Prof. Siti  Zuhro: Santri Penjaga Gawang NKRI

Sifi Masdi

Tuesday, 26-10-2021 | 23:40 pm

MDN
Peneliti Senior LIPI, Prof Dr. Siti Zuhro [inakoran]

 

 

Jakarta, Inako

Santri sudah terbiasa hidup dalam kondisi masyarakat yang majemuk dan beragam, terutama karena mereka hidup dan belajar di pesantren yang umumnya berasal dari berbagai daerah dan suku. Selain itu, mereka juga terbiasa terdidik dalam semangat toleransi, kerjasama, gotong royong, dan ketaatan terhadap pemimpin (Kiai).

Hal ini ditegaskan  Prof. Dr. Siti  Zuhro, Peneliti Senior LIPI, dalam acara  Webinar Nasional  untuk memperingati Hari Santri yang jatuh pada 22 Oktober. Zuhro mengatakan bahwa kebiasaan santri hidup dalam kemajemukan merupakan modal dasar bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Demi menjaga keutuhan NKRI, maka perlu dukungan penuh warga negara, termasuk santri, terutama dalam menjalankan hidup berdampingan secara damai, hidup dalam toleransi, saling memahami dan saling menghormati.

Kegiatan Webinar Nasional dalam rangka memperingati Hari Santri pada 22 Oktober [inakoran]

 

BACA JUGA: Santri Miliki Peran Signifikan Jaga Keutuhan NKRI

“Ini yang perlu kita jaga dan berusaha untuk menghindari politisasi intoleransi. Bagi saya, kita akan mengalami kesesatan sebagai bangsa  kalau kita terus berusaha mempolitisasikan intoleransi. Intoleransi merupakan ancaman terhadap kohesi  sosial  di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kita harus mengedepankan saling menghormati perbedaan,” tegas Zuhro.

Lebih lanjut peneliti senior LIPI itu mengatakan bahwa dalam sejarah Indonesia kaum santri  dikenal sebagai penjaga gawang penting NKRI. Hal itulah yang membuat loyalitas kaum santri  terhadap negara sangat tinggi. Lebih lagi Demokrasi Pancasila sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan bernegara selaras dengan nilai-nilai Islam dan pesantren.

Loyalitas santri terhadap negara membuat mereka memiliki  peran penting dalam perkembangan politik di Tanah Air sejak awal kemerdekaan. Sebagaimana diketahui sejak berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926, yang diprakarsai KH Hasyim Asy’ari, Ulama  NU yang mayoritas berasal dari santri yang dididik  dan digembleng di Pesantren, aktif menggerakan dan membangkitkan sifat nasionalisme. Hal ini terjadi karena NU mengumandangkan jargon “Hubbul Wathon Minal Iman”, yaitu Cinta Tanah Air merupakan bagian dari iman.

Prof. Dr. Siti Zuhro [inakoran.com]

 

BACA JUGA: Muhammad Johansyah: Santri Harus Relevan Dengan Zaman

Salah satu aplikasi dari jargon tersebut adalah Resolusi Jihad (perang) yang digelorakan kaum santri untuk berperang melawan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia.  Resolusi Jihad itu membangkitkan perlawanan kaum santri terhadap penjajah dan yang terkenal adalah pertempuran 10 November 1945  di Surabaya melawan tentara Sekutu.

Politik Santri

Lantas  bagaimana  memahami “Politik Santri’? Menurut Zuhro,  secara umum politik santri dikonotasikan dengan politik Islam. Oleh karena itu pada awal kemerdekaan tampaknya ada dikotomi antara politik Islam dan non-Islam (Santri Vs abangan).

BACA JUGA: Prosesi Pindah Agama Sukmawati dari Islam ke Hindu

Kekuatan politik Islam tampak dalam hasil Pemilu pertama tahun 1955. Pada saat itu Partai Politik (Parpol) Islam meraih suara  43,71 %, sebuah jumlah yang cukup signifikan. Namun dalam perkembangannya  kekuatan Parpol Islam mengalami  penurunan dan terdegradasi secara teratur. Misalnya, pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 1999 pasca reformasi, Parpol Islam hanya mengantongi  33,74 % suara. Penurunan persentase tersebut kontras dengan pertumbuhan jumlah penduduk muslim yang semakin banyak. Penurunan itu terus berlanjut hingga Pileg tahun 2014 yang mencapai  29,86% dan Pileg 2019 menyentuh angka 29,27%.

