Pakar Hukum Sebut Putusan MK Final dan Mengikat, DPR dan Presiden Tidak Bisa Batalkan

Aril Suhardi

Wednesday, 21-08-2024 | 13:01 pm

MDN
Denny Indrayana [Foto: Ist]

JAKARTA, INAKORAN.com - Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana merespons isu yang menyebut DPR RI berencana merevisi UU Pilkada, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat ambang batas pencalonan kepala daerah.

Sebelumnya, MK menurunkan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah, dari 25 persen suara di Pileg menjadi 7,5 persen.

BACA JUGA: Ini Alasan Duet Anies-Ahok Tidak Mungkin Terwujud di Pilkada Jakarta 2024

“Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah) persen di provinsi tersebut," tulis putusan MK yang dibacakan majelis hakim konstitusi, Selasa (20/8/2024).

Putusan  ini membuka peluang kepada sejumlah partai yang sebelumnya tidak bisa mengusung pasangan calon karena perolehan suaranya tidak mencapai 25 persen. Misalnya, PDI Perjuangan yang memperoleh 14 persen suara di Pileg 2024. 

Namun, usai MK mengeluarkan putusan, muncul isu DPR akan menganulirnya. Denny menilai, jika isu itu benar adanya, DPR melakukan pembangkangan dan pengkhianatan terhadap konstitusi.

BACA JUGA: MK Ubah Ambang Batas Pencalonan Pilkada, PDI Perjuangan Bisa Usung Sendiri Cagub-Cawagub Jakarta

“Hari ini DPR ingin menganulir putusan MK yang kemarin gitu. Jadi kalau ditanya apa pendapatnya, upaya DPR menganulir putusan MK itu pembangkangan dan pengkhianatan konstitusi,” kata Denny, dikutip pada Rabu, 21 Agustus 2024. 

Denny menambahkan, putusan MK mengingat dan tidak bisa dibatalkan, sekalipun oleh DPR atau presiden. “Karena putusan MK menurut UUD final and binding harus dilaksanakan tidak boleh dianulir oleh DPR dan Presiden sekali pun,” terang Denny.

 

KOMENTAR