Kabut Tanah Tembakau Hidupkan Kembali Sejarah Perkebunan Tembakau Deli
Jakarta, Inakoran
Sebuah karya sastra terbaru yang menghidupkan sejarah dan misteri perkebunan tembakau Deli telah hadir dalam novel “Kabut Tanah Tembakau” karya Rizal Siregar, seorang wartawan senior. Diterbitkan pada Oktober 2024 oleh Penerbit Adab, novel ini membawa pembaca melintasi tiga dimensi waktu—masa kolonial, masa kini, dan masa depan—menggambarkan sejarah, budaya, dan mitos yang mengikat cerita tersebut.
Novel ini tidak hanya menjadi wadah eksplorasi sejarah perkebunan tembakau Deli yang pernah berjaya, tetapi juga menyentuh tema universal seperti cinta, kekuasaan, dan intrik politik yang relevan hingga saat ini.
Menghidupkan Sejarah Melalui Riset Mendalam
Dengan riset yang berlangsung lebih dari lima tahun, Rizal Siregar berhasil menggali sejarah kelam perkebunan tembakau di Deli, khususnya di wilayah Seantis, Percut Sei Tuan, Sumatera Utara. Pada abad ke-19, Deli dikenal sebagai salah satu produsen tembakau terbaik di dunia, dengan kuli-kuli kontrak dari Tiongkok, India, dan Jawa yang dipekerjakan di bawah kondisi kerja yang keras.
Rizal dengan teliti menghidupkan kembali suasana perkebunan tembakau yang pernah berjaya melalui narasi yang penuh detail. Dalam novel ini, pembaca diajak menyelami sejarah sosial Deli, di mana para kuli kontrak bekerja di bawah pengawasan ketat mandor Belanda dan sering kali mengalami perlakuan yang tidak manusiawi.
Perjalanan Lintas Masa dan Intrik Cinta
Novel ini tidak hanya menghadirkan kisah tentang kuli kontrak dan perkebunan tembakau, tetapi juga mengeksplorasi perjalanan seorang wanita muda bernama Marlina yang mencari jejak leluhurnya di Tanah Deli. Marlina, sebagai karakter utama, menemukan dirinya terjebak dalam perpaduan antara kenyataan dan dunia mitos, di mana ia berinteraksi dengan sosok-sosok dari alam bunian, makhluk gaib dalam legenda Melayu.
BACA JUGA:
Filsafat Stoic dan Lingkungan Yang Harmoni
Pusat Kajian Hang Lekir Selenggarakan Bedah Buku 79 Kisah di Balik Liputan Istana
Menurut Rizal, "Kabut Tanah Tembakau" bukanlah sekadar novel sejarah, tetapi juga membahas tema universal seperti cinta, kekuasaan, dan ambisi. Dalam novel ini, Rizal menghadirkan sosok Marlina, seorang putri tunggal dari keluarga pengusaha sukses, menemukan dirinya tertarik ke masa lalu melalui petualangannya di Medan, tempat sejarah leluhurnya sebagai kuli kontrak di Tanah Deli terungkap.
Setibanya di Medan, Marlina mulai menyaksikan kejadian-kejadian dari masa kolonial, di mana tembakau Deli menjadi primadona perdagangan dunia. Kilasan sejarah yang ditampilkan Rizal, seperti potongan film yang muncul di hadapan Marlina, membawanya kembali ke masa di mana kuli-kuli kontrak hidup di bawah pengawasan ketat para mandor Belanda. Riset yang mendalam ini menghidupkan kembali suasana perkebunan tembakau yang pernah berjaya, dengan detail yang memperlihatkan kehidupan keras para kuli kontrak di tengah keserakahan dan intrik para penguasa kolonial.
