Kritik Dudung Badrun Terhadap Bupati dan Urgensi Komite Mitra Pembangunan Indramayu

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan.
JAKARTA, INAKORAN
Dudung Badrun, SH, seorang advokat, putera "Segeran" Indramayu mengkritik keras dan "bernyali" terhadap pembentukan "komite" mitra pembangunan kab Indramayu yang tertuang dalam SK bupati : 100.3.3.2/kep.215/Umum/2025.
Kritik Dudung Badrun terhadap "komite" bentukan bupati Indramayu, Lucky Hakim, di atas diletakkan dalam dua perspektif secara tajam dan menukik ke "lambung politik".
Pertama, ia membaca pembentukan komite ini adalah "cara" Lucky Hakim "mengunci" manuver politik Syaefudin, wakil bupati, sebuah rivalitas perebutan pengaruh antara bupati dan wakil bupati, yang sudah lama "diendus" dalam perbincangan di ruang publik.
Kedua, ia membongkar problem rekam jejak integritas dan kredibilitas sejumlah "person" dalam "komite" tersebut, ia menyebutnya para "Ahli kotak Katik". Lucky Hakim masuk dalam "jebakan para ahli kotak Katik", tulisnya (aswinnews", 29/3/2025).
Dua perspektif Dudung Badrun di atas mengingatkan penulis akan teori sosiologi politik Dr. Arif Budiman dalam bukunya berjudul "Teori Pembangunan Dunia Ketiga" (1995) bahwa dalam sejarah penguasa selalu hendak mengunci "rival terdekatnya" di satu sisi dan sekaligus di sisi lain selalu ada "pihak luar" untuk memainkan penetrasi politik ke dalam.
Politik memang "the art of possible",- kata Otto Van Bismoch,, sebuah ruang kemungkinan, selalu terbuka ruang potensi beragam "political game" atau permainan politik di dalamnya termasuk apa yang dibayangkan Dudung Badrun di atas
Bahkan "komite" potensial menjadi pintu "akses" baru dalam kolusi kolusi politik dan rupa rupa "anak cicit" bentuk transaksi politik turunannya. Perjalanan waktu kelak akan menjawab kemungkinan yang dibayangkan Dudung badrun di atas dan implikasi politiknya.
Dalam pandangan penulis meskipun tidak sejauh kritik Dudung Badrun di atas pembentukan "komite" tersebut
tidak ada urgensi dan maslahat yang dapat diharapkan publik alias "mubazir", buang buang energy dana publik.
Kecuali hanya "bermakna" sebagai alat tampung akomodasi politik "pihak luar" birokrasi - seperti "tim sukses", "relawan" atau "buzzer" dengan implikasi politik potensial merumit rumitkan, bahkan bisa "merusak" tata kelola pemerintahan
Pasalnya, "pakem" konstruksi penyelenggaraan pemerintahan daerah sudah sangat lengkap perangkat institusional dan standart regulasi sistem kerja dari input, output, out come, benifite dan indikator impact-nya. Terstruktur dan sistemik - tidak perlu komite atau badan "adhoc" lain dari "luar".
Relasi "chek and balance" antara bupati dan DPRD, dua unsur penyelengaraan Pemerintahan Daerah dan partisipasi publik secara bermakna sudah sangat memadai untuk menghadirkan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang sehat dalam perspektif Prof Ryas Rasyid, pakar otonomi daerah .
Dengan kata lain bupati dengan kewenangannya memiliki kuasa memberikan tekanan aksentuasi dan desain progresif tentang implementasi visi dan misi kepemimpinannya kepada birokrasi. Inilah perangkat dan instrument organik "resmi" di bawah kendali dan "drive" bupati.
Birokrasi dengan SDM terdidik sejauh tidak "dipolitisasi" telah terlatih dalam proses sistem kerja teknokratis sejak dari desain perencanaan berbasis "belanja masalah" lewat "Musrenbang" (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) secara bertingkat.
DPRD sebagai "political balancing", mitra penyeimbang adalah instrument uji maslahat kebijakan bupati dengan membuka ruang seluas luasnya kontrol publik untuk menjaga prinsip akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Bersandar pada instrument institusi politik "resmi" (birokrasi dan relasi dengan DPRD) serta membuka ruang seluas luasnya partisipasi publik, tidak "ekslusif" seperti "komite" tersebut - adalah cara paling beradab seorang pemimpin "membayar" hutang hutang elektoral kepercayaan publik dalam sistem demokrasi modern.
Memasukkan "anasir anasir luar" dalam skema kerja sistemik birokrasi hanya akan menimbulkan kerumitan kerumitan yang tidak perlu, berpotensi kolutif dengan implikasi delik pidana dan menimbulkan spekulasi politik sebagaimana dibayangkan Dudung Badrun di atas,
Dalam kaidah "fiqih politik" disebutkan "Dar ul mafasid muqaddam 'ala jalbil masholih", membuang faktor yang bisa mendatangkan potensi "kerusakan" harus lebih didahulukan dari kemungkinan manfaat yang hendak diperolehnya.
TAG#ADLAN, #INDRAMAYU
194709031

KOMENTAR