Penurunan  suara Parpol Islam, tegas Zuhro,  tidak berarti jumlah kaum santri menurun. Ini bisa dilihat dari kebangkitan agama Islam  sejak tahun 1970-an yang  menunjukkan jumlah kaum santri meningkat, Masjid makin penuh, serta adanya pengajian di berbagai tempat, termasuk di kantor

Menurut Zuhro, penurunan suara Parpol Islam memang tidak lepas dari menguatnya fenomena  Islam “Yes”, dan Parpol Islam “No”  yang disuarakan dengan sangat nyaring Nurcholish Madjid (Cak Nur) pada tahun 1970-an. Fenomena tersebut sejalan dengan pudarnya  perbedaan Parpol Islam dan Non-Islam.

 

“Saya melihat politik gincu melemah dan politik garam menguat. Artinya para elite (Islam)  mulai berdiaspora ke Parpol non-Islam. Jadi tidak bergincu lagi, sebaliknya menggarami di semua partai, baik di Parpol Islam maupun Non Islam,” tambahnya.

Tantangan Santri

Tugas santri sebagai  salah satu elemen bangsa yang berperan sebagai penjaga gawang NKRI tidak mudah, karena ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Zuhro menyebutkan beberapa tantangan yang dihadapi dan harus diatasi kaum santri bersama warga negara lainnya, antara lain, pertama, tingginya ketimpangan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat.

BACA JUGA: Kementerian PUPR Rampungkan Pembangunan Rusunawa MBR Sawah Besar Semarang

Kedua, disparitas yang tinggi antardaerah. Misalnya, hingga saat ini pembangunan masih terkonsentrasi di Jawa. Hal ini terlihat dari sebaran daerah tertinggal. Ia menyebutkan sejumlah daerah tertinggal, misalnya, Provinsi Papua memiliki daerah tertinggal terbanyak yang tersebar di 25 Kabupaten, disusul Nusa Tenggara Timur (17 Kabupaten), Papua Barat (7 kabupaten), Sulawesi Tengah (9 Kabupaten), dan Kalimantan Barat dan NTB (8 Kabupaten). Ia yakin ketimpangan antardaerah ini akan mengganggu stabilitas politik dan keamanan.

Ketiga,  harapan akan adanya social political certainty atau adanya kepastian politik  terasa semakin jauh. Kondisi ini terjadi seiring dengan hadirnya keriuhan, kegaduhan, penistaan agama, isu intoleransi, masalah kebhinekaan yang menimbulkan konflik/sengketa, silang pendapat yang nyaris tanpa henti. Bahkan Pancasila pun dipertentangkan dan dipertanyakan.

Keempat,  adanya kesenjangan sosial dan ketidakmakmuran masyarakat sehingga mudah menyulut keresahan sosial (social unrest) dan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Apalagi saat ini ancaman terhadap kohesivitas sosial semakin meningkat, terutama  terkait akan digelarnya  Pemilu serentak 2024.

Kelima,  sejak Pemilu 2014, kondisi sosial politik di Indonesia terasa berbeda. Meskipun Pemilu sudah usai, namun warisan pemilu tersebut masih menyisakan pilu-pilu politik dan goresan yang tidak mudah dihapus. Yang paling mencolok adalah belum pulihnya hubungan yang akrab antarteman/antarkomunitas, dan antarmasyarakat. Harmoni pertemanan terganggu dan bahkan dipertaruhkan hanya karena masing-masing memilih calon yang tidak sama. Lebih lagi, kehadiran buzzer, bukan influencer, cenderung memperkeruh keadaan.  

Tetapi Zuhro yakin santri dapat melakukan sesuatu dalam menghadapi tantangan tersebut, terutama karena santri memiliki posisi strategis di dalam NKRI. Saat ini secara politik  posisi santri  kuat karena berada di semua lini kehidupan bangsa. Oleh karena itu, mereka  harus mengisi poisisi strategis di semua sektor kehidupan.

“Politik santri adalah politik yang berpihak kepada kepentingan kaum lemah (mustad,afin), termasuk dalam ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sehingga dikotomi antara politik gincu dan garam tidak relavan lagi. Pendidikan karakter yang paripurna di pesantren membuat para santri harus menjadi garda terdepan dalam membangun revolusi mental. Sehinga nasib NKRI tetap berada di tangan santri, baik yang bersarung maupun yang berdasi,” pungkas peneliti senior LIPI tersebut.

 


 

 

 

 

KOMENTAR