Petrus Selestinus: Ambil Alih TMII Harus Disertai Pemidanaan Terhadap Siti Hardijanti dan Adik-Adiknya

Hila Bame

Friday, 09-04-2021 | 18:28 pm

MDN

 

JAKARTA, INAKORAN

 

"Sangat tidak adil bila Pemerintahan hanya mengambilalih Pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita, berhenti pada upaya perdata, tetapi mengabaikan penyelesaian melalui pendekatan hukum Pidana Korupsi terhadap Ny. Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmojo, Siti Hedianti Soeharto, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih, yaitu dimintai pertanggungjawaban secara pidana sesuai dengan Tap MPR Nomor : XI/MPR/1998 dan UU Tipikor" demikian tulis Pengacara Senior Petrus Slestinus, yang diterima Inakoran Jumat (9/4/21). 


baca:  

Tidak Tahan dikejar Hutang, Pegawai KPK Curi Emas Barang bukti Koruptor

 


 

Keputusan Pemerintah mengambilalih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII) dari tangan Yayasan Harapan Kita, meskipun sangat terlambat dilakukan, tetapi ini merupakan langkah tepat dan strategis yang patut diapresiasi, karena berhasil menyelamatkan aset negara yang dikuasai oleh kroni-kroni Orde Baru (Putra-Putri Soeharto) secara melawan hukum.

 

Meskipun Pemerintah dengan mudah mengambilalih pengelolaan Yayasan Harapan Kita tanpa menggunakan upaya hukum, namun demikian baik Yayasan Harapan Kita selaku korporasi maupun Para Pengurusnya yaitu Tutut Hardiyanti R dkk. harus dimintai pertanggungjawaban secara Tindak Pidana Korupsi, karena telah menguasai, mengelola dan menikmati aset-aset negara secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara dengan angka sangat fantastik.

 

Berdasarkan TAP MPR No. XI/MPR/1998, Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, disitu dikatakan bahwa "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap mempertahankan prinsip praduga tak bersalah dan Hak Asasi Manusia. 

 

Namun Tap MPR XI/MPR/1998 ini  sejak awal reformasi atau sudah 4 kali ganti Presiden mulai dari BJ. Habibie hingga Presiden Jokowi, baru di era Pemerintahan Jokowi, Tap MPR No. XI/ MPR/1998 ini dilaksanakan dan sudah mulai menunjukan hasilnya, terakhir dengan pengambilalihan pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita yang diketuai oleh Ny. Siti Hardijanti Rukmana dan adik-adiknya beberapa waktu yang lalu.

 

NEGARA ABAIKAN AMANAT RAKYAT.

Sejak dikeluarkannya Tap MPR RI Nomor : XI/MPR/1998 sampai dengan sekarang 23 (dua puluh tiga) tahun, Pemerintah belum serius melakukan upaya pemberantasan korupsi terhadap mantan Presiden Soeharto, Keluarga dan Kroninya, kecuali di era pemerintahan Presiden Jokowi telah dilalukan upaya hukum gugatan PMH secara perdata terhadap H.M Soeharto, Putra/Putrinya (Mba Tutut dkk) dan Yayasan Beasiswa Supersemar untuk mengembalikan kerugian negara.

Sangat tidak adil bila Pemerintahan hanya mengambilalih Pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita, berhenti pada upaya perdata, tetapi mengabaikan penyelesaian melalui pendekatan hukum Pidana Korupsi terhadap Ny. Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmojo, Siti Hedianti Soeharto, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih, yaitu dimintai pertanggungjawaban secara pidana sesuai dengan Tap MPR Nomor : XI/MPR/1998 dan UU Tipikor.

 

Karena upaya pentuntan aecara Tindak Pidana Korupsi adalah kewajiban negara untuk memenuhi salah satu tuntutan reformasi yang tertuang di dalam Tap MPR Nomor : XI/MPR/1998, sebagai hutang janji negara terhadap seluruh rakyat yang wajib dipenuhi dan ini saat yang tepat untuk memulihkan wibawa negara dan hukum negara serta reasa keadilan publik yang menuntut perlakuan yang sama di hadapan hukum.

PUTUSAN PK JADI DASAR PEMIDANAAN.

Putusan PK Mahkamah Agung RI No. 140/PK/Pdt/2015 dalam perkara Gugatan PMH antara Pemerintah RI melawan Yayasan Beasiswa Supersemar dan H.M. Soeharto serta Putra/Putrinya yaitu Ny. Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmojo dkk. akan menjadi dasar pemidanaan dan alat bukti untuk memperkuat dugaan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang yang diduga dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan Putra/Putri serta Kroninya, tinggal bagaimana  keberanian Jaksa Agung, Kapolri atau KPK untuk memulai.

 

Kerugian negara akibat Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh Yayasan Beasiswa Supersemar dan H.M Soeharto dan Putra/Putrinya sesuai putusan PK Mahkamah Agung RI No. 140/PK/Pdt/2015 dimaksud adalah sebesar US $ 315.002.183,- ( tiga ratus lima belas juta dua ribu seratus delapan puluh tiga dolar Amerika Serikat) dan Rp. 139.438.536.678,56 (seratus tiga puluh sembilan miliar empat ratus tiga puluh delapan juta lima rstus tiga puluh enam ribu enam ratus tujuh puluh delapan rupiah enam puluh delapan sen), yang wajib dibayar kepada negara.

 

Dengan demikian sikap Pemerintahan era Presiden Jokowi berupa menuntut suatu pertanggungjawaban hukum baik secara perdata maupun secara pidana terhadap mantan Presiden H.M Soeharto dan Putra Putrinya melalui penguasaan aset-aset negara atas nama Yayasan-Yayasan termasuk Yayasan Harapan Kita, Yayasan Beasiswa Supersemar dll. merupakan suatu pendidikan politik yang baik dan menjadi pelajaran berharga bagi para mantan Presiden dan Wakil Presiden RI agar tidak melakukan penyalahgunaan wewenang dan jabatan selagi berkuasa.


 

KOMENTAR