Muhammad Johansyah: Santri Harus Relevan Dengan Zaman
Jakarta, Inako
Indonesia menganut sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, termasuk santri. Sistem ini melibatkan seluruh wilayah dan segenap sumber daya nasional lainnya yang dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, dan berlanjut untuk menegakkan kedalautan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
BACA JUGA: Realita Pahit di Balik Janji Manis Globalisasi
Hal ini ditegaskan Pengamat Politik dan Keamanan Internasional, Marsma TNI (Purn.) Ir. Muhammad Johansyah, M.Eng, MA saat Webinar dalam rangka memperingati “Hari Santri” pada 22 Oktober. Webinar ini mengusung tema “Penguatan Peran Santri Dalam Menjaga Keutuhan NKRI.”
Dalam kesempatan ini, Johansyah mengungkapkan peran penting santri dalam ikut mempertahankan dan merawat keutuhan NKRI sejak awal kemerdekaan. Karena merupakan elemen penting dalam menjaga keutuhan NKRI, ia mengajak para santri, baik yang di Tanah Air maupun santri overseas (seberang lautan) yang merantau ke berbagai negara untuk menuntut ilmu, bekerja secara profesional sesuai keahlian masing-masing dan relevan dengan zaman.
BACA JUGA: Santri Miliki Peran Signifikan Jaga Keutuhan NKRI
“Untuk bisa sukses di era modern ini, ada satu hal yang perlu diperhatikan santri, yakni anda harus relevan dengan zaman. Jika anda tidak relevan maka jangan berharap terlalu banyak. Dan sekali lagi adagium Hubbul Wathon Minal Iman, yaitu nasionalisme merupakan bagian dari Iman merupakan spirit Hari Santri sebagai bekal di ranah perjuangan pada era modern yang penuh tantangan derupsi dalam menjaga dan merawat NKRI,” tegas Johansyah.
Menurut Johansyah, sejak awal kemerdekaan peran santri merebut kemerdekaan begitu besar, terutama setelah pendiri NU KH Hasyim Asy’ari mengumandangkan Resolusi Jihad untuk melawan Sekutu dan Belanda. Ia mengatakan bila menilik kembali ke masa lalu, Hari Santri bermula pada 22 Oktoteber 1945 di mana KH Hasyim Asy’ari menyerukan kepada pejuang-pejuang Islam untuk melakukan perang (Resolusi Jihad) melawan Belanda yang kembali bersama Sekutu untuk menjajah kembali Indonesia.
Dalam perkembangannya, Resolusi Jihad ini membakar semangat rakyat, memobilisasi rakyat melakukan perlawanan bersenjata terhadap pasukan Sekutu termasuk didalamnya pasukan Belanda pada 10 November 1945. Pada saat itu, Santri dan pemuda Surabaya bahu membahu berjuang bersama-sama melawan Sekutu.
BACA JUGA: Kemenkeu Terus Lakukan Transformasi di Bidang Pengelolaan Keuangan Negara
“Jadi, santri mempunyai andil besar menjaga keutuhan NKRI. Sejak tahun 1945 santri punya peran untuk merebut (kemerdekaan), menjaga dan merawat, serta mempertahankan NKRI sampai saat ini,” tegas pengamat politik dan keamanan internasional itu.
Lebih lanjut dijelaskannya, bahwa meskipun banyak santri yang tergabung dalam Laskar Islam yang terlibat perang merebut kemerdekaan, namun dalam perkembanganna berdasarkan Perjanjian Renville tahun 1948, mereka tidak diakomodir menjadi tentara aktif, tetapi dikembalikan ke tengah masyarakat untuk bekerja sesuai dengan profesi mereka sebelumnya.
Setelah Perjanjian Renvile itu, pada 29 Januari 1949 Mohammad Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri menggantikan Mr. Amir Syariffudin. Selain itu Hatta juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan. Pada saat itu M. Hatta langsung merilis Program RE-RA (Restrukturisasi dan Rasionalisasi Tentara). Tujuan RE-RA adalah untuk mewujudkan Angkatan Perang efektif, terpadu, dan dikendalikan seluruh oleh Pimpinan Angkatan Perang berdasarkan perinsip “Satu Tentara dan Satu Komondo”.
BACA JUGA: NIK Tidak Ditemukan di Dukcapil, Ini Penyebab hingga Solusinya
Program RE-RA tersebut dilaksanakan melalui tiga cara, pertama, melepas pejuang-pejuang Islam yang bergabung dalam laskar-laskar Islam Hizbullah dan secara sukarela meninggalkan tentara dan kembali ke pekerjaan semula sebagai guru dan swasta. Kedua, menyerahkan eks laskar Islam ke Kementerian Pembangunan dan Pemuda untuk diberikan pekerjaan. Ketiga, mengembalikan laskar-laskar Islam ke masyarakat.
Kemudian pada 1948-1949, struktur organisasi TNI diisi oleh: (1) Tentara eks PETA; (2) Tentara eks KNIL; (3) Tentara yang berhaluan kiri (Pengaruh PM I Sutan Syahrir-Dr Amir Syarifuddin) melalui program Pepolit (Pendidikan Politik Tentara). Pepolit adalah program PM Sutan Syahrir-Mr Amir Syarifuddin mempengaruhi tentara dengan idiologi Marxis.
TAG#NU, #ISNU, #Hari Santri, #Sistem Pertahanan, #NKRI, #Santri, #Resolusi Jihad, #Perang Kemerdekaan, #Muhammad Johansyah, #TNI, #Nasionalisme
188649979
KOMENTAR