Narasi Budaya di Balik Kopi Colol Manggarai Timur
Oleh: Dr. Adi M. Nggoro, S.H., M.Pd*
Petani Kopi Colol Manggarai Timur merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya, bahkan kopi bukan sekedar aktivitas fakultatif masyarakat Colol, tetapi merupakan bagian urat nadi kehidupannya. Hampir seluruh hidupnya petani Colol bargantung pada hasil pertanian “kopi”. Kopi bagi masyarakat Colol sebagai warisan leluhur yang perlu dilestarikan. Oleh karena itu, kopi bukan hanya sekedar sarana, dan simbol budaya, tetapi juga merupakan budaya itu sendiri.
Namun persoalannya adalah bagaimana aksi dan reaksi petani kopi dalam mengekspresikan karyanya sebagai petani kelas dunia yang eksis dan sukses. Kalau mata pencaharian kopi adalah bagian unsur kebudayaan universal, maka dengan demikian petani kopi adalah petani kelas dunia, petani internasional. Dengan demikian petani Kopi Colol adalah petani dunia, petani kopi Manggarai adalah petani dunia.
BACA JUGA: Narasi Budaya di Balik Kopi Colol
Dalam literasi budaya Manggarai ada istilah torok tae, yaitu sebuah frasa (ungkapan) yang mengindikasikan relasi manusia dengan alam (kebun) sebagai ladang sandaran pertama dan utama petani (termasuk petani kopi) untuk mempertahankan hidupnya dan kemudian mewariskan kebajikan hidup itu kepada generasi berikutnya. Kebajikan hidup yang diwariskan adalah semangat kerja keras, gotong royong, bahu-membahu baik laki-laki maupun perempuan, suami dan istri dan bersatu padu dalam bekerja. Kebersamaan itu selanjutnya ditumbuhkembangkan dalam relasi harmonis antara manusia dengan alam (kebun) sembari memperhatikan kondisi alam, keadaan musim yang tepat. Tujuannya supaya pekerjaan tersebut membuahkan hasil yang maksimal demi kesejahtteraan hidup jasmani dan rohani.
Cara bertani kopi dalam masa lampau mungkin berbeda inovasi dengan cara kerja petani kopi dewasa ini. Namun substansi tetap sama yaitu ada petani, kopi dan lahan kopi (kebun). Cara petani memasarkan kopi masa lampau mungkin berbeda inovasi dan model dan sasaran pemasaran berbeda inovasi dewasa ini. Perubahan inovasi tersebut merupakan ciri khas budaya yang dinamis. Hal ini relavan dengan pandangan Ki Hajar Dewantara tentang kebudayaan. Ahli pendidikan itu mendefinisikan kebudayaan sebagai hasil atau buah budi manusia lewat perjuangan manusia terhadap dua kekuatan besar yakni alam dan zaman atau waktu (masyarakat), dan ini merupakan bukti kejayaan hidup manusia dalam mengatasi pelbagai rintangan dalam hidupnya guna mencapai kebahagiaan.
BACA JUGA: KH. Imam Jazuli Jebakan Khittah dan Relasi Baru NU-PKB
Hal senada juga ditegaskan oleh Sutan Takdir Alisahbana. Ia mengatakan budaya merupakan manifestasi dari cara berpikir dan karena itu menurutnya pola kebudayaan itu amat luas karena menyangkut semua tindakan dan perbuatan di dalamnya, dan dapat diungkapkan lewat cara berpikir termasuk di dalamnya adalah perasaan yang mengungkapkan maksud dari pikiran manusia. Sementara Koentjaraningrat melihat budaya bukan hanya cipta, rasa, karsa manusia, melainkan mencakup seluruh total hidup manusia yang tidak berakar pada nalurinya. Penegasan serupa diungkapkan oleh Kotter dan Heskett yang menyatakan bahwa istilah budaya diartikan sebagai totalitas pola prilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu masyarakat atau penduduk yang ditarnsmisikan bersama. Pendapat yang mirip juga ditegaskan oleh Tylor yang mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Lalu bagaimana relasi manusia yang dibentuk oleh budaya dengan alam. Dalam tradisi Manggarai relasi itu secara gamblang digambarkan dalam filosofi gendang one, lingko pe’ang (secara harafiah: rumah adat di dalam, kebun ulayat di luar). Filosofi ini menyatakan bingkai relasional yang harmonis antara manusia dengan alam. Orang Manggarai yakin bahwa pada hakekatnya manusia mengawali