Nine-Dash Line, ZEE & Politik Perbatasan di Natuna

Hila Bame

Tuesday, 07-01-2020 | 11:59 am

MDN

Oleh: Andre Vincent Wenas

 

Jakarta, Inako

Sikap Indonesia sudah jelas bahwa Natuna adalah bagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) perairan Indonesia. Artinya kita tidak mengakui klaim Tiongkok dengan Nine Dash Line-nya. Di sekitaran wilayah perairan ini rupanya Tiongkok berkonflik bukan hanya dengan Indonesia, tapi juga dengan Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei

Nine Dash Line : “The Nine-Dash Line – atau sembilan garis putus-putus yang  dianggap oleh RRT sebagai lokasi demarkasi (perbatasan)nya walau tanpa lewat konvensi hukum laut di bawah PBB. Jadi sembilan garis putus-putus itu belum didefinisikan dengan jelas alias masih kabur. Awalnya garis batas ini dipakai oleh Taiwan (1912-1949) yang akhirnya juga oleh RRT yang mengklaim sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan. Luasannya mencakup 2 juta km persegi di Laut Cina Selatan, sehingga menyabot kurang lebih 30% laut Indonesia di Natuna, 80% laut Filipina, 80% laut Malaysia, 50% laut Vietnam, dan 90% laut Brunei.

ZEE : Zona Ekonomi Eksklusif adalah zona yang luasnya 200 mil laut garis dasar pantai. Di dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa.

Konflik Indonesia-Tongkok di perairan Natuna adalah pelanggaran klaim zona ekonomi laut oleh Tiongkok, bukan semata-mata pelanggaran teritori laut oleh kapal-kapal Tiongkok. Ini persoalan serius!

Sikap Indonesia bukan tanpa dasar. Merujuk pada UNCLOS (United Nations Convention on Law of the Sea) tahun 1982 yang merupakan norma hukum laut internasional, jelas bahwa Natuna adalah bagian ZEE perairan Indonesia.

Konflik RRT dengan Filipina tahun 2016.

Lantaran klaim sepihak RRT dengan menggunakan alasan yang sama,yaitu Nine-Dash Line yang dianggapnya sebagai hak bersejarah, maka Filipina membawa kasus ini ke Pengadilan Arbitrase Tetap Internasional (PCA/Permanent Court of Arbitration) sebuah badan di bawah PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Lalu pada tanggal 12 Juli 2016 PCA merilis amar putusannya, bahwa RRT telah melanggar kedaulatan Filipina di Laut Cina Selatan. Filipina menang dalam gugatannya.

Terhadap amar putusan PCA yang merupakan badan dibawah PBB ini ternyata RRT bersikukuh tidak mau menerimanya. Sikap keras kepala RRT ini tentu berimplikasi pada hubungan internasionalnya dengan negara-negara di kawasan Laut Cina Selatan. Dan dengan Indonesia di perairan Natuna.

Oleh karena itu, belajar dari pengalaman Filipina, kita memang sebaiknya tidak  bernegosiasi dengan RRT dalam soal ZEE ini. Dasar hukum laut internasional Indonesia jelas dan kuat. Indonesia tidak dalam posisi bernegosiasi, tapi kita menyampaikan protes dan peringatan keras kepada RRT. Jangan usik teritori Republik Indonesia!

RRT adalah negara sahabat kita dalam ekonomi perdagangan, bisnis, pariwisata, olah raga, kebudayaan dan berbagai kerjasama bilateral lainnya. Namun soal perampasan (klaim sepihak) atas teritori RI soalnya jadi lain. 

Kita sependapat dengan Prof.Mahfud M.D. (Menkopolhukam), “Jadi tidak ada perang, tetapi tidak ada nego. Karena kalau nego berarti kita mengakui itu milik bersama. Ini sudah finallah secara internasional.”

Dari perspektif pencurian ikan di teritori RI, Bu Susi Pudjiastuti mengatakan ini sebagai crime/kejahatan lintas-negara, “Persahabatan antar-negara tidak boleh melindungi pelaku pencurian ikan dan penegakan hukum atas pelaku Ilegal Unreported Unregulated Fishing.” Kita memang mesti bedakan persahabatan antar-negara dengan pencurian ikan antar-negara.

Bahkan seperti dikemukakan di atas, kasus Natuna ini bukan sekedar kasus pencurian ikan, tapi lebih dari itu, ini soal klaim sepihak oleh negara asing atas teritori ZEE Republik Indonesia.

Oleh karena itu, kementerian luar negeri mesti bahu membahu dengan kementerian pertahanan untuk melakukan diplomasi dan mempertahankan teritori kita. Kementerian Kelautan dan Perikanan seyogianya juga berani bersikap tegas terhadap kasus pencuriannya. Semua instrumen negara yang berkaitan mesti siap siaga.

Politik perbatasan di kawasan Natuna ini seyogianya tidak dilumuri dengan kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Karena kasus Natuna ini lebih ke arah klaim teritorial secara sepihak oleh RRT.

NKRI harga mati!

07/01/2020
Andre Vincent Wenas, Sekjen Kawal Indonesia - Komunitas Anak Bangsa

KOMENTAR