingi lembaga layanan selama ini. Ada peristiwa besar terkait pembunuhan berencana dan temuan obstruction of justice dimana PC yang mengaku sebagai korban KS merupakan tersangka pembunuhan dan terlibat dalam upaya perintangan proses hukum.
Laporan PC sebelumnya terkait pelecehan seksual di TKP Jakarta berakhir dihentikan, dan dianggap sebagai upaya menghalangi penyidikan. Dengan preseden sebelumnya, tidak menutup kemungkinan pengakuannya terakhir sebagai korban perkosaan di TKP Magelang, menjadi obstruction of justice jilid kedua, setelah yang pertama gagal, untuk menutup-nutupi motif sebenarnya dibalik terbunuhnya Brigadir J.
Analisis relasi kuasa antara pelaku kekerasan dengan perempuan korban yang biasanya digunakan dalam kasus perkosaan atau kekerasan seksual lainnya, tidak serta merta dapat diterapkan begitu saja dalam kasus PC.
Faktor relasi mana yang lebih dominan dalam hubungan PC dengan Brigadir J terutama terkait status sosial, struktur dan kultur kepolisian, semua faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan.
Kedua, kasus pembunuhan Brigadir J memperlihatkan ada permasalahan serius di tubuh Polri, sehingga perlu melakukan pembenahan. Terutama terkait penanganan kasus kekerasan seksual yang masih diskriminatif selama ini. Dalam kasus PC sebagai tersangka, penyidik tidak melakukan penahanan padahal ia merupakan tersangka pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman yang serius dan terlibat dalamtindakan obstructionof justice. Sebelumnya, laporan PC terkait pelecehan seksual di Polres Jakarta Selatan secara cepat di proses ke tahap penyidikan.
Respon penyidik memperlihatkan sikap yang membedakan atau tepatnya memberikan perlakuan istimewa (privilis) terhadap PC dibanding banyak perempuan lainnya baik sebagai tersangka maupun sebagai korban kekerasan seksual. Dari banyak laporan penanganan kasus kekerasan seksual, laporan korban sulit diproses, dan membutuhkan usaha keras untuk bisa naik ke tahap sidik, bahkan menghabiskan waktu yang lama namun tidak berhasil. Begitupun bagi perempuan tersangka atau terpidana, penahanan tetap dilakukan meskipun memiliki anak bayi bahkan yang masih menyusui.
Berdasarkan catatan tersebut, JPHPKKS meminta kepada Kepolisian dan lembaga yang memiliki kewenangan serta pihak terkait lainnya, agar:
1. Kepolisian segera melakukan pembenahan di internalnya, dan menghentikan praktek diskriminasi terhadap korban kekerasan seksual selama ini, termasuk diskriminasi dalam pelayanan dan penegakan hukum berdasarkan status sosial.
2. Mempercayakan kepada Kepolisian untuk membuka secara terang benderangkebenaran dibalik kematian Brigadir J. Dan Kepolisian harus bekerja secara profesional dan akuntabel.
3. Khususnya, bagi lembaga negara yg melakukan pemantauan agar menjalankan sesuai tugas dan fungsi yang diemban dalam kasus pembunuhan Brigadir J dengan secara jernih mempertimbangkan seluruh fakta-fakta.
4. Dalam penerapan analisis relasi kuasa pada laporan dugaan kekerasan seksual, perlu mempertimbangkan faktor relasi mana yang lebih dominan dalam hubungan PC dengan Brigadir J terkait dengan status sosial, struktur dan kultur kepolisian, semua faktor-faktorini perlu dipertimbangkan.
5. Kepolisian agar menghadirkan ahli-ahli secara independen, untuk mencegah upaya perintangan proses hukum (obstruction of justice), agar preseden sebelumnya tidak berulang.
6. Mendorong adanya kebijakan afirmasi bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum(PBH) dengan situasi khusus, misalnya tahanan perempuan yang punya balita apalagi menyusui, perlu mempertimbangkan peran reproduksi mereka.
KOMENTAR