Menari Dalam Hujan
Penulis : Kasmir Nema, Mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas St. Tomas, (UST), Manila, Filipina
"Life isn't about waiting for the storm to pass ... it's about learning to dance in the rain" - (Vivian Greene? or Anonymous?) (Hidup Bukanlah sekedar menunggu badai berlalu, tapi bagaimana belajar menari dalam hujan).
Kutipan Greene ini, kalau benar ia penulisnya, mungkin bukan sekedar soal menunggu. Mungkin juga bukan sekedar tentang menunggu badai berlalu. Barangkali ini tentang narasi hidup yang berada di persimpangan dilematis antara ‘menunggu’ atau ‘belajar menari-menari dalam hujan’ (membasahi diri).
Konsep dasariah ‘menunggu’, untuk semua konteks, akan menghasilkan kehampaan, ketika itu disandingkan dengan tidak melakukan sesuatu. Konsepsi etimologis ini berarti membiarkan sang waktu berlabuh tanpa meninggalkan jejak. Pada simpul ini, tepat kalau ditanya ‘apalah artinya menunggu, jika yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang atau tidak akan memberikan secercah harapan? Mengoptimalisasi penungguan, sebaliknya, akan memanenkan sesuatu yang berdaya guna.
Lantas, apa artinya ‘belajar menari dalam hujan? Mungkinkah? Kenapa tidak. Pada tempat-tempat berkekurangan air, belajar menari dalam hujan adalah hal yang lumrah, ketika hujan turun. Bagi mereka yang terlibat ditantang untuk mengikuti irama musik hujan. Juga ditantang untuk melawan gemericik ‘kebengisan’ hujan. Jadi, menari dalam hujan bukan sebuah akrobat yang amat konyol.
Terkadang harus diterima bahwa tidak ada cara yang mungkin untuk melakukan apa pun tanpa menjadi basah. Saat itulah kita harus belajar menari di bawah hujan. Hujan lebat bercampur badai atau cerah ceriah, hidup harus terus berjalan.
Adagium klasik ini seolah mengafirmasi sekaligus mempersilakan kita untuk menikmati hidup di tengah amukan cuaca alam kehidupan. Ada cuaca kemarau berkepanjangan, menyebabkan dedaunan pohon rontok berguguran dan berantakan. Ada hujan badai yang menyebabkan kehancuran, kehilangan dan kematian. Itulah badai-badai yang mungkin sudah, sementara dan akan berlalu.
Yah, ada harga yang harus dibayar ketika harus menunggu dalam ketidakpastian. Sama seperti ada konsekuensi diterima kalau menari dalam hujan. Entah kita menunggu dalam lintasan remang-remang atau menari ria di dalam hujan badai, ini soal pilihan hidup. Pakailah waktu waktu bukan hanya sekedar bernostalgia (menunggu), karena itu menguras tenaga bukan main. Singsingkan lengan bajumu, meski badai masih terasa ganas. Gila-gilaan menari dalam hujan, siap melawan tetesan-tetesan hujan yang menyebabkan basah kuyup dan kedinginan, kemasukan angin, bisa mencedrai keindahan tarian itu.
Kalau mau lebih menikmati tarian itu, mari menari di bawah hujan dengan membawa payung, mantel dan persenjataan lain yang kita miliki, untuk melindungi diri dari hujaman badai.
Sederas apapun hujan (badai) menerpa, seorang penari tidak akan lupa gerakan jemari serta sentakan kaki dalam tarian yang sudah dilatih berulang kali.
Carilah kawan, bukan lawan, untuk menutupi kekurangan masing-masing dan menciptakan sebuah koreografi yang spektakuler.
Tetapi kalau sudah berani menari dalam hujan, monggo... nikmatilah. Mari belajarlah untuk menikmati irama gemericik hujan.
TAG#story, #cerpen, #novel, #cerita, #short story
182218672
KOMENTAR