Narasi Budaya di Balik Kopi Colol Manggarai Timur

Sifi Masdi

Tuesday, 16-11-2021 | 22:46 pm

MDN
Dr. Adrianus Marselus Nggoro, S.H., M.Pd [dok:pribadi]

 

 

Oleh: Dr. Adi M. Nggoro, S.H., M.Pd*

Petani Kopi Colol Manggarai Timur merupakan  bagian yang tak terpisahkan dari budaya, bahkan kopi bukan sekedar aktivitas fakultatif masyarakat Colol, tetapi merupakan bagian urat nadi kehidupannya. Hampir seluruh hidupnya petani Colol bargantung pada hasil pertanian “kopi”. Kopi bagi masyarakat Colol  sebagai warisan leluhur yang perlu dilestarikan. Oleh karena  itu, kopi bukan hanya sekedar sarana, dan simbol budaya, tetapi juga merupakan budaya itu sendiri.

Ritual sebelum panen kopi di Colol, Manggarai Timur [ist]

 

Namun persoalannya adalah bagaimana aksi dan reaksi petani kopi dalam mengekspresikan karyanya sebagai petani kelas dunia yang eksis dan sukses. Kalau mata pencaharian kopi adalah bagian unsur kebudayaan universal, maka dengan demikian petani kopi adalah petani kelas dunia, petani internasional. Dengan demikian petani Kopi Colol adalah petani dunia, petani kopi Manggarai adalah petani dunia.

BACA JUGA: Narasi Budaya di Balik Kopi Colol

Dalam literasi budaya Manggarai ada istilah torok tae, yaitu sebuah frasa (ungkapan) yang mengindikasikan relasi  manusia dengan alam (kebun) sebagai ladang sandaran pertama dan utama petani (termasuk petani kopi) untuk mempertahankan hidupnya dan kemudian mewariskan kebajikan hidup itu kepada generasi berikutnya. Kebajikan hidup yang diwariskan adalah semangat kerja keras, gotong royong, bahu-membahu baik laki-laki maupun perempuan, suami dan istri dan bersatu padu  dalam bekerja. Kebersamaan itu selanjutnya ditumbuhkembangkan dalam relasi harmonis antara manusia dengan alam  (kebun) sembari memperhatikan kondisi alam, keadaan musim yang tepat. Tujuannya supaya pekerjaan tersebut membuahkan hasil yang maksimal demi kesejahtteraan hidup jasmani dan rohani.

Ritual panen kopi [ist]

 

Cara bertani kopi dalam masa  lampau mungkin berbeda inovasi  dengan cara kerja petani  kopi dewasa ini. Namun substansi tetap sama yaitu ada petani, kopi dan lahan kopi (kebun). Cara petani memasarkan kopi  masa lampau mungkin berbeda inovasi dan model dan sasaran pemasaran berbeda inovasi dewasa ini. Perubahan inovasi tersebut merupakan ciri khas budaya yang dinamis. Hal ini relavan  dengan pandangan Ki Hajar Dewantara tentang kebudayaan. Ahli pendidikan itu mendefinisikan  kebudayaan sebagai hasil atau buah budi manusia  lewat perjuangan manusia  terhadap dua kekuatan besar yakni alam dan zaman atau waktu (masyarakat), dan  ini merupakan  bukti kejayaan hidup manusia dalam mengatasi pelbagai  rintangan dalam hidupnya  guna mencapai  kebahagiaan.

BACA JUGA: KH. Imam Jazuli Jebakan Khittah dan Relasi Baru NU-PKB

Hal senada juga ditegaskan oleh Sutan Takdir Alisahbana. Ia mengatakan budaya merupakan manifestasi dari cara berpikir dan karena  itu  menurutnya pola kebudayaan  itu  amat  luas karena menyangkut semua tindakan dan perbuatan di dalamnya, dan dapat diungkapkan  lewat cara berpikir termasuk di dalamnya adalah  perasaan  yang mengungkapkan maksud  dari pikiran  manusia. Sementara Koentjaraningrat melihat budaya bukan hanya cipta, rasa, karsa manusia, melainkan mencakup seluruh total hidup manusia  yang tidak berakar pada nalurinya. Penegasan serupa diungkapkan oleh Kotter dan Heskett yang menyatakan   bahwa istilah budaya diartikan sebagai  totalitas pola prilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu masyarakat atau penduduk yang ditarnsmisikan bersama. Pendapat yang mirip juga ditegaskan oleh Tylor yang mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan  yang kompleks  yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat  seseorang  sebagai anggota masyarakat.

