Polemik Pupuk Bersubsidi (2/3)

Timoteus Duang

Monday, 25-04-2022 | 21:55 pm

MDN
Muhammad Irvan Mahmud Asia (Wasekjen DPP Pemuda Tani HKTI)

 

Oleh: Muhammad Irvan Mahmud Asia (Wasekjen DPP Pemuda Tani HKTI)

JAKARTA, INAKORAN

Petani yang kritis atau petani yang tidak mau diajak “bekerja sama” oleh perangkat desa bisa saja tidak mendapatkan pupuk bersubsidi atau tetap mendapatkan pupuk namun kuotanya dikurangi.

 

Misalnya pupuk subsidi yang telah diputuskan Kementrian Pertanian bahwa petani A mendapatkan kuota 80 kg pupuk, pengecer bisa saja memberi hanya 20-30 kg dengan alasan habis.

Ini terjadi karena ketika pupuk subsidi tiba di kios pengecer dan atau perangkat desa langsung menjual kembali ke tempat lain dengan harga lebih mahal namun sedikit di bawah pupuk non subsidi.

Kadangkala praktik semacam ini juga diketahui oleh distributor namun memilih diam karena mendapatkan “komisi” dari pengecer. Pola ini yang terjadi terus menerus dan implikasinya petani dirugikan, anggaran subsidi pupuk puluhan triliun menguap begitu saja.

Contoh konkrit peristiwa semacam ini terlihat dari temuan Satgas Pangan Mabes Polri di wilayah distribusi Mauk dan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Dua tersangka kasus penyalahgunaan ini adalah pemilik Kios Pupuk Lengkap (KPL).

Modusnya berbekal sistem elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok (e-RDKK) yang terdapat daftar penerima fiktif. Bahkan, terdapat penerima yang sudah meninggal dunia (sumber: Polri Tangkap 2 Tersangka Kasus Pupuk Bersubsidi, Rugikan Negara Rp 30 Miliar - Nasional Tempo.co).

 


Baca juga

Polemik Pupuk Bersubsidi (1/3)


 

Kelima, petani kadang mengeluhkan pupuk yang mereka terima tidak memenuhi prinsip 6T yakni tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu sebagaimana dijelaskan dalam Permendag Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian.

Lima permasalahan di atas sejalan dengan temuan Ombudsman RI sebagaimana terwartakan di Siaran Pers Nomor 055/HM.01/XI/2021 Selasa, 30 November 2021 terdapat lima potensi mal administrasi dalam tata kelola pupuk bersubsidi yaitu: tidak dituangkannya kriteria secara detil petani penerima pupuk bersubsidi dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021.

Padahal rujukan Undang-Undang (UU) yang mengatur secara langsung pupuk bersubsidi adalah UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, serta UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; ditemukan ketidakakuratan data petani penerima pupuk bersubsidi.

Pendataan petani penerima pupuk bersubsidi dilakukan setiap tahun melalui sistem e-RDKK; terbatasnya akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi;

Mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yang belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan prinsip 6T yaitu tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu.

Proses pengadaan, Ombudsman melihat adanya indikasi perbedaan standar minimum bahan baku pokok pupuk bersubsidi dan non subsidi. Artinya tidak memenuhi aspek keadilan dan pemerataan bagi petani.

Kelima, belum efektifnya mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi, sehingga berbagai penyelewengan dalam penyaluran pupuk bersubsidi belum tertangani dengan baik.

 


Baca juga

Polemik Pupuk Bersubsidi (3/3)


 

Pada aspek pengawasan pupuk bersubsidi oleh Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) di tingkat pusat maupun daerah kurang berjalan secara maksimal. Karena masih ditemukan keluhan petani dimana penyalurannya tidak tepat sasaran dan penggunaan kartu tani yang kurang optimal.

Penting untuk dipertimbangkan

Untuk menyelesaikan permasalahan pertama, kedua, dan ketiga, ada du hal penting yang harus dikerjakan yaitu: pertama, kemampuan APBN.

Jika APBN tidak bisa mensubsidi, maka pilihan agar subsidi tetap ada bisa dilakukan dihilir misalnya subsidi harga jual ditingkat petani atau subsidi bahan baku seperti yang dilakukan di Turki, kemudian dilakukan perbaikan sarana dan prasarana terutama mesin pengering, irigasi, jalan, dan jembatan.

Atau melibatkan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran daerah untuk menutupi kekurangan kuota pupuk bersubsidi melalui APBD Provinsi maupun APBD Kabupaten/Kota juga bisa dipertimbangkan dan ini memiliki payung hukum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan Pasal 69 ayat (1) dan (2);

Kedua, agar terjadi akurasi data petani penerima pupuk bersubsidi, penting dipikirkan agar pendataan penerima pupuk subsidi dilakukan setiap lima tahun dan di evaluasi setiap tahun.

Pendataan dilakukan secara ketat dan tepat waktu, penyuluh sebagai pendamping kelompok tani harus memastikan data yang dikumpulkan benar, mulai dari by name by address sampai input e-RDKK harus dipastikan bahwa orang tersebut ada ditempat dan memenuhi kriteria.

Untuk memperkuat itu semua, sudah waktunya optimalisasi teknologi informasi suatu utilisasi teknologi dengan keharusan proses integrasi data misalnya Kartu Tani analog diubah menjadi Kartu Tani Digital.

 

 

KOMENTAR