Kisah Tragis Seorang Ibu Tua: Tragedi Menjerite 2010

Hila Bame

Saturday, 29-05-2021 | 11:21 am

MDN
Kisah Tragis Seorang Ibu Tua: Tragedi Menjerite 2010

 

Labuan Bajo, INAKORAN

Pada bulan Oktober 2010 adalah peristiwa yang sulit saya lupakan. Saat itu, detik-detik menentukan, malaekat maut nyaris mencabut nyawa saya.

Demikian  disampaikan ibu Kristina dalam pertemuan dengan warga di rumah gendang Terlaing, belum lama ini, demikian catatan tertulis Masyarakat Adat terlaing yang diterima INAKORAN, Sabtu (29/5/21). 

Kristina  adalah seorang ibu yang kini berusia 55 tahun, warga Terlaing, desa Pota Wangka, Boleng, Mabar.

Kristina  mengenang kembali peristiwa itu ketika pada bulan Desember 2020 kemarin nyaris pertumpahan darah di Menjerite dalam kasus tanah hibah dari Moses Fono ke TNI.


baca:  

Lindungi Investasi, Polri Bentuk Satgas Anti Mafia Tanah

 


Tahun 2010 itu, ia bersama suaminya sedang mengerjakan ladang.  Selain keluarga ini, ratusan masyarakat adat Terlaing juga mengerjakan tanah ladang, di tanah leluhur mereka. Nama umum tempat ini adalah Menjerite, tetapi sesungguhnya lingko Nerot. Lokasi ini dekat pelabuhan Multipurpose, Rangko sekarang.

 Sedang asyik mengerjakan ladang, tiba-tiba segerombolan preman lengkap peralatan senjata, perisai, parang dan topi pelindung, mendatangi lokasi para petani yang sedang bekerja. Kontan suasana panik, kocar-kacir dan lari tunggang langgang.


BACA:  

Menyoroti Perkawinan Campuran dan Anak Berkewarganegaraan Ganda Terbatas

 


Si ibu beserta suaminya terjebak di pondok. Dengan parang terhunus, para preman siap menggorok leher si ibu dan ibu ini ketakutan luar biasa dan tak sadar terkencing di celana.

Kisah ini dituturkan kembali oleh ibu ini di depan warga adat dalam pertemuan warga adat Terlaing belum lama ini, ujar Yosef Yacob, tua pasa (tua teno) Terlaing. Tua Teno atau pasa adalah tokoh adat yang bertugas untuk membagi tanah adat. 

Bapak Yosef Yacob, tua pasa (tua Teno)
 

Ibu ini lolos dari maut, tapi kisah ini tetap menjadi trauma dalam hidupnya. Para gerombolan ini memporak-poranda tanaman dan pondok-pondok dibakar. Itu peristiwa tragis masyarakat Terlaing dalam menjaga tanah leluhur mereka, tambah Yosef.


baca:  

Mafia Tanah dan Pemiskinan, Makin Dikuak Makin Banyak Terungkap

 


 

Para gerombolan ini diduga disuruh oleh para ahli Dance Turuk, Moses Fono. Para preman ini didatangkan dari luar Manggarai Barat dan ini pola untuk menguasai tanah adat Terlaing, tambah Yos lagi.

 Peristiwa yang sama terjadi akhir tahun 2020. Nyaris terjadi pertumpahan darah. Para ahli waris Dance Turuk, Moses Fono dan Edu Gunung mencaplok tanah adat masyarakat Lancang dan Terlaing. Tanah  seluas 20 hektar  dihibahkan ke pihak TNI. Diduga Moses mencatut TNI dan mengadu domba masyarakat dengan TNI, ujar Bone Bola, tua golo Terlaing.

 

 Persoalan dengan TNI sudah selesai dan masyarakat adat Lancang dan Terlaing sudah menyampaikan terimakasih kepada KASAD dan Panglima Udayana karena tanah itu sudah dikembalikan ke masyarakat Lancang dan Terlaing, tambah Bone.

 

 Persoalan tersisa, para ahli Dance Turuk masih menguasai tanah adat Lancang dan Terlaing. Pola yang digunakan adalah aksi teror, intimidasi, mendatangkan preman dari luar Manggarai Barat dan diduga mereka menggunakan dokumen palsu. Aneh dan tidak masuk akal,  mereka bukan warga adat Lancang atau Terlaing, mereka berasal dari luar Manggarai Barat, tetapi mereka mendatangkan horor di kawasan itu, ujar Jempo, tua gendang Terlaing.


baca:  

FKDB Dukung Kapolri Berantas Mafia Tanah

 


 Kawasan Pantura memang sudah dikepung para mafia tanah dan rawan tragedi berdarah. Mabes Polri dan Kejaksaan Agung tengah menangani perkara masyarakat adat Sepang Nggieng. Sudah banyak tersangka dan ditahan. Setelah itu diperkirakan bergerak ke kawasan Menjerite, ujar Deny G, pemerhati masyarakat adat.

 

KOMENTAR