Pilkada, Haji dan Pertaruhan Nyawa Rakyat

Hila Bame

Thursday, 04-06-2020 | 11:37 am

MDN

Oleh.  : Adlan Daie

Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat

 

Jakarta, Inako

"Ibadah haji saja ditunda sampai tahun depan, kok pemerintah ngotot ingin melaksanakan pilkada serentak seolah olah kedudukan pilkada lebih tinggi dari ibadah haji, pemerintah harus sadar dan paham sistem politik di negeri ini masih manual bukan e- vote", demikian pernyataan Sulthon Alting Syah, seorang raja di kesultananTidore, anggota Komite I  DPD RI dari provinsi Maluku Utara sebagaimana dimuat sebuah media online senin 2 Juni 2020 dan telah menjadi sikap resmi Komite I DPD RI dalam suratnya no : PU. 04/1097/DPD RI/VI/ 2020 tentang penolakan pilkada serentak digelar tanggal 9 Desember 2020.


Pernyataan dengan nada geram Sulthan Alting Syah di atas hingga membandingkan urgensitas pillkada dan ibadah haji yang diundur dapat dimaklumi dari sisi kaidah fiqhiyah, yakni "Tashorruful Imam 'ala ar roiyah manutun bil maslahah" bahwa kebijakan pemerintah harus terikat out put dan dampaknya terhadap maslahat publik atau keselamatan rakyat.  Di sini penundaan pelaksanaan haji  tahun 2020 meskipun bersifat ibadah wajib syar'i,  bertahun tahun para jemaah rela menunggu dan telah melunasi segala kewajibannya dapat dimaklumi dalam konteks kaidah fiqhiyah di atas. 

Bahkan dalam kaidah fiqhiyah lain dijelaskan bahwa memproteksi rakyat dari mudlorot (terdampak penularan corona) wajib didahulukan dari suatu kewajiban syar'i sekalipun ( "Dar ul mafasid muqaddam "ala jalbil masholih), apalagi sekedar pelaksanaan pilkada di mana ruang waktu untuk.opsi opsi penundaannya sangat memadai hingga menunggu sebaran virus covid 19 setidak tidaknya melandai  merurut kajian data data para epedemolog


Dalam perspektif di atas itulah pelaksanaan pilkada serentak tanggal 9 Desember tahun 2020  terutama terkesan dipaksakan mendagri, Tito Karnavian,  cenderung ceroboh karena beberapa hal :


Pertama, pilkada diletakkan hanya sebagai kepentingan pemerintah semata,  dilepaskan dari pemangku kepentingan yang lain dan hak politik rakyat sehingga rakyat yang tengah berjuang melawan covid 19 dan tercekik lehernya secara ekonomi dipaksa membagi waktunya untuk memikirkan pilkada. Seolah olah pilkada bagi rakyat harga mati meskipun dengan resiko pertaruhan nyawa akibat penyebaran virus covid 19 belum menunjukkan kurva menurun. Variabel keselamatan.rakyat inilah yang tidak menjadi prioritas mendagri dalam mendesain waktu pelaksanaan pilkada tahun 2020.


Kedua, mendagri sebagai leading sektor pemerintahan daerah tidak sensitif untuk sepenuhnya terlibat dalam percepatan penanganan covid 19 di daerah antara lain mengunci anggaran pilkada tidak termasuk dalam opsi realokasi dan refocusing anggaran sehingga pemda sangat terbatas kemampuan fiskalnya dalam penanganan covid 19  selain postur APBN yang sudah cekak makin tertekan dibebani tambahan anggaran pikada demi penyesuaian dengan protokol kesehatan yang tidak sedikit jumlahnya.


Ketiga, pilkada adalah proses politik partisipatif dan bersifat kerumunan publik. Karena itu, tidak setiap tahapan pilkada dapat direduksi dengan langkah langkah digitalisasi politik secara online yang menghilangkan ruh proses polirik, yakni partisipasi publik secara langsung. Pilkada tidak dapat dimaknai hanya mekanisasi dan digitalisasi politik kecuali pemaksaan pilkada tanggal 9 Desember 2020 di tengah wabah covid 19 memang dimaksudkan sekedar menggugurkan kewajiban konstitusonal atau maksud politis lainnya dengan segala pertaruhan nyawa rakyat.


Karena itu, baik mendagri maupun lembaga lembaga negara terkait lainnya perlu menimbang ulang dan menghargai pengorbanan rakyat yang berbulan bulan telah dipaksa "stay at home",  kerja, sekolah dan ibadah di rumah justru dipancing dengan pelaksanaan pilkada untuk berkerumun di ruang publik yang sangat sulit ditertibkan dan karena itu berpotensi memperlambat penanganan wabah vovid 19 dan dampaknya makin mencekik leher rakyat secara ekonomi, bahkan pemulihan ekonomi negara semakin tertekan.


Negara dalam konstitusi Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pertama tama adalah berkewajiban melindungi rakyatnya. Hal hal lain termasuk kewajiban syar'i yang dijamin undang undang seperti  ibadah haji dapat ditunda pelaksanaannya jika  berdampak mudlorot bagi pertaruhan nyawa rakyat apalagi sekedar pilkada yang opsi opsi penundaannya cukup memadai ruang waktunya.


Di sinilah sekali lagi penolakan komite I DPD RI atas pelaksaan pilkada tanggal 9 Desember 2020 wajib didengar karena negara milik kita bersama untuk keselamatan bersama bukan untuk kepentingan pemerintah semata dan abai pada kepentingan dan keselamatan publik.

Semoga bermanfaat.

TAG#ADLAN DAIE

188688649

KOMENTAR