aktivitasnya dari rumah tempat tinggal menuju kebun sebagai tempat bekerja. Ekspresi relasi manusia dengan alam (kebun tempat bekerja) sangat dekat, sehingga memengaruhi penghayatan ritual yang mendalam. Bagi orang Manggarai Mbaru gendang memiliki kedudukan yang istimewa. Lantaran semua aktivitas selalu mulai dari rumah. Oleh karena itu, semua aktivitas di kebun, termasuk ritual panen kopi, selalu berkorelasi dengan Mbaru gendang (tempat tinggal) sebagai titik awal pemberangkatan. Beberapa waktu lalu KompasTV menyajikan laporan terkait ritual sebelum panen kopi di Desa Rende Nao, Kec. Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur. Acara ritual itu dipimpin oleh tua adat dalam bentuk torok tae (sesajian). Acara ini dilakukan sebagai tanda syukur dan sekaligus memohon hasil panen kopi berlipat ganda. Ada beberapa jenis persembahan yang disajikan, antara lain, manuk lalong cepang (ayam jantan dengan campuran bulu merah dan hitam) sebagai hewan sembelihan, dea (beras), raci (pinang), saung kala (daun sirih), kopi (kopi), mangkok (piring alas benda sesajian). Ritual ini dilaksanakan pada siang hari, di sekitar lokasi kebun kopi yang siap panen.
BACA JUGA: Prof. Siti Zuhro: Santri Penjaga Gawang NKRI
Ritual panen kopi sesungguhnya merupakan bagian dari nilai dan unsur kebudayaan universal. Tetapi seiring dengan perkembangan cara berpikir manusia ada nilai-nilai yang berubah yang secara langsung berdampak pada perubahan kebudayaan. Dan pada gilirannya perubahan kebudayaan tersebut berdampak juga pada praktik hukum baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Praktik hukum tersebut digali dari nilai hidup yang berkembang di dalam masyarakat. Nilai hidup itu mempunyai aspek 7 unsur kebudayaan universal. Ketujuh unsur kebudayaan itu disebut culture universal yakni: (1) peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport dan sebagainya); (2) mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya); (3) sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan); (4) bahasa (lisan maupun tertulis); (5) kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sbagainya); (6) sistem pengetahuan; (7) religi/sistem kepercayaan.
BACA JUGA: Optimalisasi Literasi Fashion Modest Indonesia Era Digital 4.0
Menikmati Rasa Kopi
Sebagai bagian dari unsur kebudayaan, bagi orang Manggarai, khususnya orang Colol Manggarai Timur, rasa menikmati kopi memiliki beragam makna, yaitu: (a) sebagai minuman sehari-hari, kopi merupakan bagian dari menu konsumsi sehari-hari. Ibaratnya minuman kopi adalah bagian inti hidup manusia Manggarai. Minum kopi akan terasa lebih nikmat kalau disuguh tanpa gula. (b) Kopi dapat mempererat tali persahabatan. Tradisi yang terus terpelihara hingga saat ini adalah bahwa suguhan pertama yang diberikan kepada tamu adalah kopi. Ada sesuatu yang hilang dalam relasi tersebut, bila tamu tidak disuguhkan dengan minum kopi. Tradisi inilah yang membuat setiap keluarga Manggarai selalu menyediakan bubuk kopi, baik untuk kepentingan keluarga maupun untuk tamu yang datang tidak terduga. (c) Kopi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ritual adat. Sebagai minum khas Manggarai, maka setiap ritual wajib hukumnya kopi selalu ada. (d) Kopi sebagai kebutuhan ekonomi (bisnis). Masyarakat Manggarai umumnya, dan masyarakat Colol Manggarai Timur khususnya, kopi merupakan andalan utama para petani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk membiayai pendidikan anak-anak (mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi).
*Dr. Adrianus Marselus Nggoro, S.H., M.Pd, Dosen Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Pemerhati budya Manggarai, dan Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia.
TAG#Kopi, #Budaya Minum Kopi, #Kopi Colol, #Ritual Panen Kopi, #Narasi Budaya, #Kopi Manggarai, #Manggarai Timur
188678115
KOMENTAR