Polemik Pupuk Bersubsidi (1/3)

Timoteus Duang

Monday, 25-04-2022 | 21:55 pm

MDN
Muhammad Irvan Mahmud Asia (Wasekjen DPP Pemuda Tani HKTI)

 

Oleh: Muhammad Irvan Mahmud Asia (Wasekjen DPP Pemuda Tani HKTI)

JAKARTA, INAKORAN

 

Kebijakan pemerintah Indonesia memberikan pupuk bersubsidi pada petani kecil—miskin adalah bentuk keberpihakan negara. Subsidi pupuk sedikit meringankan biaya produksi.

 

Selain subsidi pupuk, tentu ada faktor lain yang menentukan hasil dan produktivitas pertanian sehingga perlu realokasi sumber daya untuk investasi barang-barang publik pertanian lain.

Faktor lain itu misalnya irigasi, layanan pemasaran, layanan penyuluhan, penelitian dan pengembangan serta dukungan kebijakan harga bawah dan harga atas, serta harga pembelian pemerintah (HPP).

Selain itu, ada pula faktor lain seperti kebijakan pengendalian impor pangan, kebijakan asuransi usaha tani serta kebijakan reforma agraria untuk merombak struktur penguasaan tanah, oleh karena rata-rata penguasaan tanah petani di Indonesia hanya 0,3-05 ha.

Masalah klasik

Pupuk subsidi selalu bermasalah, sejak pertama kali diperkenalkan tahun 1970 sebagai respon atas “Revolusi Hijau”.

Pertama, kelangkaan saat musim tanam karena kuota subsidi lebih kecil dari kebutuhan petani.

Berdasarkan data Ditjen PSP Kementan RI sebagaimana juga disampaikan dalam RDP bersama Komisi IV DPR RI Kamis, 3 Februari 2022, kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57 sampai 26,18 juta ton atau senilai Rp 63-65 triliun dalam lima tahun terakhir.

 


Baca juga

Polemik Pupuk Bersubsidi (2/3)


 

Tetapi, pemerintah hanya mampu mengalokasikan anggaran Rp 25-32 triliun untuk alokasi pupuk 8,87 juta ton – 9,55 juta ton atau hanya terpebuhi 37 – 42 persen dari total kebutuhan petani.

Sebagai informasi di tahun 2021, penyaluran pupuk bersubsidi yang terealisasi mencapai 7,76 juta ton, atau 88,45% dari target 8,78 juta ton. Sedangkan realisasi anggaran subsidi pupuk mencapai 93,45% dari pagu sebesar Rp 29,05 triliun.

Di tahun 2022, alokasi anggaran pupuk bersubsidi mencapai Rp 25,28 triliun untuk 9,11 juta ton pupuk. Antara kebutuhan dari petani 100%, sementara yang bisa dipenuhi hanya 35 %, maka jelas tidak sebanding antara permintaan dan penawaran.

Saat keterbatasan alokasi, penyalurannya pun masi lebih banyak terarah untuk petani padi. Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk program subsidi pupuk, baik fiskal dan ekonomi lebih besar dari pada manfaat yang dicapai dalam produksi.

Dan ini sudah dikeluhkan pemerintah sejak era SBY, dimana Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan subsidi pupuk puluhan triliun tidak sebanding dengan hasil.

Hal yang kemudian disampaikan Presiden Joko Widodo pada 12 Januari 2021 yang kesal terhadap program pupuk bersubsidi menghabiskan Rp.30 tririlun tetapi hasilnya tidak setimpal.

Kedua, sering ditemukan di lapangan terjadi keterlambatan penginputan data petani di sistem e-RDKPP, sehingga panyaluran pupuk bersubsidi pun terlambat. Petani sudah mau menanam pupuk tidak tersedia.

 


Baca juga

Polemik Pupuk Bersubsidi (2/3)


 

Ketiga, penerima pupuk bersubsidi salah sasaran, seharusnya petani gurem tetapi yang mendapatkannya adalah petani dengan luas lahan diatas 2 ha terdaftar dalam e-RDKK.

Sekitar 65% petani kecil (lahan dibawah 0,75 ha) hanya menerima 3% subsidi pupuk, sedangkan sisanya dinikmati petani kaya.

Belyam lagi banyak nama petani yang sudah meninggal dikatakan masih aktif bertani, non petani dikatakan petani, pindah alamat ke kabupaten/kota lain namun masih terdata sebagai petani sehingga mendapatkan jatah pupuk subsidi dan sebagainya.

Keempat, mafia pupuk subsidi dengan mempermainkan dan mengambil keuntungan besar, ada perbedaan harga yang cukup besar antara HET pupuk bersubsidi dengan harga pupuk non subsidi.

Contoh HET Urea sebesar Rp. 2.250/kg, sementara non subsidi Rp 12.000/kg, mafia bisa menjualnya Rp. 5000 – Rp. 8.000/kg bahkan bisa lebih lagi. Peluang terbesar permainan semacam ini ada pada level pengecer karena pengawasannya relatif longgar dibandingkan distributor.

 

 

KOMENTAR