Marlina bukanlah sekadar penonton sejarah. Dalam petualangannya, ia dibantu oleh Hamzah, seorang pemuda Melayu yang kemudian jatuh cinta padanya. Namun, kisah cinta ini bukanlah satu-satunya yang menjadi sorotan dalam novel ini. Di alam bunian, seorang pangeran juga jatuh cinta pada Marlina dan berusaha menjadikannya permaisuri. Pertarungan antara dua dunia untuk merebut hati Marlina menjadi salah satu konflik utama yang menghiasi cerita ini.
Budaya Melayu yang Mulai Memudar
Selain menyoroti sejarah dan kisah cinta, Rizal juga memasukkan unsur budaya Melayu Deli yang kaya akan adat istiadat, kuliner, dan petuah-petuah leluhur. Melalui cerita Marlina, pembaca diajak untuk merenungkan bagaimana simbol-simbol budaya tersebut mulai memudar di era modern. Rizal menyampaikan kekhawatirannya tentang hilangnya warisan budaya lokal di tengah arus globalisasi.
Novel ini bukan hanya menggambarkan perjalanan Marlina dalam mencari jejak leluhurnya, tetapi juga merangkum berbagai persoalan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam novel ini, Rizal mengangkat tema tentang kerakusan harta, cinta yang membara, intrik politik, hingga pertarungan kekuasaan yang berkaitan dengan dinamika pilkada di masa depan. Hal ini menjadikan "Kabut Tanah Tembakau" lebih dari sekadar novel roman, tetapi juga karya yang menggugah kesadaran pembaca akan kompleksitas kehidupan.
Sejarah Perkebunan Tembakau Deli
Sebagai latar belakang penting dalam novel ini, perkebunan tembakau Deli memainkan peran sentral dalam menggambarkan sejarah kolonial di Sumatera Utara. Pada akhir abad ke-19, tembakau Deli terkenal sebagai salah satu komoditas terbaik di dunia, terutama untuk bahan cerutu. Perkebunan ini dikelola oleh perusahaan-perusahaan Belanda yang mendatangkan kuli-kuli kontrak dari Tiongkok, India, dan Jawa untuk bekerja di bawah kondisi yang sangat keras.
"Bahkan Sarni, Nenek Marlina, yang wajahnya sangat mirip sempat di bawa ke Surinme dalam pelariannya karena membunuh mandor di Perkebunan Tembakau Deli," ucap Rizal.
Para kuli kontrak ini diikat dengan perjanjian yang memaksa mereka bekerja selama periode tertentu dengan upah rendah, di tengah pengawasan ketat dan perlakuan yang sering kali tidak manusiawi. Kondisi ini menimbulkan berbagai pemberontakan dan konflik antara kuli dan para pengelola perkebunan, yang sebagian besar direfleksikan dalam kisah Marlina saat ia menyaksikan perjuangan leluhurnya melawan penindasan di masa lalu.
Perkebunan tembakau Deli terus berkembang hingga awal abad ke-20, namun seiring berjalannya waktu, industri ini mengalami kemunduran. Kemajuan teknologi dan perubahan sosial-ekonomi di Indonesia pasca-kemerdekaan, serta meningkatnya persaingan dari negara lain, menyebabkan kejayaan tembakau Deli perlahan-lahan memudar. Bangsal tempat menjemur tembakau, seperti yang diungkapkan Rizal dalam risetnya, kini hanya tinggal puing-puing sejarah.
"Kabut Tanah Tembakau" menawarkan lebih dari sekadar cerita fiksi yang memikat. Ia menggambarkan sejarah yang kaya, konflik yang kompleks, dan budaya yang hampir terlupakan. Dalam setiap lembarannya, Rizal Siregar tidak hanya mengajak pembaca untuk mengarungi perjalanan emosional Marlina, tetapi juga untuk merenungkan kembali sejarah dan warisan budaya yang membentuk identitas masyarakat Deli. Melalui novel ini, Rizal berharap generasi muda, terutama generasi G-Z, dapat belajar dari masa lalu dan terinspirasi untuk menjaga nilai-nilai budaya yang semakin tergerus oleh waktu.
KOMENTAR