Tradisi minum kopi pahit di Manggarai [ist]

 

Lalu bagaimana relasi manusia yang dibentuk oleh budaya dengan alam. Dalam tradisi Manggarai relasi itu secara gamblang digambarkan dalam filosofi  gendang one, lingko pe’ang (secara harafiah: rumah adat di dalam, kebun ulayat di luar).  Filosofi ini menyatakan bingkai relasional yang harmonis antara manusia dengan alam. Orang Manggarai yakin bahwa pada hakekatnya manusia mengawali aktivitasnya  dari rumah tempat tinggal menuju kebun sebagai tempat bekerja. Ekspresi relasi manusia dengan alam (kebun tempat bekerja) sangat dekat, sehingga memengaruhi penghayatan ritual yang mendalam. Bagi orang Manggarai Mbaru gendang memiliki kedudukan yang istimewa. Lantaran semua aktivitas selalu mulai dari rumah. Oleh karena itu,  semua aktivitas di kebun, termasuk ritual panen kopi, selalu berkorelasi  dengan Mbaru gendang (tempat tinggal) sebagai titik awal pemberangkatan. Beberapa waktu lalu KompasTV menyajikan laporan terkait ritual sebelum panen kopi di Desa Rende Nao, Kec. Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur. Acara ritual  itu dipimpin oleh tua adat dalam bentuk torok tae  (sesajian). Acara ini dilakukan sebagai tanda syukur dan sekaligus memohon hasil panen kopi berlipat ganda.  Ada beberapa jenis persembahan yang disajikan, antara lain, manuk lalong cepang (ayam jantan dengan campuran bulu merah dan hitam) sebagai hewan sembelihan, dea (beras), raci (pinang),  saung kala (daun sirih), kopi (kopi), mangkok (piring alas benda sesajian). Ritual ini dilaksanakan pada siang hari, di sekitar lokasi kebun kopi yang siap panen.

BACA JUGA:  Prof. Siti  Zuhro: Santri Penjaga Gawang NKRI

Ritual panen kopi sesungguhnya merupakan bagian dari nilai dan unsur kebudayaan universal. Tetapi seiring dengan perkembangan cara berpikir manusia ada nilai-nilai yang berubah yang secara langsung berdampak pada perubahan kebudayaan. Dan pada gilirannya perubahan kebudayaan tersebut berdampak juga pada praktik hukum baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Praktik hukum tersebut digali dari nilai hidup yang berkembang di dalam masyarakat. Nilai hidup itu mempunyai aspek 7 unsur kebudayaan universal. Ketujuh unsur kebudayaan  itu disebut culture universal  yakni: (1) peralatan dan perlengkapan hidup manusia  (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport dan sebagainya); (2) mata pencaharian hidup  dan sistem-sistem ekonomi  (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya); (3) sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan); (4) bahasa (lisan maupun tertulis); (5) kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sbagainya); (6) sistem pengetahuan; (7) religi/sistem kepercayaan.

BACA JUGA: Optimalisasi Literasi Fashion Modest Indonesia Era Digital 4.0

Menikmati Rasa Kopi

Sebagai bagian dari unsur kebudayaan, bagi orang Manggarai, khususnya orang Colol Manggarai Timur, rasa menikmati kopi memiliki beragam makna, yaitu: (a)  sebagai minuman sehari-hari, kopi merupakan bagian dari menu konsumsi sehari-hari. Ibaratnya minuman kopi adalah bagian inti hidup manusia Manggarai. Minum kopi akan terasa lebih nikmat kalau disuguh tanpa gula. (b) Kopi dapat mempererat tali persahabatan. Tradisi yang terus terpelihara hingga saat ini adalah bahwa suguhan pertama yang diberikan kepada tamu adalah kopi. Ada sesuatu yang hilang dalam relasi tersebut, bila tamu tidak disuguhkan dengan minum kopi. Tradisi inilah yang membuat setiap keluarga Manggarai selalu menyediakan bubuk kopi, baik untuk kepentingan keluarga maupun untuk tamu yang datang tidak terduga.  (c) Kopi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ritual adat. Sebagai minum khas Manggarai, maka setiap ritual wajib hukumnya kopi selalu ada. (d) Kopi sebagai kebutuhan ekonomi (bisnis). Masyarakat Manggarai umumnya, dan masyarakat Colol Manggarai Timur khususnya, kopi merupakan andalan utama para petani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk membiayai pendidikan anak-anak (mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi).

 

*Dr. Adrianus Marselus Nggoro, S.H., M.Pd, Dosen Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Pemerhati budya Manggarai, dan Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia.

 


 

 

 

 

KOMENTAR